Jumat, 14 Januari 2011

Otonomi Daerah dan Politik Enterpreneurship

Otonomi Daerah dan Politik Enterpreneurship

Oleh:
Riduan Ahmad al-Bangkawi
Ketua Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Bangka (ISBA) Yogyakarta 2010


TIDAK dapat dipungkiri, sistem otonomi daerah merupakan program nasional yang sangat penting dan telah menjadi program publik yang harus diperioritaskan dalam menghadapi bermacam kemelut dan problem multidimensi yang melanda bangsa ini. Jika dibandingkan dengan UU sebelumnya, tepatnya ketika diberlakukan UU No. 5/1974, pemerintah daerah harus bertanggung jawab kepada kepada pemerintah pusat, atas segala inisiatif, peraturan dan kebijakan yang akan dibuat. Termasuk dalam hal rekrutmen kepala daerah dan birokrasi di Tingkat lokal.
Namun, UU tersebut telah diganti dengan UU. 22/1999 dan disempurnakan dengan UU. 32/2004, yang membuka selebar-lebarnya otonomi kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya, sesuai dengan kebutuhan dan program yang diyakini, bisa mewujudkan pemerintahan yang baik (Good Governance), sebagaimana yang diharapkan tanpa harus di interpensi oleh pemerintah pusat. Dalam istilah Prof. Dr. Affan Gaffar, MA (2009), untuk mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberi peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi, peningkatan efesiensi pelayanan publik, peningkatan percepatan pembangunan di daerah dan pada akhirnya, diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik.
Tetapi, bisa dipastikan untuk menjalankannya, bukanlah hal yang gampang. Hal ini, bisa di dasari atas lepasnya tanggungan pemerintah pusat untuk membina dan membantu daerah, bebasnya kepala daerah untuk melakukan apa saja yang di inginkan tanpa kontrol dari pemerintah pusat, serta akan melahirkan pemimpin atau raja-raja kecil yang leluasa menjalankan praktek KKN di daerah. Terlepas dari tiga permasalahan di atas, sederhananya UU. 22/1999 dan UU. 32/2004 ini, telah membuka ruang desentralisasi politik dan administrasi kepada pemerintah daerah, yang dalam implementasinya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi partisifasi masyarakat dan kepala daerah, atau dengan bahasa lain, membuka keluasaan daerah untuk mengatur kepentingannya secara pribadi dan mandiri, tanpa harus menunggu intruksi atau minta izin kepada pemerintah pusat seperti pada masa orde baru.
Karenanya, disinilah pemerintah daerah dituntut untuk menjalan politik transparan, legitimate, aksestble, dan demokratis. Serta menerapkan politik entrepreneurship, yang nantinya membuka ruang partisifasi yang sangat bagi masyarakat (civil society), swasta, LSM, organisasi kemasyarakatan di negeri ini.

Politik Enterpreneurship
Konsep/pendekatan politik enterpreneurship ini, sejatinya menekankan pada pemerintah dan birokrasi di daerah, untuk melibatkan semua elemen masyarakat seperti di atas, dalam setiap kebijakan, peraturan dan program yang akan ditetapkan untuk pembangunan daerah, terkhusus pembangunan ekonomi, yang dalam aktualisasinya, menekan pada:
Pertama, Pemerintah Katalis: Pemerintah lebih memfokuskan dalam memberikan pengarahan kepada masyarakat bukan menjadi pelayan masyarakat. Disini pemerintah dituntut untuk menyediakan beragam pelayanan masyarakat, seperti pihak swasta, LSM, dan organisasi kemasyarakatan, sedangkan pemerintah tidak mesti harus terlibat langsung dalam proses produksinya.
Kedua, Pemerintahan Wirausaha: Pemerintah harus mampu memberikan pendapatan dan tidak sekadar membelanjakan. Pemerintah dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan, dengan menjual jasa, barang informasi, penyertaan modal dan lain sebagainya. Ini disebut dengan.
Ketiga, Pemerintah Kompetitif: Pemerintah harus memberikan semangat atau motivasi kompetisi kepada masyarakat dan birokrasi untuk menjalankan sesuatu yang mereka inginkan. Kompetisi ini, selain menjadi satu-satunya cara untuk menghemat biaya, juga untuk meningkatkan kualitas pelayanan, tanpa harus memperbesar biaya.
Keempat, Pemerintah Visionis: Pemerintah berusaha mencegah daripada mengobati serta berupaya keras untuk mengantusupasi masa depan dengan menggunakan perencanaan strategi untuk menciptakan visi. Visi yang dibuat untuk membantu masyarakat, bisnis, dan pemerintah untuk meraih peluang dan krisis yang tidak terduga tanpa menunggu perintah atasan, proaktif bukan reaktif.
Kelima, Pemerintah Misionis: Pemerintah harus digerakkan oleh misi. Ini bisa dilakukan dengan cara mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi. Pemerintah lebih memperioritaskan misinya daripada mandatnya.
Keenam, Pemerintah milik masyarakat: Pemerintah memberikan wewenang kepada masyarakat bukan melayani. Dengan ini, diharapkan masyarakat mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri.
Ketujuh, Pemerintah berorientasi pada hasil: Pemerintah membiayai hasil bukan masukan. Disini, pemerintah mengembangkan suatu standar kinerja untuk mengukur seberapa baik suatu unit kerja, yang mampu memecahkan permasalah, yang menjadi tanggung jawabnya, semakin baik kenerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
Kedelapan, Pemerintah Berorientasi pada Pelanggan: Pemerintah harus memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi. Pemerintah selain memerhatikan aspirasi lembaga perwakilan (DPRD), tetapi juga harus memerhatikan pelanggan yang sebenarnya, yaitu masyarakat dan bisnis yaitu dengan secara terus menerus berupaya untuk lebih memuaskan masyarakat dan bisnis.
Kesembilan, . Pemerintah Desentralisasi: Pemerintah hirarki harus dibubarkan dan diganti dengan pemerintahan yang partisifatif dan tim kerja. Setiap kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah harus sesuai dengan masyarakat, pelanggan, organisasi kemasyarakatan dan LSM. (Osborne dan Gaebler: 2004)
Berangkat dari itu, disinilah nantinya, kita bisa melihat sektor swasta berperan dalam pembangunan daerah, dengan dukungan lingkungan pemerintah yang memadai bagi aktifitas seKtor swasta, serta memberikan insentif (incentive), penghargaan (reward) atas prestasi (performance) mereka.
Begitu juga dengan LSM dan organisasi kemasyarakatan lainnya, bisa mempunyai peranan dan kontribusi yang sangat signifikan untuk menyediakan mekanisme checks and balance terhadap kekuasaan pemerintah dan sektor swasta, atau untuk menguatkan posisi keduanya. Mereka dapat memonitoring terhadap pembangunan ekonomi, penipisan sumber daya, kerusakan lingkungan dan kerusakan sosial yang ada disekeliling mereka. Selain itu, bisa berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dengan membantu mendistribusikan keuntungan pertumbuhan ekonomi secara merata di dalam masyarakat, serta menawarkan kesempatan bagi masyarakat untuk meningkatkan standar hidupnya. (Pratikno: 2001).
Walhasil, substansi otonomi daerah sebagai kewenangan daerah untuk lebih leluasa dan lebih berhak mengatur diri sendiri dan mandiri, bisa berjalan dengan lebih baik, optimal dan efektif. Tentunya, harus di dukung dengan kondinasi dan komunikasi yang baik antar kepala daerah di provinsi dengan kepala daerah di kabupaten/kota, serta pola intraksi yang harmonis dan proporsional antara pemerintah dengan DPRD, dalam menjalankan amanah dan tanggungjawabnya.
Dengan demikian, jika hal ini dikaitkan dengan daerah provinsi Kep. Bangka Belitung, konsep politik ini sangat mungkin untuk diaplikasikan, apalagi mengingat empat kabupaten, Bangka Tengah, Bangka Barat, Bangka Selatan dan Belitung Timur, baru saja memilih/menetapkan kepala daerahnya melalui Pilkada Langsung. Jauh dari itu, tanpa berlebihan, bila perlu konsep ini harus dijalankan secara jangka panjang (Sustainable) oleh pemerintah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Besar harapan dan belum terlambat untuk mencoba. Semoga.

0 komentar:

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP