Selasa, 16 Juni 2009

II
PARTAI POLITIK ISLAM INDONESIA

I. Pengertian dan Sejarah Partai Islam
A. Pengertian

Dewasa ini masih banyak kita dapatkan anggapan bahwa agama Islam itu adalah penghambat bagi kemajuan dan pembangunan. Sebenarnya pandangan ini ialah berasal dari para ilmuan Barat. Tapi ironisnya, masih banyak juga orang-orang Islam yang mempercayai hal itu. Bisa dipastikan anggapan ini sangat tergesa-gesa karena mereka menganggab Islam itu hanya mengajarkan tentang ritual belaka tanpa melihat bahwa sesungguhnya Islam itu juga mengajarkan tentang aspek kehidupan secara komperensif temasuk didalamnya masalah muamalah, baik itu dalam persepektif sosia, ekonomi maupun politik yang tujuannya tiada lain ialah untuk kemaslahatan suatu bangsa.


Allah SWT telah menetapkan, mengajarkan dan memberi petunjuk bagi manusia, diantara petunjuk-petunjuk tersebut ialah yang berkaitan dengan aqidah, akhlak dan syari’ah. Dua poin pertama, aqidah dan akhlak ialah bersifat konstan, maksudnya, keduanya tidak mengalami perubahan sedikitpun walaupun berbeda waktu dan tempat. Sedangkan poin yang terakhir syari’ah mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan kontek pada taraf peradaban manusia, termasuk didalamnya masalah politik.
Menurut Abdul Mu’im sebagaimana yang di kutip Abdul Aziz bahwa al-Qur’an menurunkan dua intisari ajaran yang berkaitan erat dan menjalin keindahan, yakni akidah dan Syariah. Tiada akidah tanpa syariah dan begitu juga sebaliknya. Akidah menghubungkan eksistensi manusia dengan Allah. Eksistensi Akidah tidak berubah, atau terlepas dari perubahan tempat dan waktu. Sementara eksistensi syariah terefkeksi pada dua dimensi yakni dimensi transcendental dan dimensi social. Dimensi pertama biasa disebut dengan ibadah, sedangkan dimensi social biasa disebut dengan muamalah yang mewujutkan pada pola hubungan antara sesama manusia.
Dalam kontek syariah, hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah disebut dengan siyasah. Dari kontek siyasah ini lahirlah gagasan-gagasan yang dikenal dengan politik Islam . Didalam tradisi ilmu-ilmu keislaman, kaitan rasionalitas antara pemerintah dan rakyat menjadi bahan kajian dari disiplin siyasah-syariyah atau biasa disebut dengan politik berbasis Islam.
Politik pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani Polisteia, Polis adalah kota/Negara kota yaitu kesatuan masyarakat yang mengurus dirinya sendiri dan teis artinya urusan. Artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan yang menyangkut kepentingan dari kelompok masyarakat atau Negara.
Beberapa pandangan tentang politik: Pertama, upaya yang diteempuh warga Negara untuk membicarakan dan mewujutkan kehidupan bersama. Kedua, segala hal yang berkaitan dengan Negara dan pemerintah. Ketiga, segala kegiatan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Keempat, segala kegiatan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan pubrik atau masyarakat umum. Kelima, suatu konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan dari sumber-sumber yang penting. Keenam, kegiatan yang berkaitan dengan masalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana.
Islam adalah suatu agama yang diturunkan oleh Allah kepada hambanya melalui nabi Muhammad yang tujuannya untuk mendidik dan mengarahkan hambanya agar dapat mencapai kebahagian baik didunia maupun di akhirat. Maka disini dapat disingkronkan bahwa politik Islam ialah suatu upaya atau pendekatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan atau kepentingan dari masyarakat dan Negara yang berlandaskan pada ajaran-ajaran yang telah ditentukan oleh Allah.
Sedangkan Partai Islam Ialah partai yang berasaskan Islam dan mengupayakan agar negara Indonesia berasaskan Islam serta agar syariat Islam ditegakkan dalam kehidupan sosial-politik oleh masyarakat dan Negara. Didalam kamus istilah politik dan kewarganegaraan dijelaskan ialah partai yang berasaskan Islam dan memiliki tujuan untuk memperjuangkan kepentingan Umat Islam demi terciptanya kehidupan masyarakat yang adil dan makmur.
B. Sejarah Partai Politik Islam di Indonesia
Dalam dinamikanya di Indonesia, pemikiran tentang politik Islam atau Islam politik memiliki akar sejarah yang sangat panjang. Akar genelogisnya ialah disaat Islam pertama kali disebarluaskan di Nusantara kira-kira pada abad ke 13 sampai abad ke 14 masehi. Mengutip pendapat Pramono U. Tanthowi, sepanjang perjalanan ini, Islam terlibat dalam masalah-masalah politik, apalagi pada saat memasuki masa kolonial Belanda. Pada masa inilah Politik Islam di Indonesia mempeloleh bentuknya yang sangat nyata. Dibawah pengaruh kekuatan kolonialisme Barat yang hegemonik secara politik, militer, ekonomi maupun budaya, kekuatan Islam yang laten dan tidak pernah mau tertundukkan dalam posisi tersudut, lebih tertransformasi kedalam bentuk politik dan idiologis
Pada abad ke 19, tersebutlah dua tokoh besar Islam yang mempelopori lahirnya Pan-Islamisme. Pertama, Syeikh Muhammad Abduh. Kedua, Syekh Djamaluddin El-Afgami. Kedua tokoh inilah yang telah menyadarkan umat Islam akan arti pentingnya perjuangan politik. Demikianlah yang terjadi di Indonesia, pengaruh besar kedua tokoh ini, yang kemudian menggerakkan semangat gerakan Islam yang fanatic dan kemudian melahirkan banyak gerakan politik Islam yang tersebar luas di pelosok-pelosok tanah air.
Memasuki abad ke 20 semangat gerakan Nasionalis yang menadai permulaan diskursus politik Islam secara definitif. Pada masa ini, gerakan masyarakat pribumi dalam sector perpolitikan sudah mulai jelas dan nyata, yaitu menentang kolonialisme Belanda. Tidak bisa dipungkiri bahwa, Islam sangat berpengaruh dalam memainkan peranan tersebut. McTurnan Kahin sebagaimana yang dikutif Abdul Aziz menyimpulkan bahwa pada saat itu Islam bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat nasionalisme Indonesia, melainkan sebagai simbol kesamaan nasib dalam menentang penjajahan Belanda.
Perjuangan kaum Islam Indonesia melawan penjajahan Belanda dapat menjadi tiga Fase. Pertama, oposisi atau perlawanan yang dipimpin oleh Sultan. Kedua, perlawanan yang dipimpin bangsawan kraton. Ketiga, perlawanan yang dipimpin oleh pemuka agama (ulama). Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjarmasin (1858), dan Perang Aceh (Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20), merupakan bentuk nyata perlawanan terhadap penguasa Belanda. Dengan mengibarkan bendera Islam dan mengorbankan perang suci (jihad), Islam semakin memperoleh peran dalam perpolitikan Indonesia.
Pada masa ini, satu lembaga atau organisasi yang dapat dikatakan sebagai perwujudan politik Islam adalah Serikat Dagang Indonesia (SDI) yang didirikan di Solo tahun 1905 oleh H. Samanhudi. Yang kemudian menjadi Serikat Islam (SI) tahun 1911. Dalam perkembangan selanjutnya, Serikat Islam (SI) menjadi organisasi politik yang pertama di Indonesia yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokrominoto, Abdul Muis dan Agus Salim.
Tapi menjelang tahun 1920-an peranan politik SI mengalami kemerosotan yang sangat krusial, ini didasari karena ketidak mampuan pemimpin SI dalam mengatasi perbedaan idiologi diantara mereka. Fragmentasi ini terjadi karena ada dua idiologi yang masuk dalam internal SI itu sendiri. Tiga tokoh SI seperti Tjokrominoto, Abdul Muiz dan Agus Salim menyatakan Islam sebagai asas atau idiologi tunggal partai, sedangkan Semaun dan Darsono yang bercabang di Semarang menginginkan idiologi marxisme, yang menginginkan agama harus disingkirkan dari politik.
Melihat perpecahan itu, akhirnya banyak mengundang masyarakat untuk tidak menyukai dan menumpu harapan pada SI lagi. Seperti Sukarno, dan didukung M. Hatta memutuskan untuk mendirikan organisasi politik baru, yang diberi nama dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Sukarno menyatakan dengan tegas, walaupun dia beragama Islam tapi bukan berarti idiologi partai harus Islam. Sukarno lebih memilih ideologi Nasionalis, karena dia beranggapan bahwa nasionalis ialah cinta tanah air, kesetiaan yang tulus untuk membaktikan diri kepada tanah air, serta kesediaan mengesampingkan kepentingan golongan atau partai yang sempit. Tentunya ini menjadi perdebatan bagi kalangan Islam, yang mengatakan bahwa nasionalis itu akan berakibat membawa manusia untuk mengabdi dan menyembah kepada tanah air.
Pada perkembangan selanjutnya, Ideologi Nasionalis yang di inginkan oleh Sukarno bukan hanya ditentang oleh Agus Salim (SI) melainkan juga dari A. Hasan (Persis) dan M. Natsir. A. Hasan mengatakan bahwa mengikuti paham nasionalis atau kebangsaan berarti keluar dari agama Islam. Sedangkan M. Natsir tujuan dari kemerdekaan Indonesia bukan hanya untuk kemerdekaan bangsa melainkan juga untuk mencapai ridha Allah SWT.
C. Partai Politik Islam di Zaman Orde Lama sampai Orde Baru
Pada kemerdekaan, politik Islam mempeloleh pelung yang sangat besar, tercatat ada beberapa partai politik Islam yang lahir pada masa ini. Di antaranya Masyumi, Perti, PSII dan NU. Dengan lahirnya partai politik Islam ini tentunya memberi inspirasi bagi kalangan umat untuk eksis di dalam perpolitikan sedangkan organisasi dan gerakan-gerakan social yang ada diluarnya menjadi pendukung untuk menopang kekuatan partai politik Islam tersebut.
Pada masa ini setidaknya ada dua hal yang melatar belakangi. Pertama, adanya kesadaran yang tinggi dikalangan umat Islam untuk memproklamirkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, untuk mempertahankan dan menjaga NKRI yang dari agresi Belanda yang ingin berkuasa lagi terhadap bangsa Indonesia yang sebelumnya mereka jajah. Walaupun sebenarnya pada masa ini, kepemimpinan lebih di dominasi dari kalangan nasionalis. Tapi tidak menyurutkan semangat kalangan Islam untuk bersatu dan bahu-membahu demi memploklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Kekuatan partai Islam pada tahun 1950-an mengalami perkembangan yang sangat krusial. Tercatat gabungan perolehan suara empat besar partai Politik Islam, seperti Masjumi, Partai NU, PSII, dan Perti, mencapai 43%. Di Konstituante, partai politik Islam cukup berpengaruh, meski tidak mampu mendiktekan agenda mereka karena berhadapan dengan partai berasas non-Islam seperti PNI, PKI, PSI, Partai Kristen Indonesia, dan Partai Katolik. Tetapi walaupun partai diluar partai politik Islam menggabungkan diri, belum cukup dominan untuk mengalahkan kekuatan partai Islam, terutama ketika harus memutuskan konstitusi Negara karena suara mereka tidak mencapai dua pertiga dari jumlah kursi. Konstituante kemudian berakhir pada 1959, lalu parlemen dan sejumlah partai politik dibubarkan. Salah satu partai yang bubar adalah Masjumi, yang merupakan partai Islam terbesar. Sejak itu kekuatan partai Islam melemah bersamaan dengan terkonsolidasinya otoritarianisme di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno.
Dalam sejarah selanjutnya, setelah runtuhnya rezim orde lama dan kemudian lahirnya rezim orde baru dibawah kepemimpinan jenderal Soeharto partai politik Islam mengalami pertambahan masalah yang sangat krusial. Tercatat pada pertukaran rezim ini terjadi melalui proses pertumbuhan darah yang terkenal dengan teragedi Gerakan 30 September PKI yang selanjutnya disingkat menjadi G 30 S PKI. Pada masa ini kalangan Angkatan Darat atau militer mengambil alih kekuasaan didalam struktur politik Indonesia.
Salah satu persepektif yang berkembang pada masa ini ialah bahwa menurut kalangan militer, kekuatan Islam bisa menjadi ganjalan bagi konsolidasi pemerintahan yang baru terbentuk. Mereka beranggapan, meskipun kekuatan politk Islam telah melemah pada masa rezim orde lama namun masih berpeluang menjadi ancaman yang sangat potensial terhadap kepentingan politik militer (AD) dalam pemerintahannya yang baru.
Pada masa ini, sebenarnya keinginan partai politik Islam untuk merehabilitasi Masyumi tumbuh kembali, tetapi karena pemerintahan Sueharto selalu campur tangan akhirnya semua keinginan itu tidak berhasil. Terbukti pada perkembangan selanjutnya partai-partai Islam yang boleh ikut serta dalam pentas perpolitikan nasional hanya Partai NU, PERTI dan PSII, sedangkan Masyumi yang waktu itu dipimpin M. Natsi tidak diperkenankan.
Kompensasi pemerintah Orde Baru terhadap Masjumi adalah dibentuknya sebuah partai baru, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada tanggal 20 Februari 1968. Kelompok Islam menerimanya dengan harapan sebagian pemimpim Masyumi dapat memegang kendali partai tersebut. Namun, ketatnya control yang dilakukan oleh rezim Sueharto menyebabkan harapan tersebut mengalami kegagalan. Bagi rezim Orde Baru, Permusi hendak digunakan sebagai wahana untuk melakukan penetrasi kepada umat Islam, sedangkan bagi kalangan elit Islam, Permusi dimaknai sebagai wadah perjuangan aspirasi politik islam. Penetrasi rezim orde baru terhadap partai baru ini juga semakin meningkat. Sebagai misal, hasil kongres Permusi di malang yang menempatkan M. Roem sebagai ketua umum partai, dianulir oleh Soeharto. Jonn Jailani Naro salah seorang ketua partai yang saat itu dianggab dekat Ali Murtopo, orang pemerintah Orde baru pada tahun 1970 mengadakan kudeta atas kepemimpinan M. Roem. Kudeta kepemimpinan didalam Permusi ini memberi jalan bagi pemerintah untuk intervensi kedalam tubuh partai dan akhirnya mengantarkan MS Mintarega, seorang kabinet Orde Baru sebagai pemimpi partai yang baru. Rezim Orde Baru kapanpun bisa dengan mudah menggantikan pemimpin partai. Sejak saat itu, mulai muncul kelompok-kelompok oportunis dan bahkan penjilat dalam Islam.
Campur tangan pemerintah orde baru untuk menjatuhkan atau melemahkan politik Islam semakin nampak, terbukti seperti tercermin pada Fusi tahun 1973 dan depolitisasi Islam secara konsisten. Langkah ini kemudian mencapai pinis akhir, ketika pancasiladitetapkan ditetapkan sebagai asas tunggal, melalui UU No. 3/1985 tentang partai politik, serta UU No. 8/1985 tentang Organisasi kemasyarakatan. Kebijakan ini, sebagaiman dikatakan Sudirman Tebba ialah suatu kebijakan terbesar yang pernah lahir pada masa Orde Baru. Yang menjadikan partai politik Islam seakan-akan telah tamat dalam pencaturan perpolitikan di Indonesia.
Berangkat dari ini semua, PPP dan ormas-ormas lainnya dipaksa supaya berasaskan pancasila. Proses de-Islamisasi politik Indonesia masa Orde Baru ini berlangsung sepanjang tiga dekade. Bersamaan dengan itu, tumbuh pemikiran-pemikiran dari intelektual Islam sendiri yang memberikan fondasi keislaman bagi diterimanya sekularisasi politik oleh umat Islam. Nurcholish Madjid mempopulerkan "Islam yes, partai Islam no". Abdurrahman Wahid meneriakkan ide bahwa "Islam sejajar dengan agama lain, bahkan hanya komplemen terhadap paham kebangsaan". Kiai Ahmad Sidiq mengatakan, "Pancasila adalah ideologi final bagi bangsa Indonesia." Semuanya membantu mempercepat proses sekularisasi politik dari dalam umat Islam sendiri.
D. Partai politik Islam di Zaman Reformasi
Setelah berakhirnya rezim Orde Baru tepatnya pada 21 Mei 1998 muncullah era baru yang dikenal dengan era Reformasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa era ini memberi samangat baru bagi Indonesia setelah 32 tahun berada di bawah naungan Orde Baru. Kesempatan-lesempatan untuk berekspresi melalui partai politik Islam yang sebelumnya dilarang kini diperbolehkan. Oleh sebab itu, kesempatan yang telah tersedia disambut hangat oleh para politisi muslim dengan mendirikan partai-partai politik Islam yang di harapkan bisa membawa aspirasi umat Islam, baik partai yang berasas Islam maupun yang tidak berasas Islam, tetapi menyuarakan aspirasi umat Islam. Atau Tentunya hal ini membuka peluang yang besar bagi perkembangan Islam, khususnya dalam ranah perpolitikan di Indonesia yang diwujutkan dengan banyaknya lahir partai-partai politik Islam yang baru. Terbukti satu tahun setelah itu, tepatnya pada tahun 1999 lahir 19 partai politik Islam dari 48 partai yang ikut dalam pemilu. Partai politik bisa dikatakan partai Islam apabila asasnya, lambangnya ataupun namanya mengandung unsure-unsur Islam. Diantara 19 partai tersebut yang ikut dalam pemilu ialah:
1. Partai Indonesia baru (PIB)
2. Partai Kebangkitan Muslimin Indonesia (KAMI)
3. Partai Umat Islam (PUI)
4. Partai Kebangkitan Umat ( PKU)
5. Partai Masyumi Baru (PMB)
6. Partai Persatuan Pembagunan (PPP)
7. Partai Serikat Islam Indonesia
8. Partai Abul Yatama
9. Partai Serikat Islam Indonesia 1905
10. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
11. Partai Bulan Bintang (PBB)
12. Partai Keadilan (PK)
13. Partai Nahdatul Ulama (PNU)
14. Partai Islam Demokrat (PID)
15. Partai Persatuan (PP)
16. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
17. Partai Cinta Damai (PCD)
18. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI)
19. Partai Umat Muslimin Indonesia (PUMI)
Pada pemilihan umum tahun 1999 ini, secara umum bisa dinilai bersifat demokratis yang merupakan tes pertama partai Islam untuk mengalahkan partai politik sekuler. Tetapi sangat disayangkan, dari 19 partai yang ikut hanya sedikit yang memperoleh suara secara signifikan, diantaranya Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Perolehan suara partai Islam jauh lebih sedikit dibandingkan dengan suara partai Golkar, apalagi dengan suara yang diraih oleh Partai Persatuan Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) yang pada waktu itu menempatkan partai diurutan teratas dalam perolehan suara dalam pemilu 1999. Dengan suara yang sedikit ini sebagian partai Islam terancam bubar, karena tidak boleh mengikuti pemilu berikutnya jika undang-undang No. 3 Tahun 1999 tentang pemilu tidak dirubah.
Pada pasal 3 UU itu menyebutkan bahwa untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya partai politik harus memiliki 2% dari jumlah kursi di DPR (10 kursi). Kemudian ayat 4 menyebutkan bahwa partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ketentuan tidak dalam ayat 3 tidak boleh ikut dalam pemilu berikutnya, kecuali bergabung dengan partai lain. Sedangkan partai politik Islam yang memenuhi ketentuan tersebut hanya 3 partai besar yaitu, PPP, PKB dan PBB. Yang lainnya bisa dipastikan bubar atau jika mengkin menggabungkan dengan partai lain. Tetapi sebenarnya diantara tiga partai tersebut PBB hanya mempeloleh dua suara di DPR, tetapi karena tertolong oleh sisa partai lainnya yang lebih besar dibandingkan suara partai lainnya, akhirnya PBB mendapat mendapat tambahan 11 suara, yang awalnya hanya mendapat 2 (dua) suara menjadi 13 suara. Diantara tiga partai Islam yang meraih suara terbanyak diatas ialah PPP, itupun hanya menempatu urutan ketiga, jauh dibawah PDI-P dan Gorkar.
Total perolehan suara dari tiga partai yang berasas Islam tersebut hanya sekitar 14%, atau sekitar 17% kalau partai-partai berasas Islam lain dimasukkan ke dalamnya. Proporsi perolehan suara seluruh partai berasas Islam ini tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh PPP setelah NU keluar dari partai tersebut. Jadi, tidak ada perbedaan signifikan dalam perolehan suara partai Islam, baik pada masa rezim otoritarian maupun rezim demokrasi. Sementara itu, gabungan perolehan suara PKB dan PAN, yang berasas non-Islam, cukup lumayan, yakni sekitar 20%. Tapi harap diingat, Golkar, yang juga berasas Pancasila, mendapat suara sekitar 23% dari pemilih yang 87 persen beragama Islam. Kalau represi Orde Baru adalah faktor utama yang menurunkan dukungan umat Islam terhadap partai Islam pada masa rezim tersebut, dalam Pemilu 1999 gabungan perolehan suara partai Islam seharusnya mendapat suara lebih besar dibanding perolehan PPP di zaman Orde Baru. Kenyataannya tidak. Bahkan NU dan Muhammadiyah, yang merupakan ormas Islam terbesar, mendukung partai yang berasas non-Islam, PKB dan PAN. Kalau umat pendukung dua ormas Islam ini memilih Golkar pada masa Orde Baru karena terpaksa, ketika politik jauh lebih bebas seperti dalam Pemilu 1999 kedua ormas tersebut seharusnya mendukung, atau bahkan mendirikan, partai yang berasas Islam pula. Kenyataannya tidak demikian. Bahkan kedua ormas Islam ini, lewat elite mereka, memberikan sumbangan sangat berarti bagi penolakan dimasukkannya Piagam Jakarta ke dalam konstitusi kita dalam proses amendemen tahun 2002.
Sebagaimana UU yang tercantum dalam pasal 3 diatas, partai-partai Islam pasti tidak bisa bertahan semuanya. Oleh karena itu, partai Islam harus menggabungkan diri dengan partai Islam lainnya untuk bisa ikut dalam ranah perpolitikan 5 (lima) sesudahnya. Tetapi pertanyaannya, apakah partai-partai Islam bisa melebur manjadi satu? Sedangkan kita mengetahui bahwa setiap partai dan pemimpinnya mempunyai keinginan atau cara sendiri untuk memperoleh kekuasaannya.
Sudirman Tebba dalam bukunya Islam Pasca Orde baru mengatakan. Ada beberapa factor yang menyebabkan partai Islam tidak mungkin menjadi satu. Diantaranya ialah tidak semua orang yang menjadi pimpinan partai memiliki komitmen terhadap kemajuan Islam dan kaum muslimin.
Faktor lain yang menyulitkan penyatuan partai Islam ialah bahwa basis Islam saling berbeda dan tersebar ke dalam berbagai organisasi keagamaan, seperti Nahdatul ulama (NU), Muhamadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendikiawan Muslim se Indonesia (ICMI) dan lain sebagainya. Masing-masing organisasi itu memiliki basis dan strategi perjuangan yang berbeda. Masing-masing juga memiliki anggota yang cukup besar, sehingga mereka merasa lebih baik mendirikan partai sendiri dari pada bergabung satu sama lainnya.
Memasuki pemilu yang kedua pada era reformasi tahun 2004 partai politik yang ikut dalam pemilu ada lima partai dari 24 partai yang lulus verifikasi. Diantaranya ialah, PPP (Hamzah Haz), PBB (Yusril Ihza Mhendra), PKS (Hidayat Nurwahid), Partai Bintang Reformasi (KH. Zainuddin MZ), dan Partai Persatuan Nahdaltul Ummah Indonesia (PPNUI) pimpinan KH. Syukron Makmun. Kelima partai ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan partai-partai yang ikut dalam pemilu 1999, hanya berubah nama atau pecahan dari partai sebelumnya.
Menguti pendapat Khamami Zada, kelima partai di atas bisa dikatakan sebagai perwakilan dari tiga aliran Islam yang berkembang di Indonesia. Misalnya, PPP, PBR, dan PPNUI mewakili kelompok Islam tradisionalis (NU). Namun demikian, PPP tidak otomatis basis massanya dikuasai kelompok tradisionalis, meski PPP sekarang ini dipimpin oleh kader NU, Hamzah Haz, karena kader-kader PPP mewakili berbagai aliran dalam Islam, seperti yang tercermin dalam Fusi 1973. Di dalam PPP, ada kader NU, Masyumi, Muhammadiyah, dll. Partai Bintang Reformasi adalah pecahan dari PPP, yang dipimpin oleh KH Zainuddin MZ, yang sama-sama memperebutkan basis massa yang sama dengan PPP. Sedangkan PPNUI adalah partai yang didirikan oleh warga NU (KH. Syukron Makmun) yang tidak sehaluan dengan garis politik Gus Dur (PKB). PBB mewakili kelompok Masyumi dan sekaligus yang mengaku sebagai pewaris sah Masyumi di Pemilu 1955. PKS mewakili generasi Islam baru, yang memiliki basis massa kader muda di kampus-kampus. Jika lima partai Islam ini disandingkan dengan PKB dan PAN, maka lengkaplah diversivikasi aliran Islamnya pada pemilu 2004 yang lalu, yakni benar-benar mewakili tiga aliran Islam Indonesia, yakni kelompok Islam tradisionalis (PKB, PPP, PBR, PPNUI), Islam modernis (PAN dan PBB), dan generasi Islam baru (PKS). Tetapi yang perlu digaris bawahi, banyak kalangan Islam yang lebih memilih partai nasionalis seperti PDI-P, GORKAR dan Demokrat, khususnya yang telah memenangkan pada Pilpres 2004. Tentunya hal ini menjadi pertanyaan besar bagi kita, apa yang sebenarnya terjadi didalam partai Islam itu sendiri?
Mamasuki tahun 2009, banyak kalangan yang memprediksikan bahwa hasil yang akan diperoleh partai-partai Islam tidak akan jauh berbeda dari tahun 2004. tentunya hal ini terbukti. Perolehan suara partai Islam tidak jauh beda dari itu. Dari hasil akhir pemilu legislatif yang ditetapkan KPU pusat pada tanggal 09 Mei 2009, perolehan suara PKS mencapai 8.206.955 (7,88 %), PAN 6.254.580 (6,0 %), PKB 5.146.122 (4,94 %), PPP 5.533.214 (5,32 %), PBB 1.864.752 (1,79 %), PBR 1.264.333 (1,21 %), PKNU 1.327.593 (1,43 %), PMB 414.750 (0,40 %).




Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP