Minggu, 28 Maret 2010



KEKUASAAN

Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely
“Lord Akton”

Pada dasarnya, etika kekuasaan memiliki nilai-nilai luhur yang sangat tinggi dan mulia. Tidak sedikit manusia ingin mendapatkannya. Salah satu jalannya adalah melalui jalur politik. Begitu tingginya nilai luhur kekuasaan, bagi para pemegangnya disyaratkan harus memiliki keperibadian dan akhlak yang baik, dapat dipercaya, cerdas, pintar, jujur, adil dan tidak cacat baik pisik maupun mental (sehat jesmani rohani). Dalam persepektif agama juga dinyatakan bahwa kekuasaan adalah amanah (trust) yang harus dilaksanakan dan dilaknat jika diselewengkan. Dunia politikpun menegaskan kekuasaan adalah public trust. Artinya, kepercayaan rakyat kepada pemegang kekuasaan. Selain itu, mengutip apa yang dikatakan Plato, pemimpin (pemegang kekuasaan) harus dari kalangan Filosof. Beliau berkeyakinan bahwa hanya filosof saja yang bisa melaksanakan kekuasaan secara benar, arif dan adil untuk mencapai kepentingan rakyat. Dalam hal ini, pemegang kekuasaan mestinya harus memiliki kualitas kepribadian yang unggul serta berkomitmen tinggi dalam menjalankannya. Perbuatan-perbuatan yang tidak yang bermoral seperti manifulasi, penipuan, korupsi, politik uang (money politics) harus segera dihilangkan.



Namun pada perkembangannya dewasa ini, politik disalah diartikan. Sejatinya, tidak banyak kebijakan-kebijakan yang bersipat positif dan mulia sebagaimana yang diharapkan, seperti kesejahteraan, keadilan, kesetaraan dan kemakmuran. Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan bukan untuk kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan pribadi. Kekuasaan dijadikan bukan sebagai alat atau insturmen dalam membuat kebijakan melainkan untuk kekuasaan itu sendiri. Dengan kata lain hanya ingin berkuasa bukan untuk mencapai kepedulian, pembebasan dan pemberdayaan rakyat. Padahal dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai politik tempat mereka bernaung dijelaskan bahwa berjuang demi dan untuk rakyat mutlak dibutuhkan, namun dalam realisasinya masyarakat hanya dijadikan legitimasi kekuasaan dan dimarginalisasikan. Pertanyaan mengapa hal itu bisa terjadi, mengutip yang dikatakan Bahtiar Effendi (jalan Tengah Politik Islam: 2005).
Pertama, tidak memaknai bahwa kekuasaan adalah amanah (trust) dan public trus sebagaimana yang telah kita singgung di atas. Dalam hal ini, trust harus dipertanggung jawabkan dengan Tuhan juga dengan manusia (kontrak social). Perjanjian dan kesepakatan antara rakyat dengan pemegang kekuasaan atau sebaliknya harus direalisasikan. Negosiasi perjanjian bersama inilah yang nantinya akan menimbulkan komunikasi politik sekaligus intraksi antara kedua belah pihak. Selain itu, dengan adanya perjanjian bersama ini, rakyat harus berani menuntut atau melakukan perlawanan bagi pemegang kekuasaan jika melakukan kejahatan politik atau menyeleweng dari moralitas, etika politik dan perjanjian yang telah disepakati bersama.
Kedua, godaan kekuasaan bagi para pemegangnya. memang tidak bisa dipungkiri dan manusiawi jika manusia selalu ingin dihargai, di nomor satukan, disegani ataupun dilayani. Dalam persepektif materinya, manuasia ingin hidup kaya dan serba kecukupan dengan mobil mewah, rumah besar dan lain sebaginya . Namun yang perlu digaris bawahi, kekuasaan ini bukan bertujuan untuk mendapatkan semua itu, melainkan sebagai sarana atau instrumen dalam mengambil kebijakan yang menguntungkan rakyat kecil.
Ketiga, kurangnya kepercayaan. Aristoteles mengatakan manusia adalah Zoon Politicon atau De Mens Is Een Social Wesen. Manusia pada dasarnya selalu ingin bergaul, berkumpul dan bermasyarakat. Tentunya kepercayaan adalah kunci dari kemaslahatan yang ingin dicapai. Dalam Aktualisasinya membangun kepercayaan memang bukan perkara yang gampang. Lebih-lebih dalam dunia politik, walaupun bisa membangunnya, namun sulit untuk menjaganya. Oleh karena itu, membangun kepercayaan di dalam dunia politik adalah suatu kewajiban yang tentunya dalam ikatan pada etika dan moralitas politik. Karena bisa dipastikan, jika kepercayaan antara elit politik, baik dalam ranah individu, lembaga, institusi tidak berjalan baik, maka kehidupan bersama, berbangsa dan bernegara akan selalu diselimuti rasa kecurigaan, ketidakpercayaan dan keresahan selalu melanda.
Akhirnya, kekuasaan tersebut secara filosofis harus dipahami sebagai trust dan public trust yang harus di pertanggung jawabkan dan bukan bersifat untuk kepentingan pribadi melainkan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kontrak dan perjanjian social yang telah disepakati. Selain itu, pemegang kekuasaan harus menyadari bahwa mereka diangkat oleh rakyat, bukan semata-mata terbuai dengan janji-janji, melainkan atas keyakinan bahwa aspirasi-aspirasi mereka bisa terwujut. Kedua, pemegang kekuasaan politik mesti menyadari, kekuasaan yang mereka peroleh bukan untuk kesenangan dan kekayaan pribadi, namun sebagai kekuatan atau jalan untuk mengimplimentasikan kepedulian bagi rakyat kecil dalam kebijakan-kebijakan yang merakyat. Ketiga, kepercayaan mutlak dibutuhkan dalam ranah politik. Jika pemegang kekuasaan percaya kepada masyarakat dan masyarakat percaya kepada pemerintah, maka kemaslahatan dan ploblem multidimensi yang melanda bangsa sekarang akan bisa di atasi. Selain itu, rendah hati, kejujuran, keterbukaan, keadilan, kecerdasan, kepedulian, dan cinta kasih yang dalam mesti di miliki bagi para pemegang kekuasaan.

Penulis: Riduan al-Bangkawi: Ketua Umum ISBA-Yogyakarta 2010-2011 dan Kordinator Komisi B SENAT Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Suka.

Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP