Jumat, 14 Januari 2011

Antar Pemimpin Harus Saling Percaya

Antar Pemimpin Harus Saling Percaya

Oleh:
Riduan Ahmad al-Bangkawi
Alumnus Pondok Perantren Syeck Sulaiman Arrasuli Bukittinggi Padang dan Pendiri Lembaga Penulisan dan Publikasi (LeP2) ISBA Yogyakarta

Bangka Belitung akan berkembang dan maju, jika antar pemimpinnya saling percaya dan akur, baik dalam ranah pribadi, maupun dalam ranah lembaga

TULISAN ini merupakan cacatan/pemahaman, yang penulis temukan dalam silaturrahhmi dan diskusi mahasiswa Bangka dan Belitung bersama Syamsudin Basari (Wakil Gubernur), pada hari minggu 13 November 2010 di Asrama Mahasiswa Belitung Yogyakarta.
Pertama, dalam pandangan Syamsudin, selama ini pemerintah lebih memperioritaskan pembangunan di Bangka daripada di Belitung. Padahal, secara perekonomian dan pariwisata, Belitung sangat potensial dalam membangun atau memajukan provinsi ini. Karenanya, ada anggapan, Belitung didiskriminasikan. Sedangkan, Bangka tidak akan bisa menjadi provinsi tanpa Belitung, begitu juga sebaliknya. Seperti, pembangunan jembatan penghubung Belitung dengan Belitung Timur sampai sekarang ini belum juga diselesaikan, pemerintah malah lebih memperioritaskan pembangunan multiyes lain. Yang lebih parah, kebijakan ini dibuat tanpa sepengetahuan beliau.
Kedua, Syamsudin (Wagub), menggambarkan bahwa selama ini, beliau merasa diremehkan atau dikesampingkan dalam mengambil kebijakan dan membuat putusan, termasuk kebijakan yang sebenarnya, dibawah wewenang beliau. Hal inilah yang mendasari, terjadinya konflik dan ketidak akuran antara Eko dengan beliau. Misalnya, dalam mengangkat/mutasi pejabat, seharusnya Eko (Gubernur), harus berkordinasi dengan beliau (Wagub), namun itu jarang dilakukan. Salah satu contoh, pengangkatan pejabat Badan Narkotika Provinsi (BNP) yang lalu.
Ketiga, Gubernur dan Wakil Gubernur, diibaratkan seperti dua pasang suami istri yang harus saling mengingatkan, atau dalam bahasa lain harus saling mengkritisi untuk kebaikan. Jika tidak bisa dikritisi secara langsung, Istri mengkritisi lewat media (Koran dan sebagainya).
Sikap Masyarakat
Melihat realita di atas, memang suatu hal yang nyata. Karena tidak jarang kita menemukan atau menyaksikan isu-isu diskriminasi (kebalikan kesetaraan) di Media, baik itu yang diutarakan masyarakat, mahasiswa maupun pemerintah, termasuk kritikan-kritikan tajam Syam atas kebijakan-kebijakan Eko. Disisi lain, sekarang ini masyarakat sedang asik-asiknya menjalani proses-proses demokrasi dengan bebas, terbuka, objektif dan professional menilai pemimpinnya. Yang tentunya tidak akan di dapatkan seperti pada masa pemerintahan Orde Baru dulu, yang terkenal dengan pemerintahan otoriter, represif dan sentralistik.
Hal ini, tentu dalam aktualisasinya akan terdapat bermacam-macam pandangan atau sikap masyarakat dalam menghadapi kemelut permasalahan dan konflik yang terjadi sekarang. Pertama, ada yang menganggab, ini adalah hal yang wajar dan mereka juga bersikap optimis. Karena, dalam dunia politik ini merupakan seni atau bumbu penyedap untuk mendewasakan pemerintah maupun masyarakat. Yang dalam kaidah agamanya dikenal dengan istilah “rahmad”.
Kedua, mereka yang beranggapan negatif dan pesimis. Ketakutannya, ini akan berdampak terjadinya konflik yang lebih besar, baik dalam dataran masyarakat maupun pemerintah. Lebih-lebih ini akan menjadi penghambat bagi kemajuan maupun pembangunan daerah.
Ketiga, mereka bersikap apriori, tidak mau tahu dan frustasi atas permasalahan dan konflik yang terjadi. Mereka beranggapan itu bukan urusan mereka, urusan mereka yang penting bagaimana bisa cari duit untuk makan. Dalam bahasa Almarhum Gus Dur, “itu aja kok repot”. Biarin saja, banyak hal lain yang harus dipikirkan, daripada mikir konflik itu. Disisi lain ada juga yang beranggapan, paling ini untuk kepentingan 2012.
Saling Percaya
Dalam perspektif sosial dan pergaulan masyarakat sehari-hari, unsur kepercayaan merupakan suatu hal yang sangat penting dan harus diperioritaskan. Misalnya dalam persahabatan, tanpa adanya kepercayaan, persahabatan dapat tidak akan berjalan denagn harmonis. Dalam keluarga juga seperti itu, jika suami tidak percaya dengan istri atau sebaliknya, rumah tangga bisa runtuh atau hancur. Pertanyaannya, bagaimana jika itu terjadi dalam persoalan politik?.
Prof. Dr. Musa Asy’arie, Rektor UIN Sunan Kalijaga menuturkan, bahwa persoalan politik, merupakan persoalan kekuasaan. Masing-masing kekuatan politik, baik yang tergabung dalam partai politik atau tidak, pasti akan selalu berusaha untuk mendapatkannya. Semakin besar kekuasaan yang didapatkannya, mereka akan memandangnya sebagai hal yang makin baik. Sebab, dengan kekuasaan yang besar itu, mereka akan dapat merealisasikan konsep politiknya dalam kehidupan masyarakat secara kongkrit. Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan sekarang, jelas sekali bahwa kekuasaan Syam lebih kecil jika dibandingkan dengan kekuasaan Eko.
Membangun kepercayaan memang bukanlah perkara yang gampang apalagi dalam dunia politik. Meskipun bisa diperoleh, seperti kepercayaan pada waktu pemilihan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tiga tahun yang lalu, namun jika tidak mampu menjaga dan memeliharanya, kepercayaan tersebut akan hilang dan konflik akan terjadi seperti sekarang.
Dibalik itu, seperti yang penulis singgung di atas, sistem demokrasi menuntut masyarakat untuk bebas menilai, bersikap maupun berpendapat. Apakah permasalahan sekarang, terkhusus masalah diskriminasi itu memang benar adanya, atau hanya permainan oknum-oknum dan elit politik tertentu untuk menonjolkan sosoknya, atau dikarenakan kekesalan atas ketidak percayaan yang terjadi?. Jawabannya, bisa ia bisa tidak. Namun yang jelas, adil dalam pembangunan bukan berarti harus sama, melainkan harus seimbang, sesuai kebutuhan dan proporsionalnya.
Bangka Belitung yang baru berumur Sembilan tahun ini, sangat diuntungkan, jika mereka memiliki sosok pemimpin yang kompak, akur dan saling percaya untuk membangun negeri ini. Sebaliknya, Bangka Belitung, akan rugi dan resah, jika memiliki pemimpin yang tidak akur, ingin menonjolkan sosok pribadi dan egoismenya, apalagi mengucilkan masyarakat dalam membuat kebijakan dan keputusan, yang menjadi pesanan dari pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan dibalik permasalahan dan konflik yang terjadi.

Read more...

Otonomi Daerah dan Politik Enterpreneurship

Otonomi Daerah dan Politik Enterpreneurship

Oleh:
Riduan Ahmad al-Bangkawi
Ketua Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Bangka (ISBA) Yogyakarta 2010


TIDAK dapat dipungkiri, sistem otonomi daerah merupakan program nasional yang sangat penting dan telah menjadi program publik yang harus diperioritaskan dalam menghadapi bermacam kemelut dan problem multidimensi yang melanda bangsa ini. Jika dibandingkan dengan UU sebelumnya, tepatnya ketika diberlakukan UU No. 5/1974, pemerintah daerah harus bertanggung jawab kepada kepada pemerintah pusat, atas segala inisiatif, peraturan dan kebijakan yang akan dibuat. Termasuk dalam hal rekrutmen kepala daerah dan birokrasi di Tingkat lokal.
Namun, UU tersebut telah diganti dengan UU. 22/1999 dan disempurnakan dengan UU. 32/2004, yang membuka selebar-lebarnya otonomi kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya, sesuai dengan kebutuhan dan program yang diyakini, bisa mewujudkan pemerintahan yang baik (Good Governance), sebagaimana yang diharapkan tanpa harus di interpensi oleh pemerintah pusat. Dalam istilah Prof. Dr. Affan Gaffar, MA (2009), untuk mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberi peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi, peningkatan efesiensi pelayanan publik, peningkatan percepatan pembangunan di daerah dan pada akhirnya, diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik.
Tetapi, bisa dipastikan untuk menjalankannya, bukanlah hal yang gampang. Hal ini, bisa di dasari atas lepasnya tanggungan pemerintah pusat untuk membina dan membantu daerah, bebasnya kepala daerah untuk melakukan apa saja yang di inginkan tanpa kontrol dari pemerintah pusat, serta akan melahirkan pemimpin atau raja-raja kecil yang leluasa menjalankan praktek KKN di daerah. Terlepas dari tiga permasalahan di atas, sederhananya UU. 22/1999 dan UU. 32/2004 ini, telah membuka ruang desentralisasi politik dan administrasi kepada pemerintah daerah, yang dalam implementasinya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi partisifasi masyarakat dan kepala daerah, atau dengan bahasa lain, membuka keluasaan daerah untuk mengatur kepentingannya secara pribadi dan mandiri, tanpa harus menunggu intruksi atau minta izin kepada pemerintah pusat seperti pada masa orde baru.
Karenanya, disinilah pemerintah daerah dituntut untuk menjalan politik transparan, legitimate, aksestble, dan demokratis. Serta menerapkan politik entrepreneurship, yang nantinya membuka ruang partisifasi yang sangat bagi masyarakat (civil society), swasta, LSM, organisasi kemasyarakatan di negeri ini.

Politik Enterpreneurship
Konsep/pendekatan politik enterpreneurship ini, sejatinya menekankan pada pemerintah dan birokrasi di daerah, untuk melibatkan semua elemen masyarakat seperti di atas, dalam setiap kebijakan, peraturan dan program yang akan ditetapkan untuk pembangunan daerah, terkhusus pembangunan ekonomi, yang dalam aktualisasinya, menekan pada:
Pertama, Pemerintah Katalis: Pemerintah lebih memfokuskan dalam memberikan pengarahan kepada masyarakat bukan menjadi pelayan masyarakat. Disini pemerintah dituntut untuk menyediakan beragam pelayanan masyarakat, seperti pihak swasta, LSM, dan organisasi kemasyarakatan, sedangkan pemerintah tidak mesti harus terlibat langsung dalam proses produksinya.
Kedua, Pemerintahan Wirausaha: Pemerintah harus mampu memberikan pendapatan dan tidak sekadar membelanjakan. Pemerintah dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan, dengan menjual jasa, barang informasi, penyertaan modal dan lain sebagainya. Ini disebut dengan.
Ketiga, Pemerintah Kompetitif: Pemerintah harus memberikan semangat atau motivasi kompetisi kepada masyarakat dan birokrasi untuk menjalankan sesuatu yang mereka inginkan. Kompetisi ini, selain menjadi satu-satunya cara untuk menghemat biaya, juga untuk meningkatkan kualitas pelayanan, tanpa harus memperbesar biaya.
Keempat, Pemerintah Visionis: Pemerintah berusaha mencegah daripada mengobati serta berupaya keras untuk mengantusupasi masa depan dengan menggunakan perencanaan strategi untuk menciptakan visi. Visi yang dibuat untuk membantu masyarakat, bisnis, dan pemerintah untuk meraih peluang dan krisis yang tidak terduga tanpa menunggu perintah atasan, proaktif bukan reaktif.
Kelima, Pemerintah Misionis: Pemerintah harus digerakkan oleh misi. Ini bisa dilakukan dengan cara mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi. Pemerintah lebih memperioritaskan misinya daripada mandatnya.
Keenam, Pemerintah milik masyarakat: Pemerintah memberikan wewenang kepada masyarakat bukan melayani. Dengan ini, diharapkan masyarakat mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri.
Ketujuh, Pemerintah berorientasi pada hasil: Pemerintah membiayai hasil bukan masukan. Disini, pemerintah mengembangkan suatu standar kinerja untuk mengukur seberapa baik suatu unit kerja, yang mampu memecahkan permasalah, yang menjadi tanggung jawabnya, semakin baik kenerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
Kedelapan, Pemerintah Berorientasi pada Pelanggan: Pemerintah harus memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi. Pemerintah selain memerhatikan aspirasi lembaga perwakilan (DPRD), tetapi juga harus memerhatikan pelanggan yang sebenarnya, yaitu masyarakat dan bisnis yaitu dengan secara terus menerus berupaya untuk lebih memuaskan masyarakat dan bisnis.
Kesembilan, . Pemerintah Desentralisasi: Pemerintah hirarki harus dibubarkan dan diganti dengan pemerintahan yang partisifatif dan tim kerja. Setiap kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah harus sesuai dengan masyarakat, pelanggan, organisasi kemasyarakatan dan LSM. (Osborne dan Gaebler: 2004)
Berangkat dari itu, disinilah nantinya, kita bisa melihat sektor swasta berperan dalam pembangunan daerah, dengan dukungan lingkungan pemerintah yang memadai bagi aktifitas seKtor swasta, serta memberikan insentif (incentive), penghargaan (reward) atas prestasi (performance) mereka.
Begitu juga dengan LSM dan organisasi kemasyarakatan lainnya, bisa mempunyai peranan dan kontribusi yang sangat signifikan untuk menyediakan mekanisme checks and balance terhadap kekuasaan pemerintah dan sektor swasta, atau untuk menguatkan posisi keduanya. Mereka dapat memonitoring terhadap pembangunan ekonomi, penipisan sumber daya, kerusakan lingkungan dan kerusakan sosial yang ada disekeliling mereka. Selain itu, bisa berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dengan membantu mendistribusikan keuntungan pertumbuhan ekonomi secara merata di dalam masyarakat, serta menawarkan kesempatan bagi masyarakat untuk meningkatkan standar hidupnya. (Pratikno: 2001).
Walhasil, substansi otonomi daerah sebagai kewenangan daerah untuk lebih leluasa dan lebih berhak mengatur diri sendiri dan mandiri, bisa berjalan dengan lebih baik, optimal dan efektif. Tentunya, harus di dukung dengan kondinasi dan komunikasi yang baik antar kepala daerah di provinsi dengan kepala daerah di kabupaten/kota, serta pola intraksi yang harmonis dan proporsional antara pemerintah dengan DPRD, dalam menjalankan amanah dan tanggungjawabnya.
Dengan demikian, jika hal ini dikaitkan dengan daerah provinsi Kep. Bangka Belitung, konsep politik ini sangat mungkin untuk diaplikasikan, apalagi mengingat empat kabupaten, Bangka Tengah, Bangka Barat, Bangka Selatan dan Belitung Timur, baru saja memilih/menetapkan kepala daerahnya melalui Pilkada Langsung. Jauh dari itu, tanpa berlebihan, bila perlu konsep ini harus dijalankan secara jangka panjang (Sustainable) oleh pemerintah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Besar harapan dan belum terlambat untuk mencoba. Semoga.

Read more...


Politik Optimisme 2012

Oleh:
Riduan al-Bangkawi
Ketua Umum dan Pendiri Lembaga Penulisan dan Penerbitan The Assotiation of Bangkanese Students (ISBA) Yogyakarta

MEMASUKI awal tahun 2011, suasana perpolitikan di negeri serumpun sebalai semakin semrawut dan tidak jelas arahnya. Realita sosial ini mengisyaratkan, bahwa rakyat semakin bingung dalam memahami perilaku para pemimpinnya. Hal ini disebabkan, pada tahun 2010 lalu, para pemimpinnya, telah melakukan akrobatik dan permainan politik yang sangat membingungkan, dan sangat sulit untuk ditebak apa maunya. Apa yang mereka katakan, tidak sesuai dengan realita yang ada, yang sejatinya menuntun masyarakat untuk hidup lebih maju dan sejahtera atas peraturan dan kebijakan yang dibuat.

Sebuah Realita
Kita bisa lihat, berbagai fenomena kebijakan yang dibuat dan permasalahan yang terjadi di tahun 2010 yang lalu, seolah-olah menuntut masyarakat untuk bersikap pesimis kepada pemimpinnya. Misalnya saja, tahun 2010 Gubernur kita pernah menjanjikan kepada masyarakat bahwa tahun ini Babel akan terang benderang. Namun realita yang terjadi malah sebaliknya, bisa kita lihat di desa pinggiran/pelosok, masih banyak yang belum tersentuh listrik.
Suatu ketika, gubernur kita pernah mengatakan, bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah tidak perlu dan masih banyak alternatif lain yang harus diprioritaskan untuk pembangunan daerah. Hal ini, mungkin dikarenakan rasa gengsi terhadap Walikota Pangkal Pinang, yang pada waktu itu menjadi orang yang pertama mengusulkan PLTN tersebut. Namun, sekarang malah Gubernur sendiri yang gembar-gembor untuk menjadikan Babel sebagai tempat PLTN yang paling baik di Indonesia. Malah, gubernur dengan lepasnya menantang masyarakat yang kontra untuk membuktikan secara akademis, apabila tidak setuju atas kebijakan tersebut.
Selain itu, dalam perevisian Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 04/M-DAK/Per/1/2007 tentang Ekspor Timah Batangan. Gubernur kita adalah salah satu dari sekian banyak pemimpin dan masyarakat lainnya yang menolak. Jika dilihat dari sisi kebijakan, ini memang benar adanya dan memang itu yang diharapkan. Namun di sisi lain apakah gubernur kita sudah benar-benar serius menyelesaikan permasalahan lain terkait dengan pertambangan Timah ini.
Disatu sisi, gubernur menolak perevisian ini karena ini bertentangan dengan Undang-Undang No. 04 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (MINERBA) yang secara substansi, sebagaimana yang diungkapkan Bambang Gatot Ariyono, Direktur Pembinaan Pengusahaan Minerba (2009), merupakan metode untuk mengoptimalkan penerimaan negara, memberi kewenangan pemerintah yang jelas sekaligus mengembalikan fungsi Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai “regulator”, juga sebagai dorongan untuk mengimplementasi kaidah-kaidah “good mining practices”, yang mengutamakan lingkungan, adanya jaminan kepastian berusaha, mengintegrasikan pengelolaan data pertambangan dan divestasi saham asing untuk pihak nasional. Serta, mewajibkan pemrosesan dan pemurnian logam dilakukan dalam negeri, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah produk dan demi kepentingan daerah dan nasional, dalam menetapkan domestic market obligation (DMO) untuk mineral.
Perevisian ini juga akan semakin membuka ruang yang lebih besar atas kerusakan lingkungan, dengan merebak atau bebasnya Tambang Inkonvensional (TI) rakyat dan perusahaan-perusahaan swasta yang lebih parah jika perevisian ini dilegalkan, niscaya kebebasan masyarakat maupun pihak swasta untuk mengekspor logam timah mentah, tin slag dan timah paduan, untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok.
Namun, disisi lain, kita bisa lihat, kerusakan lingkungan, rusaknya perairan pantai, banyaknya TI apung dan kapal isap di negeri ini, seolah-olah dibiarkan saja oleh gubernur, tanpa benar-benar ditanggulangi dan dicari penyelesaiannya. Yang lebih parah lagi, royalti yang diturunkan PT. Timah untuk negeri ini setiap tahunnya, tidak lebih dari 5 persen. Pertanyaannya, dimanakah posisi tawar gubernur tersebut?
Dalam dataran yang berbeda, mungkin tidak asing lagi bagi kita, bahwa kurang harmonisnya hubungan gubernur dengan bupati/walikota di negeri ini, menyebabkan lemahnya komunikasi dan kerjasama antar pemimpin. Ironisnya, ini terjadi bukan dalam dataran Gubernur dengan bupati/walikota saja, melainkan juga gubernur dengan wakil gubernur dan gubernur dengan DPRD provinsi. Sebagai contoh, dalam kebijakan melanjutkan pendidikan ke jenjang S3 untuk kepala dinas yang lalu, kebijakan gubernur ini tidak diketahui oleh DPRD.



Dan masih banyak lagi permasalahan-permasalahan yang lainnya yang melanda semua sendi-sendri kehidupan di negeri tercinta kita ini, termasuk pembuatan kantor baru Gubernur lima tingkat, yang menghabiskan dana 44 miliar lebih. Suatu hal yang sangat mubazir dan hanya menghabiskan dana daerah saja. Juga empat gedung Pemprov di komplek perkantoran Air Itam, terbengkalai dan sangat memprihatinkan. Padahal kita tahu, bahwa Puluhan miliar uang rakyat dihabiskan untuk membangun gedung-gedung megah tersebut. Juga masalah kecurangan CPNS baru-baru ini, sebuah permasalahan yang sangat krusial yang harus dievaluasi ke depannya.
Sedikit mengulang, pidato penulis selaku ketua umum ISBA Yogyakarta, dalam Seminar Nasional 14 September 2010 di Hotel Serrata lalu, bahwa, Bangka Belitung dinobatkan sebagai provinsi No. 1 Terkorup Indonesia. Termasuk hasil temuan BPK di tahun 2010 lalu, melaporkan, bahwa 100 M lebih dana hibah pemerintah tidak jelas laporannya.

Politik Optimisme
Kepemimpinan masyarakat dimanapun, dan dalam keadaan apapun, sebagaimana yang diungkapkan Prof. Dr. Musa Asy’arie, Rektor UIN Sunan Kalijaga, harus selalu dapat menentramkan kehidupan rakyatnya, dengan memberikan keteladanan yang baik untuk ditiru dan dijadikan rujukan bagi kehidupan para pengikutnya. Jika seorang pemimpin sudah tidak lagi mencerminkan keteladanan, dengan perkataan dan perbuatannya yang tidak konsisten, tidak sesuai dengan kenyataan, selalu berubah-ubah tanpa kejelasan makna yang dimaksud, sudah pasti yang terjadi adalah kebalikannya. Rakyatpun akan menggunakan logika terbalik, sehingga jika pemimpin mengatakan keadaan sudah baik, maka rakyat akan memahami, bahwa keadaan sangat jelek atau buruk. Lebih-lebih, masyarakat akan menilai, bahwa pemimpinnya telah gagal dan tidak bisa diandalkan. Apalagi harus memilih atau mendukung untuk kedua kalinya.
Disisi lain, rakyat mempunyai batas kesabaran, batas kemampuan, batas kekuatan, batas keberanian, maupun batas daya tahan untuk menghadapi ketidakpastian, ketidak adilan, kesemrautan, kegagalan dan lain sebagainya. Berbagai cara atau usaha, juga telah dilakukan masyarakat, mahasiswa, akademisi maupun aparatur pemerintah yang lain, untuk mempertemukan atau menyatukan para pemimpinnya dalam satu tempat, supaya saling membuka hati, mengedepankan suatu hati daripada tuntutan egoismenya dan mengalahkan diri sendiri untuk memenangkan kepentingan bersama.
Namun, rupanya itu hanya sia-sia belaka sampai sekarang. Akhirnya rakyat bertanya-tanya, apa yang menyebabkan pemimpinnya tidak mau membuka hati dan duduk bersama untuk memperjuangkan rakyat dan negeri ini. Padahal, mereka menyadari bahwa permasalahan terus berlanjut dan frustasi sosial masyarakat tetap meraja rela.
Dibalik itu, Tuhan menyerukan bahwa, Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum (bangsa), sehingga kaum tersebut mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri. Sejatinya, seruan ini mengisyaratkan, bahwa semua permasalahan yang sedang kita hadapi sekarang, bukanlah salah Tuhan, melainkan salah kita sendiri, salah karena telah memilih pemimpin seperti ini, salah karena kita tidak bersatu untuk melawan atau mengontrolnya, salah karena kita terlalu cuek, apriori, mau dibodohi atau pesimis atas permasalahan yang terjadi selama ini.
Oleh karena itu, inilah yang menjadi bahan evaluasi bersama bagi kita, yang berlalu biarlah berlalu. Tatap masa depan negeri dengan optimisme, supaya lebih maju dan sejahtera ke depannya. Dewasakan pandangan atau penilaian dimulai dari tahun 2011 ini, bahwa pemimpin kita sekarang telah gagal memimpin dan tidak bisa diandalkan, serta terus tanamkan optimisme, bahwa akan ada pemimpin yang diutus Tuhan untuk memimpin negeri serumpun sebalai ini dua tahun mendatang, 2012.Semoga

Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP