Sabtu, 16 Oktober 2010

Quo Vadis Taman Kanak-kanak (TK) di Babel?

Quo Vadis Taman Kanak-kanak (TK) di Babel?

Oleh: Riduan al-Bangkawi,
Ketua Umum ISBA Yogyakarta 2010-2011 (Putra Asli Cengkong Abang Mendo Barat).
Terbit Radarbangka edisi 12 Oktober 2010

“Masa anak-anak usia dini adalah masa yang sangat aktif bagi perkembangan otak dan membantu terjadinya transisi yang mulus ke pendidikan Sekolah Dasar, memberikan kemungkinan yang lebih baik untuk menyelesaikan pendidikan dasar dan memberikan jalan keluar dari jerat kemiskinan di kemudian hari.” (UNESCO 2007)

SEMUA manusia sudah pasti mengetahui bahwa potensi otak manusia itu luar biasa. Jika potensi keluarbiasaan itu tidak diasah, dirangsang, dan diproses secara benar dan baik, niscaya sulit untuk diaktualisasi. Oleh sebab itu, berdasarkan penelitian sejumlah ahli, untuk mengaktualisasi dan mengaktivasi potensi otak tersebut seyogianya sudah harus dimulai sejak usia dini. Dalam versi lain, khususnya menurut dunia kedokteran, perkembangan otak telah dimulai sejak dalam kandungan. Otak manusia yang dipercaya memiliki keluarbiasaan tersebut tidak akan dengan sendirinya berubah atau menjadikan manusia hebat luar biasa.



Indra Djati Sidi, Ph.D (2001) menyebutkan bahwa kehebatan luar biasa manusia itu hanya berbentuk sebatas bahan dan potensi “your brain is like a sleeping giant”. Karenanya, otak yang bagaikan raksasa tidur itu harus dibangunkan dan diberikan pupuk yang cukup agar bisa tumbuh dengan baik. Bayangkan pertumbuhan otak pada anak usia 4 tahun baru mencapai 50 persen, sementara ketika berusia 8 tahun mencapai 80 persen. Pertumbuhan ini terjadi jika upaya mengaktivasi potensi otak berjalan dengan baik.
Beberapa pakar pendidikan mengungkapkan, sejatinya sebelum anak-anak masuk Sekolah Dasar (usia kisaran 6-7 tahun) harus masuk Taman Kanak-kanak (TK) terlebih dahulu, dengan cara bermain sambil belajar. Sejumlah survey memastikan, anak-anak yang mengikuti TK sebelum masuk SD, prestasi akademik dan kepintarannya lebih baik dari anak yang tidak pernah mengenyam jenjang TK.

Realitas TK di Babel
Taman Kanak-kanak (TK) merupakan sarana belajar sambil bermain bagi anak-anak usia dini serta memiliki urgensi bagi kecerdasan dan prestasi anak di kemudian hari. Dari riset yang penulis lakukan di Bangka beberapa waktu yang yang lalu, penulis menemukan sejumlah fakta menarik. Pertama, konsep dan metode serta sistem pembelajaran TK yang diterapkan di banyak TK tampak kurang tepat dan kurang sensitif terutama terhadap kondisi psikologis anak didik, dan kondisi ini telah berlangsung sekian lama. Contohnya, dalam model pembelajaran anak didik langsung diajarkan bahkan “dicekoki” materi membaca dan berhitung yang membebani.
Padahal substansi TK adalah bermain. Karenanya semua aktivitas yang mesti dilakukan adalah melalui media bermain dengan cara mengimplementasikan pengelolaan emosional, seni, gerak, dan olahraga. Pada gilirannya, aspek kognitif, afektif dan psikomotorik anak didik tidak terakomodasi dengan baik bahkan kadang terabaikan.
Kedua, masih banyaknya anak-anak usia dini yang tidak bisa mengikuti TK di pedesaan, khususnya di pelosok-pelosok desa. Fakta ini sangat penulis sayangkan karena ternyata akses masyarakat desa pada TK terhambat bukan dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi atau keengganan orang tua menyekolahkan anaknya ke TK, tapi lebih diakibatkan belum tersedianya infrastruktur TK di desa-desa atau pelosok desa yang “terpencil”.

Solusi strategis
Berangkat dari sejumlah fakta yang penulis sampaikan di atas, bagaimanapun TK di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mutlak diperlukan dan mesti dikembangkan serta dikelola ke arah yang lebih baik demi kecerdasan anak-anak usia dini dan kualitas generasi penerus di Bumi Serumpun Sebalai pada masa yang akan datang.
Ke arah itu, TK harus “dibangun” paling tidak berdasarkan tiga konsep berikut. Pertama, TK mesti dibangun di atas landasan pikir dan paradigma yang sesuai dengan substansi pendidikan anak usia dini (PAUD). Tidak bisa tidak, para pendidik termasuk orang tua harus memiliki paradigma yang mengandaikan bahwa usia dini merupakan usia emas bagi penanaman nilai dan karakter.
Di sinilah kemudian keteladanan (role model) dari orang tua dan guru (baca: para pendidik) menemukan signifikansinya. Karena anak belajar melalui proses “imitation” atau peniruan dan “modeling” atau pemodelan. Bentuk atau model pembelajaran yang mengabaikan pendidikan nilai dan karakter akan melahirkan dan membentuk anak-anak yang egois, berakhlak buruk dan antisosial.
Kedua, secara psikologis usia dini merupakan usia bermain, di mana suasana gembira (happy and fun) menjadi sekaligus memberi kesenangan bagi anak didik dalam menangkap dan mencerna segala hal yang dilihat, didengar dan dirasakan. Model pengajaran yang mencekoki anak didik dengan materi pelajaran di saat mereka seharusnya bermain hanya akan membuat anak didik mengalami trauma. Bahkan durasi yang terlalu panjang atau terlalu lama berada di dalam ruang kelas akan membuat anak didik mengalami kejenuhan traumatik.
Anak usia dini tidak boleh dipaksakan, diperintah dan dibebani dengan sesuatu yang bisa mengakibatkan mereka trauma atau cidera (fisik) yang berakibat pada keengganan dan ketakutan untuk bermain, datang dan kembali ke TK. Anak usia dini semestinya “disentuh” via bahasa kasih sayang, titah yang menentramkan, dan pengasuhan yang mendamaikan.
Ketiga, anak-anak di pedesaan memiliki sumber daya kearifan lokal (local wisdom) yang lebih kaya daripada anak-anak di perkotaan. Solidaritas, soliditas, kebersahajaan, dan rasa hormat terhadap orang tua merupakan nilai dan karakter yang masih kental melekat dari anak-anak desa. Lebih dari itu, secara praktis, desa menyimpan potensi tradisionalitas dalam bentuk kesenian dan praktik kebudayaan berupa permainan, lagu dan nyanyian serta olahraga tradisional.
Potensi tradisionalitas yang dilambari dengan keluhuran nilai dan budi pekerti yang ada di desa sangat besar pengaruhnya bagi peningkatan kecerdasan emosional seseorang. Kecerdasan emosional (emotional quotient) merupakan modal dasar sekaligus modal sosial yang harus terus ditanamkan dan dipupuk serta menjadi prioritas dalam PAUD sehingga nantinya mereka bisa menjadi insan yang kreatif, mandiri, toleran, bisa menolong diri sendiri dan termasuk orang lain serta lebih sabar dalam menghadapi masalah.
Beranjak dari hal tersebut, sesungguhnya potensi untuk mengembangkan PAUD dari dan di desa menjadi pilihan dan kekayaan strategis bagi perumus dan pengambil kebijakan serta elite pendidikan di tingkat atas, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Akhirnya, penulis kembali ingin mengingatkan kita semua bahwa PAUD khususnya TK tidak bisa dianggap sebagai soal enteng dan remeh-temeh dalam rangka pembangunan karakter bangsa. Hal ini seiring sejalan dengan hasil penelitian Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional RI bekerjasama dengan Bank Dunia (World Bank) tahun 2009-2010 yang menyebutkan, masa anak-anak usia dini adalah masa yang sangat perlu diperhatikan bagi perkembangan otak dasar dalam proses pembelajaran di kemudian hari.
Lebih jauh bahkan disebutkan, kehidupan usia dini seorang anak memiliki konsekuensi dasar bagi kehidupan mereka ketika dewasa nanti. Hasil yang buruk dalam pendidikan dan perkembangan masa usia dini akan berbuntut panjang dan memberikan dampak pada prestasi sekolah, kualitas pekerjaan, kriminalitas, dan kecakapan sosial di waktu dewasa. Produktivitas suatu daerah di masa yang akan datang akan terancam jika anak-anak tidak dilindungi dan tidak diberikan kesempatan untuk berkembang dengan sepenuhnya. Mudah-mudahan secuil ide ini bermanfaat bagi semua. Semoga.

Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP