Minggu, 12 Juli 2009

HUKUM DAN KEPENTINGAN
“Study Terhadap Perbedaan Kaidah Atau Norma Yang Berlaku Di Indonesia”

A. Pendahuluan
Manusia menurut kodratnya selalu ingin hidup berkumpul dan berkelompok, yakni manusia yang satu dengan yang lainnya senantiasa menjalin hubungan dan hidup bersama-sama dalam setiap. Berkaitan dengan hal ini, Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr. Hasanudin AF, MA, mengatakan bahwa manusia adalah: Zoon Politicon atau De Mens Is Een Social Wesen yang artinya manusia sebagai mahluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan manusia lainnya, jadi mahluk yang suka bermsyarakat. Oleh karena itu sifatnya yang demikian itulah manusia disebut sebagai mahluk sosial.
Didalam realitasnya, sebagai makluk sosial tentunya manusia selalu ingin hidup untuk berkumpul, berintekrasi dan berhubungan dengan manusia lainnya. Antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok. Sebagaimana yang dikatakan oleh Elwood, bahwa yang menyebabkan manusia cenderung hidup berkelompok atau bermasyarakat di karenakan adanya dorongan kesatuan biologis yang terdapat dalam kodrat manusia itu sendiri, seperti hasrat untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, hasrat membela diri, hasrat untuk mandiri, dan hasrat mengembangkan keturunan.

Berangkat dari itu semua, tentunya setiap masyarakat ingin dan pasti memiliki kepentingan masing-masing, di dalam kepentingan pasti terjadi persamaan dan perbedaan. Kadang-kadang antara kepentingan satu dengan masyarakat lain ada kesamaan, akan tetapi, tidak jarang pula kepentingan yang satu dengan masyarakat lainnya terjadi pertentangan. Di dalam banyak peristiwa dan perbedaan tersebutlah akan menimbulkan perselisihan, kakacauan, pententangan maupun konflik.
Zevenbergen sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S. H mengatakan; Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya yang mengancam kepentingannya, sehingga seringkali menyebabkan kepentingan atau keinginannya tidak tercapai. Manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Untuk itu memerlukan bantuan manusia lainnya.
Bantuan manusia lain, akan lebih mempermudah keingginannya tercapai dan terlindungi. Lebih-lebih manusia itu termasuk mahluk yang lemah dalam menghadapi ancaman bahaya terhadap dirinya atau kepentingannya, akan lebih kuat kedudukannya menghadapai bahaya, apabila ia bekerja sama dalam kelompok atau kehidupan bersama.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa masyarakat merupakan kelompok atau kumpulan manusia. Berapa jumlah manusia yang akan disebutkan sebagai masyarakat tidaklah penting. Contoh; Apabila di dalam sebuah daerah hanya ada satu orang saja maka belum bisa dikategorikan sebagai masyarakat, tetapi apabila pada hari berikutnya atau hari-hari setelah itu ada masyarakat yang datang di dalam daerah itu, baru dikategorikan sebagai masyarakat. Yang mempertemukan atau mendekatkan manusia satu dengan lainnya adalah pemenuhan kebutuhan atas kepentingan-kepentingan mereka.
Menitik berat dari ini semua, tentunya berbagai kepentingan bersama mengharuskan adanya ketertiban, adanya keamanan, adanya ketentaram, kedamaian, keadilan dan kebersamaan. Karena itu, sangat diperlukan adanya tatanan (ordenung), yaitu berupa aturan-aturan yang menjadi pedoman dan bimbingan segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Tidak mustahil akan terjadi komplik dan bentrokan antara sesama manusia dalam mencapai kepentingannya. Komplik kepentingan tersebut terjadi apabila dalam melaksanakan atau mengejar kepentingannya, seorang merugikan orang lain. Gangguan kepentingan atau komplik haruslah dicegah, tidak di biarkan berlangsung terus menerus, karena akan menganggu keseimbangan tatanan masyarakat, dengan tatanan keadaan masyarakat yang seimbang niscaya menciptakan suasana tertip, damai, aman yang merupakan jaminan kelangsungan hidupnya.

B. Jenis-Jenis Kaidah Atau Norma Yang Berlaku di Indonesia.
Kaidah secara bahasa atau etimologi berasal dari bahasa Arab “ Qaidah”, yang berarti dasar, fondasi, pangkal, peraturan, kaidah, norma dan prinsip. Sedangkan dalam kajian ilmu hukum, kaidah lebih diartikan dengan peraturan atau norma. Secara istilah atau teminologi menurut Hans Kelsen sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono Soekanto adalah “That Seomething ought to happen, expicialy that a human being to behave in a specifik way” yang artinya sesuatu yang seharusnya dilakukan, terutama bahwa manusia harus bertingkah laku menurut cara tertentu.
Menurut Yulies Tiena Masriani, S. H, M. Hum, kaidah dan norma adalah petunjuk hidup, yaitu petunjuk bagaimana seharusnya kita berbuat, bertingkah laku, tidak berbuat, dan tidak bertingkah laku di dalam masyarakat. Jadi singkat kata, kaidah atau adalah aturan-aturan yang berisi perintah dan larangan yang harus diterima dan ditetapkan di dalam masyarakat guna mewujutkan kedamaian, keamanan, keadilan ketertiban di dalam masyarakat.
Beranjak dari semua penjelasan diatas, bahwa manusia itu mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Manusia dengan sipat individualnya akan mementingkan dirinya sendiri, dengan demikian secara otomatis pertikaian, komplik dan permusuhan akan terjadi. Jika keadaan masyarakat selalu seperti itu, bisa dijamin tidak akan terjadi keteraturan dan kebaikan dalam masyarakat. Untuk menjawab itu semua, tentunya kita membutuhkan aturan, kaidah atau norma yang akan mengaturnya.
Kaidah atau norma secara globalnya terbagi kepada dua macam.
1. Kaidah atau norma dengan aspek kehidupan pribadi yaitu kaidah atau norma keagamaan dan kesusilaan.
2. Kaidah atau norma antar pribadi yaitu norma sopan santun dan norma hukum.
Dengan demikian dapat kita bagikan secara rinci:
a). Norma agama, yang berguna untuk mencapai kesuciaan pribadi atau kehidupan beriman.
b). Norma kesusilaan yang berguna untuk diri pribadi baik itu dihadapan manusia maupun dihadapan Tuhan.
c). Norma sopan santun yang tujuannya supaya di dalam kehidupan bermasyarakat ada keenakan dan saling menghargai.
d). Norma hukum yang tujuannya supaya tercapai kedamaian bersama.

1. Norma Agama
Norma agama adalah suatu aturan yang ditetapkan oleh Tuhan yang harus diterima, baik itu perintah maupun larangannya. Mengutip pendapat Prof. Dr. Hasanuddin bahwa norma agama adalah aturan tingkah laku yang berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan anjuran-anjuran yang diyakini norma sosialnya, seperti:
Firman Allah dalam al-Qur’an:
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
Drs. Sudarsono S. H. mengatakan bahwa secara garis besarnya, norma agama itu terbagi kepada tiga hubungan. Pertama, peraturan-peraturan yang memuat tata hubungan manusia dengan Tuhan, dinamai dengan hubungan “vertikal”. Kedua, peraturan-peraturan yang memuat tata hubungan manusia dengan manusia yang dinamai dengan hubungan “horizontal”. Ketiga, peraturan manusia yang mengatur manusia dengan alam semesta. Dan ketiga hubungan ini, tidak bisa dipisahkan, artinya tidak bisa mandiri dan saling membutuhkan satu dengan yang lain.




2. Norma Kesusilaan
Norma kesusilaan menurut etimologinya adalah etika atau moral. Sedangkan menurut terminologinya adalah peraturan hidup yang di terima atau dianggab manusia sebagai suara hati sanubari yang berupa patokan-patokan mengenai hasrat rohaniah yang tidak tampak. Peraturan hidup itu berupa bisikan qalbu atau suara batin yang diakui dan di insafi oleh setiap pedoman dalam sikap dan perbuatannya.
Oleh karena itu, kaidah kesusilaan ini bersifat otonom, artinya diikuti atau tidak, aturan tingkah laku tersebut tergantung pada hati atau sikap batin manusia. Batinnya sendiri yang mengancam perbuatan yang melanggar kaidah kesusilaan dengan sanksi. Tidak ada kekuasaan diluar dirinya yang memaksakan sanksi itu. Norma kesusilaan ini diikuti masyarakat khususnya di Indonesia bukan karena takut pada sanksi berdosa pada Tuhan, melainkan kerena hati nurani dan sanubarinya menganggab pelanggaran terhadap norma ini akan menyebabkan batin atau hati nurani kita sebagai manusia tidak tenang, merasa tersiksa dan mungkin rasa malu ataupun penyesalan kepada diri sendiri.
Mengutip pendapat Kansil, sebagaimana yang dijelaskan oleh Drs. Sudarsono S.H mengatakan: Kesusilaan itu, memberikan peraturan-peraturan kepada manusia agar supaya ia menjadi manusia yang sempurna. Hasil dari perintah dan larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu pada manusia bergantung pada pribadi masing-masing orang.
Sedikit berbeda apa yang dikatakan oleh Van Aveldoorn, ia mengatakan ada perbedaan antara moral dengan susila. Tetapi Surojo Wignyodipuro sebagaimana yang dijelaskan oleh Soeroso S. H. Perbedaan itu hanya bersipat gradual saja, karena kesusilaan bersumber dari moral. Artinya, manusia itu adalah mahluk yang bermoral yang berperasaan ialah perasaan susila.

3. Norma Kesopanan
Tata aturan yang hidup di dalam masyarakat lebih dikenal dengan norma kesopanan. Demikian juga, timbulnya tata aturan tersebut adalah diawali dengan pergaulan sekelompok manusia. Norma kesopanan tersebut jika ditinjau dari segi timbul dan adanya adalah: Peraturan yang timbul dan hidup dalam pergaulan sekelompok manusia. Yulies tiena Masriani, S. H, M. Hum, mengatakan bahwa norma kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul dari segolongan manusia. Peraturan itu diikuti dan ditaati sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku manusia terhadap manusia lain yang ada disekitarnya. Sedangkan menurut Soeroso S. H, norma kesopanan adalah ketentuan-ketentuan hidup yang timbul dari pergaulan dalam masyarakat. Norma kesopanan dasarnya adalah kepantasan, kebiasaan, kepatuhan yang berlaku dalam masyarakat.
Kaidah kesopanan ini diikuti dan ditaati sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku manusia terhadap manusia yang lain disekitarnya. Satu golongan masyarakat tertentu dapat menetapkan peraturan-peraturan tertentu mengenai kesopanan, yaitu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan seorang dalam masyarakat. Jadi norma kesopanan timbul dan diadakan oleh masyarakat itu sendiri sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan mereka, sehingga masing-masing mereka saling menghargai dan hormat menghormati.
Norma kesopanan tidak terlalu berpengaruh seperti norma-norma lainnya, seperti norma keagamaan dan kesusilaan diatas. Norma kesusilaan tidak bersifat universal, karena disuatu masyarakat berbeda dengan masyarakat yang lain. Apa yang dianggab sopan disuatu wilayah pasti berbeda dengan wilayah lain.
Disini penulis akan memuatkan sedikit contoh kaidah kesopanan yang berlaku di dalam bangsa Indonesia kita: Bagi yang muda harus menghormati yang tua. Disaat kita berjalan, kita harus mendahulukan yang lebih tua. Disaat kita sedang berada di dalam angkatan umum, jika disana itu ada orang tua atau wanita, maka kita di tuntut mendahulukan bagi mereka untuk duduk. Atau mungkin contoh lain, bagi yang muda disaat bersalaman dengan orang tua, guru, dosen harus mencium tangannya. Tidak meludah dihadapan orang, dan lain-lain.
Norma kesopanan ini sangat berbeda dengan norma kesusilaan yang lebih tertuju pada sikap batin pribadi, norma kesopanan justru ditujukan pada sikap lahir manusia yang beriontasi pada kesempurnaan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, sanksi bagi pelanggaran kaidah atau norma kesopanan adalah berwujut teguran, celaan, cemoohan, pengecualian dan lain sebagainya.
Kansil mengatakan bahwa norma kesopanan tidak mempunyai lingkungan pengaruh yang besar, jika dibandingkan dengan lingkungan norma agama dan kesusilaan. Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat (regional), dan berlaku bagi segolongan tertentu saja. Apa yang dianggab sopan bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian.
Di dalam perspektif Islam kaidah atau norma sudah menjadi kebiasaan yang berlaku di masyarakat tertentu, dapat diterima selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran akhlaq dalam Islam. Bahkan di dalam ilmu usul fiqih dikenal dengan “Urf”, yang artinya adalah adat kebiasaan yang sudah tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan yang menyatu dengan kehidupan mereka, dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam, atau yang lebih dikenal dengan al-Adatu Muhkamatun. Dengan syarat tidak keluar dari ajaran al-Qur’an dan hadits.
Ketiga norma yang telah penulis uraikan diatas, yaitu norma keagamaan, norma kesusilaan dan norma kesopanan, tujuan pastinya adalah memberi perlindungan kepada kepentingan dan membina ketertiban kehidupan manusia. Tentunya ketiga kaidah atau norma di atas, belum cukup untuk menjamin ketertiban dan perlindungan dalam masyarakat. Sebab:
a). Masih banyak kepentingan-kepentingan manusia lainnya yang memerlukan perlindungan, yang ketiga norma sosial tersebut bisa dikatakan belum cukup untuk mengaturnya.
b). Kepentingan-kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari ketiga kaidah atau norma sosial yang tiga, belum cukup terlindungi, karena dalam hal terjadi pelanggaran kaidah atau norma tersebut reaksi atau sanksinya dirasakan belum cukup memuaskan.
c). Pelanggaran norma agama diancam dengan hukuman dari Tuhan, sedangkan kita tahu bahwa hukuman tersebut hanya dan akan kita dapatkan di akhirat nanti bukan di dunia, waluapun di dalam Islam ada semacam keprcayaan bahwa Tuhan juga akan membalas kesalahan-kesalahan manusia di dunia.
d). Pelanggar kesusilaan hanyalah akan menimbulkan rasa malu, bersalah, cemas, kesel hati atau penyesalan bagi pelaku. Kalua ada orang jahat, baik itu membunuh, mencuri, memperkosa tidak diadili dan tidak di penjara, dalam bahasa lain masih berkeliaran, maka masyarakat bisa dipastikan masih belum aman, meskipun sipenjahat tersebut dicekap oleh rasa bersalah dan penyesalan atas semua kesalahan yang dibuatnya.
e). Kaidah sopan santun apabila dilanggar hanya akan menimbulkan celaan, penghinaan, cemoohan saja. Tentunya sanksi itu masih kurang memuaskan, karena kawatir pelaku pelanggaran akan mengulangi perbuatannya lagi kerena sanksinya dirasakan terlalu ringan.
Oleh karena itu, disamping ketiga jenis kaidah-kaidah diatas, diperlukan adanya kaidah atau peraturan lain untuk mengatur kepentingan-kepentingan tersebut, yaitu suatu jenis pelaturan yang bersifat memaksa dan itu wajib ditaati dengan sanksi-sanksinya yang tegas. Kaidah atau norma yang kita maksud adalah norma hukum.

4. Norma Hukum
Kaidah atau norma hukum adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa-penguasa yang bersifat memaksa dengan bermacam sanksi-sanksinya, yang dilaksanakan dan dipertahankan oleh alat-alat Negara, seperti jaksa, hakim, polisi dan sebagainya. Dengan demikian memaksa merupakan sifat yang khas dari kaidah hukum ini, meskipun demikian memaksa tidak dapat diartikan sebagai kesewenangan-wewenang, sebab paksaan disini dimaksutkan untuk mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat yang berarti pula kepentingan-kepentingan setiap anggota masyarakat yang berada pada masyarakat yang bersangkutan. Misalnya:
a. Barang siapa yang membunuh seseorang dengan sengaja, di hukum dengan pasal 338 KUHP. Di sini, ditentukan besarnya hukuman penjara untuk orang-orang yang melakukan kejahatan dengan kaidah norma hukum pidana.
b. Barang siapa yang mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam dengan karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah (pasal 362 KUHP).
c. Jual beli barang orang lain adalah batal, dan dapt memberikan dasar untuk penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika si pembeli tidak mengetahui barang itu kepunyaan orang lain (pasal 1471, KUHPp). Di dalam pasal itu ditegaskan bahwa jual beli barang orang laian adalah batal. Maksutnya apabila terjadi perselisihan atau mengenai jaul beli sebagiannya dimaksut isi undang-undang maka Negara dapat memeksa pembatalan tersebut agar pihak-pihak yang berselisih bersedia mematuhi.
d. Tentang pernikahan, UU No 1 tahun 1972 tentang perkawinan, didalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pernikahan tidak sah apabila tidak dicatat oleh peradilan.
e. Perkawinan dianggab sah apabila dilakukan secara hukum masing-masing agama dan kepercayaannya,(pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974)
f. Dan lain sebagainya
Keistemewaan norma hukum itu justru terletak pada sifat memaksanya dengan sanksinya yang berupa ancaman hukuman. Alat negara yang berusaha agar peraturan hukum ditaati dan dilaksanakan. Keberadaan kaidah hukum diantara kaidah sosial lainnya bisa kita artikan sebagai tambahan atau pelengkap dari norma-norma yang tiga diatas, karena sebagaimana yang telah penulis uraikan bahwa ketiga norma tersebut belum cukup untuk menjamin ketertiban, ketentraman, ketertiban dalam masyarakat.
Namun demikian, keempat kaidah sosial tersebut mempunyai kebersamaan sekaligus juga terdapat perbedaanya. Di antara kebersamaan tersebut antara lain.
1). Kaidah-kaidah itu hanya terdapat dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
2). Kaidah-kaidah itu mengatur tata tertib dalam pergaulan manusia.
Oleh karena itu, sering terjadi persamaan dalam aturan-aturan yang harus dijalankan. Seperti larangan untuk tidak membunuh. Dalam kaidah agama membunuh itu berdosa, didalam kaidah susila, membunuh itu adalah perbuatan yang bertentangan oleh hati nurani, di dalam norma kesopanan membunuh itu adalah perbuatan yang hina dan tercela, sedangkan di dalam kaidah atau norma hukum membunuh itu akan disanksikan dengan pidana. Sedangkan menurut R. Soeroso persamaan keempat kaidah tersebut antara lain:
1). Maksud dari kaidah hukum dengan kaidah lainnya adalah sama yakni melindungi kepentingan perorangan maupun umum, sehingga terdapat tata tertib dalam masyarakat
2). Antara kaidah hukum dengan kaidah kesopanan
a. Memandang manusia sebagai mahluk sosial
b. Sudah puas dengan perbuatan lahiriah saja
c. Heteronom (dikehendaki masyarakat)
d. Memberikan kesempatan pihak yang bersangkutan untuk mengadakan reaksi (Geven aanspraken)
e. Sama memiliki wilayah yang berlakunya.
Sedangkan perbedaan kaidah sosial yang empat tersebut menurut Ipin syarifin sebagaimana yang dikutif Hasanuddin Af. M.A, secara umumnya dapat dilihat dari segi sumber, sanksi, objek sasaran, tujuan, dan daya kerjanya adalah sebagai berikut:
1). Segi Sumber
a. Kaidah agama bersumber dari Tuhan
b. Kaidah kesusilaan berasaldari diri sendiri(otonom)
c. Kaidah kesopanan berasal dari masyarakat secara tidak terorganisasi
d. Kaidah hukum bersumber dari masyarakat yang diwakili oleh suatu otonom tetinggi dan terorganisasir
2). Segi Sanksi
a. Kaidah agama sanksinya bersifat internal
b. Kaidah kesusilaan sanksiya bersifat internal juga, artinya berasal dari perasaan pribadi sendiri.
c. Kaidah kesopanan sangsinya bersifat eksternal dalam wujut celaan, cemoohan teguran dan pengucilan
d. Kaidah hukum sanksinya bersifat eksternal dalam wujut ganti rugi perdata, denda kurungan penjara sampai hukuman mati.
3). Segi Objek Sasaran
a. Kaidah agama, objek sasarannya ditujukan pada sikap batin manusia, kecuali agama Islam juga ditujukan pada sikap lahir manusia.
b. Kaidah kesusilaan, objek sasarannya ditujukan pada sikap batin manusia
c. Kaidah kesopanan, objek sasaranya adalah sikap lahir
d. Kaidah hukum, objek sasarannya adalah sikap lahir manusia.
4). Segi Tujuan
a. Kaidah agama bertujuan demi kepentingan pelakunya, yaitu agar manusia bebas dari azab dunia maupun akhirat yang dapat menikmati hidup kekal di Surga. Hal ini berbeda dengan kaidah agama Islam, yaitu untuk kemaslahatan atau kebaikan hidup manusia secara individual maupun kolektif, baik di dunia maupun akhirat.
b. Kaidah kesusilaan bertujuan untuk kepentingan pelaku agar ia menyempurnakan diri sendiri.
c. Kaidah kesopanan bertujuan untuk menghargai masyarakat
d. Kaidah hukum bertujuan untuk ketertiban masyarakat
5). Segi Daya Kerja
a. Kaidah agama daya kerjanya lebih menitik beratkan pada kewajiban dari pada hak
b. Kaidah kesusilaan daya kerjanya lebih menitik beratkan pada kewajiban
c. Kaidah hukum daya kerjanya mengharmoniskan hak dan kewajiban.
Kiadah atau norma hukum ini memiliki keistimewaan sendiri dari kaidah hukum sosial lainnya. Ini terlihat dari segi efektifitasnya, karena kaidah hukum sebelum diberlakukan harus memiliki proses yang panjang, sehingga hukum tersebut bisa diberlakukan, ditaati dan diterima oleh masyarakat. Oleh sebab itu, keterkaitan dengan kepatuhan masyarakat terhadap hukum sebagai pencerminan dari berlakunya hukum tersebut harus di dasari oleh ajaran-ajaran hukum yang mendukungnya, di antara ajaran hukum sebagai pendukung tersebut ialah:
1). Juristische Geltung
Ajaran ini mengatakan bahwa hukum adalah himpunan kaidah-kaidah atau perundangan-undangan semata-mata, baik dalam bentuk undang-undang maupun bentuk perjanjian yang akan berlaku dan dipatuhi kalau dibuat oleh badan atau orang yang berkuasa.
2). Philoshophische Geltung
Ajaran ini mengatakan bahwa disamping itu peraturan-peraturan tersebut memenuhi filsafah hidup, yang mempunyai nilai tinggi bagi kemanusian.
3).. Sosiologische Geltung
Ajaran ini mengatakan bahwa peraturan perundang-undangan hanya akan berlaku secara positif (hukum positif), jika diterima dengan baik dan diikuti secara nyata dalam masyarakat oleh orang-orang yang dikenakan kaidah-kaidah tersebut.
Oleh karena itu, dalam rangka pembuatan UU, Peraturan pemerintah pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, dan sebagainya, harus mempertimbangkan ketiga landasan tersebut diatas, yaitu landasan yuridis, filosofis dan sosiologis.
A. Landasan Yuridis
Dalam hal ini UUD 1945 menjadi landasan yuridis bagi pembuatan perundang-undangan dibawahnya seperti peraturan pengganti UU, peraturan pemerintah, Peraturan Daerah, Surat keputusan dan sebagainya.
Landasan Yuridis ada dua macam:
a. Landasan Yuridis Formil, yaitu landasan yuridis yang memberikan wewenang kepada instansi tersebut untuk membuat peraturan tertentu pula, contohnya pasal 5 ayat 1 UUD 1945 menjadi landasan yuridis dari segi formil presiden untuk membuat UU. Kemudian pasal 20 ayat 1 menyatakan bahwa, setiap UU harus mendapatkan persetujuan DPR, artinya setiap produk per-undang-undangan yang bukan produk bersama DPR dan Presiden adalah batal demi hukum.
b. Landasan Yuridis Materiil, yaitu landasan yuridis dari segi isi (materi), sebagai dasar hokum untk mengatur hal-hal tersebut. Contohnya: Pasal 18 UUD 45 menjadi landasan yuridis dari segi materil untuk membuat UU organik mengenai pemerintahan daerah.. Maka dalam bentuk undang-undanglah hal itu diatur , kalau diatur dalam bentuk lain umpamanya dengan keputusan presiden maka keputusan presiden tersebut bisa dibatalkan.
B. Landasan Filosofis
Landasan ini sangat berkaitan dengan dasar filsafat, baik itu ide, atau pandangan, yang menjadi harapan atau cita-cita ketika ingin melampiaskan hasrat dan kebijaksanaan dalam sebuah rancangan peraturan pemerintah, yang tidak keluar dari landasan-landasannya. Di dalam bangsa Indonesia yang menjadi landasannya adalah pancasila. Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan harus memperhatikan sungguh-sungguh “rechsidee” yang tertuang di dalam pancasila dan Undang-Undang.
C. Landasan Sosiologis
Landasan ini sangat besar kaitannya dengan kenyataan hidup dalam masyarakat. Dengan dasar sosiologis ini diharapkan hukum yang dibuat akan diterima dalam masyarakat secara wajar dan sepontan. Mengutip pendapat Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, agar keberlakuan hukum berjalan dengan baik dan efektif, maka harus memiliki dua teori. Pertama, teori kekuatan. Artinya, kekuatan berlakunya hukum yang dibuat oleh penguasa, baik itu diterima oleh masyarakat ataupun tidak. Kedua, teori pengakuan. Artinya, hukum memiliki kekuatan secara sosiologis, apabila diterima dan diakui masyarakat, tentunya harus melihat faktor-faktor sebagai pendukung kekuatan hukum tersebut.
Dalam persepektif ajaran Islam, setiap aturan atau perundang-undangan yang ditetapkan secara yuridis dan filosofis tersebut tidak boleh keluar dari al-Qur’an dan al-Hadits. Umpamanya, perundang-undangan yang tidak secara eksplisit dijelaskan di dalam nash tersebut, dibuat haruslah selaras dengan kemaslahatan umat yang menjadi tujuan dari hukum Islam itu sendiri, yang kemudian di dalam kaidah usul fiqih disebut dengan Maqasid al-Syari’ah.
Begitu juga yang berkaitan dengan landasan sosiologisnya. Sebelum hukum itu ditetapkan, harus melihat pertimbangan-pertimbangan yang akan terjadi di dalam masyarakat. Kaidah hukum Islam menyatakan bahwa “hukum dapat berubah seiring dengan perubahan waktu, tempat, adat istiadat, dan sarana prasarana” . Artinya, dalam kaidah tersebut, Islam sangat menghargai perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, baik itu perubahan waktu, tempat, adat-istiadat, kondisi lokalitas maupun prasarana-prasarana yang mendukung suatu ketentuan hukum tersebut. Selain itu, hukum Islam juga mempunyai prinsip bahwa, “pelaksanaan hukum secara gradual”. Oleh sebab itu, apabila hukum Islam ingin diterapkan, maka harus sesuai dengan kondisi dan kesiapan masyarakat sebagai objek hukum. Tentunya, supaya hukum dapat diterima oleh masyarakat secara spontan, wajar dan keberlakuannnya juga dapat berjalan dengan baik dan efektif.

C. Penutup
Sebagaimana yang telah kita jelaskan diatas, bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon atau De Mens Is Een Social Wesen. Di dalam pergaulan sosial tersebut, akan ditemui berbagai macam kepentingan, baik itu kepentingan akan suatu kepemilikan ataupun kepentingan akan suatu keinginan. Apabila itu berjalan dengan sendirinya tanpa ada norma-norma yang mengaturnya, niscaya akan banyak ditemukan ancaman, kejahatan, keburukan dan ketidak adilan. Oleh karena itu, harus ada kaidah atau norma yang mengatur dan melindungi, baik itu bagi individu maupun bagi kelompoknya. Diharapkan dengan adanya norma tersebut, kehidupan bisa berjalan dengan baik, tentunya kemaslahatan, kedaulatan, kedamaian dan keadilan bisa diperoleh dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya di Indonesia kita tercinta.


Read more...

ISLAM DAN NEGARA
(Upaya Dan Strategi Menerapkan Nilai-Nilai Islam Dalam Ranah Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia)


A. Pendahuluan
Ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an, menurut Abdul Mun’im sebagaimana yang dikutip Abdul Aziz, mengajarkan dua intisari besar yang saling berkaitan dan berjalin kelindan, yaitu akidah dan syariah. Tiada aqidah tanpa syari’ah, begitu juga sebaliknya, tiada syariah tanpa aqidah. Aqidah menghubungkan eksistensi manusia dengan Allah. Eksistensi aqidah tidak berubah atau terlepas. Sementara eksistensi syari’ah terefleksi pada dua dimensi, yakni dimensi transendental dan dimensi sosial. Dimensi pertama biasa disebut dengan ibadah, sedangkan dimensi sosial biasa disebut dengan muamalah yang mewujutkan pada pola hubungan antara sesama manusia. Dalam artian, aqidah tersebut bersifat konstan, yaitu tidak akan berubah sedikitpun walaupun berbeda waktu dan tempat, sedangkan syariah akan mengalami perubahan sesuai dengan kontek dan kebutuhan masyarakat (Muamalah).





Namun, pada perkembangannya, banyak anggapan, khususnya anggapan para orientalis yang ingin menghancurkan dan mencari kesalahan-kesalahan Islam mengatakan, bahwa Islam adalah penghambat bagi kemajuan dan pembangunan bangsa. Anggapan ini didasari, bahwa Islam hanya mengajarkan masalah ritual dan aqidah belaka, tanpa melihat substansi dari ajaran Islam itu sendiri. Karena, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, selain mengajarkan masalah ritual, Islam juga mengajarkan masalah muamalah. Selain itu, Islam juga diyakini bagi para pengikutnya menjadi agama yang “way of life” (pandangan hidup), yang mengatur semua aspek kehidupan, baik itu aspek sosial, ekonomi, pendidikan, politik, demokrasi maupun aspek hak asasi manusia (HAM).

B. Demokrasi
Demokrasi berasal dari kata demos, artinya rakyat dan kratein yang berarti pemerintah. Awalnya terdapat dalam praktik negara kota (polis) di kota Athena, Yunani pada tahun 450 SM. Demokrasi dapat diartikan pemerintah rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maksudnya, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, yang juga sering disebut dengan kedaulatan rakyat. Rakyat mempunyai kekuasaan penuh dalam menentukan arah kebijakan politik suatu negara melalui peran sertanya menentukan pemimpin atau pemimpin rakyat melalui Pemilu.
Pericles mengemukakan kriteria demokrasi yang terdiri dari: Pertama, Pemerintah oleh rakyat dengan partisipasi rakyat penuh dan langsung. Kedua, Kesamaan warga negara di depan hukum. Ketiga, Penghargaan terhadap pribadi unutk mengekspresikan kepribadian individu. Sedangkan, demokratisasi ialah, suatu upaya yang dilakukan untuk mengimplementasikan nilai-nilai, prinsip dan kaidah demokrasi dalam kehidupan politik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam berbagai aspek kehidupan, suatu perubahan dari keadaan negara yang non-demokrasi menuju negra yang demokrasi.
Sedangkan menurut J. Sulaymaen kriteria demokrasi: Pertama, kebebasan berbicara setiap warga negara. Kedua, pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti. Ketiga, kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas. Keempat, peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat. Kelima, pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Keenam, supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum). Ketujuh, semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.
Tidak bisa dipungkiri, sistem demokrasi, khususnya di Indonesia, sudah menjadi suatu kepercayaan dan sistem yang harus dijalankan. Dunia internasional pun sudah memberikan kesimpulan, bahwa sebuah negara beradab wajib menjalankan sistem demokrasi. Tetapi yang menjadi pertanyaannya kemudian: Apakah sistem demokrasi sesuai dengan ajaran Islam?.
Jawaban atas pertanyaan tersebut tentunya akan berbeda-beda dan bermacam-macam, tergantung siapa dan bagaimana mereka memahaminya., seperti yang terjadi pada golongan tektualis, golongan kontektualis maupun golongan liberal (memisahkan antara agama dan negara). Pertama, golongan ini menganggab, demokrasi adalah produk sekuler yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Kedua, menganggab, bahwa demokrasi dengan syura memang berbeda, tetapi secara substansi adalah sama. Prinsip-prinsip yang ada dalam demokrasi tersebut sejalan dengan prinsipi-prinsip syura, yang diperlukan kemudian ialah penyempurnaan dengan cara melihat kondisi-kondisi yang sedang berkembang dalam sebuah negara, yang tentunya tidak keluar dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam tek al-Qur’an dan al-Hadits dan normatifitas Islam, sebagaimana yang sering dilakukan Nabi dan Khalifah ar-Rasidun.
Ketiga, berbeda dengan dua golongan diatas. Islam sama sekali tidak mengajarkan tentang demokrasi. Dalam artian, demokrasi sangat penting diimplementasikan pada abad modern sekarang, namun harus sesuai dengan demokrasi yang telah dijalankan oleh kalangan Barat. Anggapan golongan ini dipicu oleh kelamnya historisitas hubungan Islam dan Barat pada masa dulu. Dan tidak menutup kemungkinan juga, dikarenakan historis demokrasi berasal dari Barat di Athena Yunani.
Dari pendapat ketiga golongan di atas, tidak salah kiranya penulis lebih memilih golongan yang kedua. Tetapi, bukan berarti anggapan yang pertama dan ketiga salah, namun, sebagaimana yang dikatakan Bahtiar Effendy adalah suatu anggapan yang tidak dibentuk dan dipengaruhi oleh nilai-nilai oleh doktrinal Islam. Sebab, bagi seorang pengamat dari Barat sekalipun seperti Samuel Huntington, ajaran Islam dinilai memiliki prinsip-prinsip demokratis yang tegas. Begitu juga dengan Ernest Gellner, dikatakan bahwa bentuk budaya tinggi Islam disertai dengan prinsip-prinsip unitarianisme, etika memerintah, individualisme, skripturalisme, peritanisme, egalitarisme dan voluntarisme. Ini semua merupakan nilai-nilai yang tidak hanya sesuai dengan demokrasi, tetapi juga dengan kehidupan sosial-ekonomi dan politik yang modern.
Berangkat dari itu semua, diakui atau tidak, pada masa modern sekarang, sistem demokrasi telah menjadi acuan umum untuk menilai berhasil tidaknya suatu bangsa. Semakin besar keberhasilan negara dalam menjalankan sistem demokrasi, semakin maju juga kehidupan dan pembangunan bangsa. Sistem seperti ini, selain telah diterapkan di Indonesia yang penduduknya mayoritas Islam, juga telah diterapkan dan diterima bagi kalangan Timur Tengah seperti Saudi Arabia dan Mesir yang menganggab sistem demokrasi adalah suatu sistem yang paling baik untuk mengatur kehidupan masyarakat dan juga menjadi sarana untuk memajukan bangsa terhadap di dalam persaingan modern sekarang.

C. Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM), secara historis berasal dari gagasan hak-hak alami (natural rights) dan hak-hak alami ini sering dihubungkan dengan konsep hukum alam (natural law), sebagaimana dikemukakan John Locke (1632-1705). Namun bentuknya seperti sekarang, HAM bermula dari Declaration of Indepedensi Amerika Serikat pada tahun 1776 dan Declaration des Droits de L’Homme et du Cioyen (Deklarasi hak-hak Manusia dan Warga Negara) Prancis pada tahun 1789. HAM yang pada dasarnya bersifat moral dan bukan politis ini menjamin hal penting sekali setelah Perang Dunia II dengan lahirnya Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948.
Dalam persepektif ajaran Islam, wacana demokrasi yang dijalankan selama ini, sebenarnya juga telah mendorong adanya wacana hak asasi manusia (HAM). Ini terbukti, karena wacana HAM telah mempunyai tempat tersendiri dan tempat yang sangat spesial. Berbagai macam pemikiran tentang demokrasi dapat dengan mudah kita temukan di dalam penerapannya konsep tentang penegakan HAM. Seperti, kesetaraan, keadilan, kebersamaan, kebebasan toleransi dan lain sebaginya.
Pada tanggal 05 Agustus 1990, negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kairo, pernah mengadakan satu pertemuan membahas masalah HAM, yang kemudian dikenal dengan Cairo Declaration of human Right in Islam. Dalam pertemuan itu, disebutkan bahwa, hak dan kebebasan harus tunduk kepada syari’ah Islam. Tetapi, pendapat ini ditentang oleh David Littman sebagaimana dikutip Marzuki Wahid bahwa, ajaran Islam berpeluang untuk menimbulkan konflik atau kontradiksi dengan tuntutan Hak Asasi Manusia yang dipahami dunia Internasional, apabila dipahami sesuai dengan arti harfiyahnya atau dipahami sebagaimana ulama klasik, tektualis atau fundamentalis memahaminya.
Pendapat ini benar adanya, karena selama ini banyak sekali kita temukan, khususnya di Indonesia bukti-bukti pelanggaran HAM. Misalnya, yang terjadi dalam kasus Ustadz Yusman Roy, yang melaksanakan shalat dengan dua bahasa ( bahasa Arab dan Indonesia ) di Malang dan kasus Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Mereka dihukumi dan dihakimi sesat, oleh sebab itu, mereka tidak boleh berkembang di Indonesia. Bukan itu saja, kaum Ahmadiyah berakhir dengan babak belur, kehilangan rumah, harta benda malah ada yang sampai meninggal dunia. Sementara itu, bagi ustadz Yusman Roy dipidanakan dan dipenjarakan. Tentunya, dua kasus ini adalah gambaran besar bagi kalangan fundamental yang ingin memformalkan syari’ah Islam ke dalam tubuh negara yang banyak menyimpan keberagamaan ini, baik itu keberagaman agama, keyakinan, suku, ras maupun golongan.
Berikut ini, beberapa contoh yang menjadi sorotan para aktivis HAM Internasional. Pada September 1993, seorang hakim Islam di Taheran mendapati dua Muslim bersaudara terbukti bersalah menculik seorang pria dan membakar pria lainnya, tapi malah hakim itu menolak untuk memenjarakan mereka berdua atau menolak memerintahkan mereka agar membayar uang diyat kepada korban. Alasannya sepele, karena korban yang diculik dan dibakar adalah orang kafir. Sedangkan dalam pemahaman hakim, harga orang kafir itu tidak sama dengan harga orang Islam (Muslim).
Pada tahun 2001 di Irak, ada 45 orang perempuan yang mencalonkan diri dalam pemilihan presiden, tetapi tidak seorangpun dari perempuan tersebut yang memperoleh izin. Di Mesir, penerapan syariah Islam juga memunculkan ploblem HAM, khususnya berkaitan dengan kebebasan berpendapat dan berekreasi. Seperti kasus seorang sastrawan perempuan dan juga pejuang hak-hak perempuan yang bernama Nawal el-Sadawi. Dia terpaksa berhadapan dengan pengadilan yang menceraikannya dengan suaminya, karena pandangan-pandangannya yang revolusioner dinilai telah keluar dari Islam (murtad) . Sedangkan dalam pemahama ulama klasik, perempuan yang murtad harus di ceraikan dengan suaminya.
Begitu juga yang terjadi di Taliban, Afganistan. Disana, para pegawai Taliban terus menerus memburu perempuan dijalan-jalan Tabul, baik karena melanggar kode etik berbusana atau keluar rumah tanpa didampingi keluarga dekat. Perempuan-perempuan gadis tidak diperbolehkan mendatangi sekolah, termasuk Sekolah Dasar, sedangkan di luar Tabul diperbolehkan. Perempuan juga dibatasi untuk bekerja, perempuan hanya diperbolehkan kerja apabila menjadi tenaga perawat saja. Yang lebih parahnya lagi, pada tahun 2001, pemerintah Taliban mengeluarkan keputusan baru yang ditujukan kepada non-Islam, bahwa mereka dilarang membangun tempat ibadah, tetapi membolehkan mereka beribadah di tempat-tempat yang telah ada, melarang non-Islam membuat tanda pada rumahnya dengan tanda kuning, melarang non-Islam tinggal di kompleks orang Islam dan menuntut perempuan non-Islam memakai pakaian kuning dengan tanda tertentu sehingga orang bisa mengambil jarak.
Sungguh tidak bisa dibayangkan, jika Islam yang dipahami golongan fundamental ini diterapkan di Indonesia, apalagi jika golongan ini telah memegang kekuasaan atas golongan-golongan lainnya. Bisa dipastikan, kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, kebebasan berijtihat, kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat dan kebebasan berekspresi akan semakin sempit, kemungkinan juga akan berakhir di negara kita ini. Selain itu, pemahaman Islam dalam perspektif fundamental, juga akan berakibat dan berpotensi memperlakukan warganya secara diskriminatif, baik itu diskriminasi atas perbedaan agama maupun perbedaan gender.
Oleh sebab itu, pada masa sekarang ini, pemahaman Islam tersebut haruslah diperbaharui. Penulis tidak mengatakan bahwa pemahaman golongan fundamentalis itu salah, lagi-lagi itu adalah hak mereka untuk memahami Islam. Tetapi, yang perlu digaris bawahi disini, Indonesia adalah negara yang prulalis, yang memiliki bermacam-macam perbedaan. Berangkat dari itu semua, alangkah lebih baiknya, pemahaman Islam itu sendiri harus bisa keluar dari keekstriman dan eksklusifnya. Tidak bisa dipungkiri, semua manusia memiliki hak masing-masing, tetapi di dalam hak tersebut juga harus melihat hak orang lain yang ada disekelilingnya. Manusia boleh-boleh saja berbeda-beda untuk mencapai dan memperoleh haknya, dengan cara melihat segi perbedaan tersebut tanpa keluar dari keinginan mereka. Di dalam perbedaan tersebut harus memiliki sarana untuk menyatukannya, yang di dalam tulisan ini, penulis maksudkan adalah sarana untuk memahami Islam secara lebih konprehensif dan universal sesuai dengan kontektual dan kebutuhan para pemeluknya dan orang-orang yang berbeda dengannya.
Karena bagaimanapun, Indonesia saat ini telah masuk dalam suatu sistem yang sangat demokratis, yang sangat menghargai perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat, baik itu suku, ras, warna kulit, adat-istiadat maupun agama sendiri. Terbukti, di Indonesia, ada berbagai agama, baik itu Islam, Hindu, Budha maupun Teonghoa. Oleh karena itu, HAM yang ada di dalam pemeluk agama Islam, tidak boleh keluar atau menyeleweng dari HAM para pemeluk agama lain, begitu juga perbedaan lainnya. Niscaya, jika ini di berjalan di Indonesia, kehidupan demokrasi akan berjalan dengan baik dan efektif tanpa harus melanggar Hak Asasi Manusia lainnya. Bukankah Allah juga pernah berfirman:
“ Hai manusia, kami ciptakan engkau laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan engkau bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, yang tujuannya tiada lain ialah untuk saling mengenal dan saling mengasihi. Dan bahwa sesungguhnya, orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa”
Di dalam ayat ini sudah sangat jelas, Allah menciptakan manusia berbeda-beda bukan untuk membuat manusia berpecah belah, melainkan supaya manusia saling menghargai, menyayangi dan mencintai.. Yang menjadi ketakutan kita, jika pemahaman Islam seperti yang telah di pahami golongan fundamentalis ini diterapkan di Indonesia, maka, akan sangat kecil kemungkinan kebebasan, keadilan, ketentraman bagi orang-orang yang berbeda pandangan dari golongan tersebut, khususnya dalam ranah demokrasi dan HAM, untuk menerimanya dan mengaplikasikan substansinya di dalam kehidupan di Indonesia.

C. Strategi Menerapkan Nilai-Nilai Islam
Islam secara substansi ialah agama yang universal, “rahmatan lil ‘alamin” bukan “rahmatan lil muslimin”. Dalam artian, dalam menerapkan hukum, Islam tidak boleh pandang bulu. Bisa dipastikan, jika nilai-nilai Islam seperti ini diterapkan, niscaya bukan hanya kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi persatuan dan kesatuan Indonesia, hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan serta keadilan bagi seluruh Indonesia juga harus diterapkan, sebagaimana yang telah di amanatkan oleh pancasila. Oleh sebab itu, dalam menerapkan nilai-nilai tersebut, Islam harus memiliki strategi-strategi yang baik. Diantara strategi tersebut ialah:
1). Strategi Struktural
Strategi diambil dari bahasa Yunani, statos, artinya, tentara agar memimpin, strategos artinya kiat atau cara memimpin tentara. Selanjutnya strategi dapat diartikan sebagai kiat untuk mencapai suatu tujuan. Bisa juga diartikan sebagai muslihat untuk mencapai sesuatu. Sedangkan struktural artinya, susunan atau bangunan kelembanggaan ( lembaga dan organisasi ). Dalam tulisan ini penulis maksudkan ialah suatu cara yang harus dilakukan oleh seorang muslim untuk menerapkan nilai-nilai ajaran Islam dalam ranah lembaga kepemerintahan Indonesia.
Untuk mencapai strategi tersebut, tentu harus memiliki sarana, salah satunya dengan cara “berpolitik”. Politik pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani Polisteia, Polis adalah kota/negara kota yaitu kesatuan masyarakat yang mengurus dirinya sendiri dan teis artinya urusan. Artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan yang menyangkut kepentingan dari kelompok masyarakat atau negara.
Beberapa pandangan tentang politik: Pertama, upaya yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujutkan kehidupan bersama. Kedua, segala hal yang berkaitan dengan negara dan pemerintah. Ketiga, segala kegiatan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Keempat, segala kegiatan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan pubrik atau masyarakat umum. Kelima, suatu konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan dari sumber-sumber yang penting. Keenam, kegiatan yang berkaitan dengan masalah siapa, mendapat apa, kapan, dan bagaimana.
Berbicara masalah politik, tentu tidak lepas dari pro dan kontra tentang pemahaman beberapa golongan, khususnya dua golongan yang telah jelaskan di atas. Tetapi, penulis rasa, perbedaan pemahaman tersebut tidak perlu penulis jelaskan lagi. Bukan berarti perbedaan pemahaman itu tidak penting, melainkan pada pembahasan sekarang ini, penulis berinisiatif untuk lebih terfokus pada suatu strategi yang harus dilakukan oleh orang Islam dalam ranah perpolitikan. Penulis rasa pada pembahasan ini penulis harus bersifat realistik. Karena dalam realita sekarang, strategi seperti inilah yang paling diperlukan, walaupun pada perkembangannya, strategi politik ini sering dikotori oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan masyarakat banyak.
Kata kunci dari tujuan strategi ini ialah mengubah struktur politik, baik itu ekskutif maupun legislatif. Misalnya, selama ini banyak kita temukan keganjilan-keganjilan, ketidakadilan, KKN, kebijakan yang menyengsarakan masyarakat, baik itu kebijakan politik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya, harus dirubah secepat mungkin. Cara yang paling efektif adalah dengan cara duduk dan berusaha mempengaruhi struktur politik yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, yang kemuadian dinamai dengan “politik Islam”. Karena bisa dipastikan, tanpa strategi ini, semua permasalahan yang melanda masyarakat tidak akan pernah berakhir.
Tepat setelah runtuhnya era Orde Baru, pada tanggal 21 Mei 1998 atau biasa disebut dengan era Reformasi, kebebasan masyarakat, khususnya masyarakat Islam, untuk ikut dalam ranah perpolitikan semakin menunjukkan perkembangannya. Ini terbukti, pada pemilu pertama tahun 1999, dari 48 partai politik yang ikut dalam pemilu ada 19 partai Islam. Tahun 2004 ada 7 partai sedangkan pada tahun 2009 ada 8 partai Islam termasuk PAN dan PKB.
Walaupun tidak pernah lepas dari pro dan kontra, partai Islam sangat penting dibutuhkan dalam ranah perpolitikan di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, dengan adanya sarana seperti ini, umat Islam semakin dipermudah untuk memasukkan wakil-wakilnya, untuk mengontrol, mengawasi dan merubah sistem pemerintah yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Walaupun, pada realitanya, wakil-wakil partai Islam yang duduk di dalam struktur politik (ekskutif dan legislatif) kurang menunjukkan hasil kerja yang memuaskan. Tetapi itu tidak jadi persoalan, karena bagaimanapun strategi seperti ini harus berjalan dan hidup selamanya, tentunya dengan perubahan-perubahan yang akan dilakukan kedepannya, baik itu para tokoh, mekanisme ataupun cara memenejnya.
Kita patut bersukur, pada tahun 2009, atau pada pemilu ketiga setelah reformasi, partai-partai Islam banyak menduduki para wakil-wakilnya dalam dalam kursi legislatif yang akan datang. Sesuai dengan hasil pemilu legislatif yang dikeluarkan KPU pada tanggal 9 Juni 2009 yang lalu partai Islam memperoleh 23, 57 persen suara. PKS memperoleh 8.206.955 suara (7,88 %), PAN 6.254.580 (6,0 %), PKB 5.146.122 (4,94 %), PBB 1.864.752 (1,79 %), PBR 1.264.333 (1,21 %), PKNU 1.327.593 (1,43 %), PMB 414.750 (0,40 %) sedangkan PPP memperoleh 5.533.214 suara (5,32 %).
Berangkat dari hasil banyak suara legislatif tersebut, kita semua berharap akan ada suatu terobosan baru untuk merubah sistem dan mengontrol semua kebijakan-kebijakan pemerintah, baik itu kebijakan ekonomi, politik, pendidikan maupun kebijakan hukum yang merugikan masyarakat. Oleh sebab itu, untuk mendukung strategi itu supaya lebih baik dan efektif, dibutuhkan lagi suatu strategi lain, yang tentunya strategi ini, juga bertujuan untuk mengawasi, mengontrol dan mempengaruhi masyarakat dengan nilai-nilai Islamnya. Strategi ini, penulis namakan dengan strategi Kultural.

2). Strategi Kultural
Strategi kultural ialah suatu strategi yang dilakukan oleh orang Islam dengan cara memberikan penyadaran bagi masyarakat dan berusaha untuk mempengaruhi cara berpikir mereka atas nilai-nilai Islam. Perbedaan yang paling mendasar dari dua strategi ini ialah, strategi struktural mempengaruhi cara struktur politik dalam pemerintahan, sedangkan strategi kultural, yang akan dipengaruhi tersebut ialah perilaku sosial (pola pikir) masyarakat.
Kata kunci dalam strategi kultural, sebagaimana yang dijelaskan Dr. H. Kuntowijoyo, M. A, ialah agama sebagai moral porce atau inspirational ( moral dan etika). Berbicara masalah moral, tentu ini tidak akan terlepas dari tingkah laku manusia. Bencana yang datang bertubi-tubi sekarang ini, menurut para ulama, politisi, intelektual maupun aktifis, seperti musibah banjir, tsunami, gempa, lumpur Lapindo, kekeringan, atau baru-baru ini seperti musibah situ gintung, adalah disebabkan karena banyak tindakan-tindakan manusia yang sudah tidak bermoral dan beretika. Persepsi ini ada benarnya, karena terbukti, sekarang ini tingkah laku manusia, seperti pencurian, kekerasan, pencabulan, pemerkosaan, pembunuhan, mabuk-mabukkan, pelacuran, korupsi, kolusi, nepotisme, pornografi, pornoaksi dan lain sebagainya telah mewabah dan sulit dipisahkan dalam pranata sosial masyarakat.
Oleh sebab itu, disinilah letak pentingnya strategi kultural, yaitu dengan cara memberikan penyadaran bagi mereka melalui sarana dakwah, yang dipercaya menjadi salah satu aktivitas keagamaan yang sangat efektif, strategis, sentral dalam menentukan sikap mental dan tingkah laku manusia. Selain itu, dakwah di dalam ajaran al-Qur’an dan al-hadits adalah suatu kewajiban yang diberikan kepada setiap manusia yang mempercayai bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah RosulNya. Sebagaimana yang telah difirmankan dalam al-Qur’an: Maka berikanlah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah yang berkuasa atas mereka, tetapi orang yang berpaling dari kafir, maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar.
Dakwah menurut Imam al-Ghazali dalam kitab “Ihya Ulumuddin” memiliki empat metode. Pertama, memberikan penerangan kepada orang yang hendak dirubah perbuatannya, sebab ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu kemungkaran itu bodoh dan tidak mengetahui, niscaya dengan adanya nasehat atau pemberitahuan ia akan meninggalkannya. Kedua, melarang orang yang berbuat kemungkaran itu dengan cara menakut-nakuti akan azab Allah. Ketiga, melarang dengan tegas, namun harus tetap bersikap sopan. Keempat, melarang kemungkaran dengan menggunakan kekuasaan.
Menurut Tarmizi Taher, dakwah bisa dilaksanakan melalui tiga metode. Pertama, bil al-lisan: Tujuan dakwah ini secara psikologis adalah perubahan dan penyempurnaan kualitas sikap mental dan ruhani manusia, baik dalam ukuran dunia maupun akhirat. Kedua, bil al-Qalam: Tujuannya sebagai alat komunikasi ide yang produknya berupa ilmu pengetahuan dan sebagai alat komunikasi ekspresi yang produknya berupa karya jurnalistik. Ketiga, bil al-Hal: metode ini digunakan melalui cara keteladanan seorang da’i. Artinya, dakwah bukan hanya sekedar mengajak, menyeru, memanggil namun juga dilakukan dalam bentuk nyata.
Pada fenomena sekarang, strategi kultural ini sudah mengalami perkembangan yang sangat baik. Terbukti, sarana dakwah yang dijalankan bukan hanya melalui perorangan semata, tetapi juga melalui lembaga-lembaga, seperti MUI dan lembaga dakwah lainnya.
bersambung..







Read more...

Selasa, 16 Juni 2009

II
PARTAI POLITIK ISLAM INDONESIA

I. Pengertian dan Sejarah Partai Islam
A. Pengertian

Dewasa ini masih banyak kita dapatkan anggapan bahwa agama Islam itu adalah penghambat bagi kemajuan dan pembangunan. Sebenarnya pandangan ini ialah berasal dari para ilmuan Barat. Tapi ironisnya, masih banyak juga orang-orang Islam yang mempercayai hal itu. Bisa dipastikan anggapan ini sangat tergesa-gesa karena mereka menganggab Islam itu hanya mengajarkan tentang ritual belaka tanpa melihat bahwa sesungguhnya Islam itu juga mengajarkan tentang aspek kehidupan secara komperensif temasuk didalamnya masalah muamalah, baik itu dalam persepektif sosia, ekonomi maupun politik yang tujuannya tiada lain ialah untuk kemaslahatan suatu bangsa.


Allah SWT telah menetapkan, mengajarkan dan memberi petunjuk bagi manusia, diantara petunjuk-petunjuk tersebut ialah yang berkaitan dengan aqidah, akhlak dan syari’ah. Dua poin pertama, aqidah dan akhlak ialah bersifat konstan, maksudnya, keduanya tidak mengalami perubahan sedikitpun walaupun berbeda waktu dan tempat. Sedangkan poin yang terakhir syari’ah mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan kontek pada taraf peradaban manusia, termasuk didalamnya masalah politik.
Menurut Abdul Mu’im sebagaimana yang di kutip Abdul Aziz bahwa al-Qur’an menurunkan dua intisari ajaran yang berkaitan erat dan menjalin keindahan, yakni akidah dan Syariah. Tiada akidah tanpa syariah dan begitu juga sebaliknya. Akidah menghubungkan eksistensi manusia dengan Allah. Eksistensi Akidah tidak berubah, atau terlepas dari perubahan tempat dan waktu. Sementara eksistensi syariah terefkeksi pada dua dimensi yakni dimensi transcendental dan dimensi social. Dimensi pertama biasa disebut dengan ibadah, sedangkan dimensi social biasa disebut dengan muamalah yang mewujutkan pada pola hubungan antara sesama manusia.
Dalam kontek syariah, hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah disebut dengan siyasah. Dari kontek siyasah ini lahirlah gagasan-gagasan yang dikenal dengan politik Islam . Didalam tradisi ilmu-ilmu keislaman, kaitan rasionalitas antara pemerintah dan rakyat menjadi bahan kajian dari disiplin siyasah-syariyah atau biasa disebut dengan politik berbasis Islam.
Politik pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani Polisteia, Polis adalah kota/Negara kota yaitu kesatuan masyarakat yang mengurus dirinya sendiri dan teis artinya urusan. Artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan yang menyangkut kepentingan dari kelompok masyarakat atau Negara.
Beberapa pandangan tentang politik: Pertama, upaya yang diteempuh warga Negara untuk membicarakan dan mewujutkan kehidupan bersama. Kedua, segala hal yang berkaitan dengan Negara dan pemerintah. Ketiga, segala kegiatan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Keempat, segala kegiatan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan pubrik atau masyarakat umum. Kelima, suatu konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan dari sumber-sumber yang penting. Keenam, kegiatan yang berkaitan dengan masalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana.
Islam adalah suatu agama yang diturunkan oleh Allah kepada hambanya melalui nabi Muhammad yang tujuannya untuk mendidik dan mengarahkan hambanya agar dapat mencapai kebahagian baik didunia maupun di akhirat. Maka disini dapat disingkronkan bahwa politik Islam ialah suatu upaya atau pendekatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan atau kepentingan dari masyarakat dan Negara yang berlandaskan pada ajaran-ajaran yang telah ditentukan oleh Allah.
Sedangkan Partai Islam Ialah partai yang berasaskan Islam dan mengupayakan agar negara Indonesia berasaskan Islam serta agar syariat Islam ditegakkan dalam kehidupan sosial-politik oleh masyarakat dan Negara. Didalam kamus istilah politik dan kewarganegaraan dijelaskan ialah partai yang berasaskan Islam dan memiliki tujuan untuk memperjuangkan kepentingan Umat Islam demi terciptanya kehidupan masyarakat yang adil dan makmur.
B. Sejarah Partai Politik Islam di Indonesia
Dalam dinamikanya di Indonesia, pemikiran tentang politik Islam atau Islam politik memiliki akar sejarah yang sangat panjang. Akar genelogisnya ialah disaat Islam pertama kali disebarluaskan di Nusantara kira-kira pada abad ke 13 sampai abad ke 14 masehi. Mengutip pendapat Pramono U. Tanthowi, sepanjang perjalanan ini, Islam terlibat dalam masalah-masalah politik, apalagi pada saat memasuki masa kolonial Belanda. Pada masa inilah Politik Islam di Indonesia mempeloleh bentuknya yang sangat nyata. Dibawah pengaruh kekuatan kolonialisme Barat yang hegemonik secara politik, militer, ekonomi maupun budaya, kekuatan Islam yang laten dan tidak pernah mau tertundukkan dalam posisi tersudut, lebih tertransformasi kedalam bentuk politik dan idiologis
Pada abad ke 19, tersebutlah dua tokoh besar Islam yang mempelopori lahirnya Pan-Islamisme. Pertama, Syeikh Muhammad Abduh. Kedua, Syekh Djamaluddin El-Afgami. Kedua tokoh inilah yang telah menyadarkan umat Islam akan arti pentingnya perjuangan politik. Demikianlah yang terjadi di Indonesia, pengaruh besar kedua tokoh ini, yang kemudian menggerakkan semangat gerakan Islam yang fanatic dan kemudian melahirkan banyak gerakan politik Islam yang tersebar luas di pelosok-pelosok tanah air.
Memasuki abad ke 20 semangat gerakan Nasionalis yang menadai permulaan diskursus politik Islam secara definitif. Pada masa ini, gerakan masyarakat pribumi dalam sector perpolitikan sudah mulai jelas dan nyata, yaitu menentang kolonialisme Belanda. Tidak bisa dipungkiri bahwa, Islam sangat berpengaruh dalam memainkan peranan tersebut. McTurnan Kahin sebagaimana yang dikutif Abdul Aziz menyimpulkan bahwa pada saat itu Islam bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat nasionalisme Indonesia, melainkan sebagai simbol kesamaan nasib dalam menentang penjajahan Belanda.
Perjuangan kaum Islam Indonesia melawan penjajahan Belanda dapat menjadi tiga Fase. Pertama, oposisi atau perlawanan yang dipimpin oleh Sultan. Kedua, perlawanan yang dipimpin bangsawan kraton. Ketiga, perlawanan yang dipimpin oleh pemuka agama (ulama). Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjarmasin (1858), dan Perang Aceh (Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20), merupakan bentuk nyata perlawanan terhadap penguasa Belanda. Dengan mengibarkan bendera Islam dan mengorbankan perang suci (jihad), Islam semakin memperoleh peran dalam perpolitikan Indonesia.
Pada masa ini, satu lembaga atau organisasi yang dapat dikatakan sebagai perwujudan politik Islam adalah Serikat Dagang Indonesia (SDI) yang didirikan di Solo tahun 1905 oleh H. Samanhudi. Yang kemudian menjadi Serikat Islam (SI) tahun 1911. Dalam perkembangan selanjutnya, Serikat Islam (SI) menjadi organisasi politik yang pertama di Indonesia yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokrominoto, Abdul Muis dan Agus Salim.
Tapi menjelang tahun 1920-an peranan politik SI mengalami kemerosotan yang sangat krusial, ini didasari karena ketidak mampuan pemimpin SI dalam mengatasi perbedaan idiologi diantara mereka. Fragmentasi ini terjadi karena ada dua idiologi yang masuk dalam internal SI itu sendiri. Tiga tokoh SI seperti Tjokrominoto, Abdul Muiz dan Agus Salim menyatakan Islam sebagai asas atau idiologi tunggal partai, sedangkan Semaun dan Darsono yang bercabang di Semarang menginginkan idiologi marxisme, yang menginginkan agama harus disingkirkan dari politik.
Melihat perpecahan itu, akhirnya banyak mengundang masyarakat untuk tidak menyukai dan menumpu harapan pada SI lagi. Seperti Sukarno, dan didukung M. Hatta memutuskan untuk mendirikan organisasi politik baru, yang diberi nama dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Sukarno menyatakan dengan tegas, walaupun dia beragama Islam tapi bukan berarti idiologi partai harus Islam. Sukarno lebih memilih ideologi Nasionalis, karena dia beranggapan bahwa nasionalis ialah cinta tanah air, kesetiaan yang tulus untuk membaktikan diri kepada tanah air, serta kesediaan mengesampingkan kepentingan golongan atau partai yang sempit. Tentunya ini menjadi perdebatan bagi kalangan Islam, yang mengatakan bahwa nasionalis itu akan berakibat membawa manusia untuk mengabdi dan menyembah kepada tanah air.
Pada perkembangan selanjutnya, Ideologi Nasionalis yang di inginkan oleh Sukarno bukan hanya ditentang oleh Agus Salim (SI) melainkan juga dari A. Hasan (Persis) dan M. Natsir. A. Hasan mengatakan bahwa mengikuti paham nasionalis atau kebangsaan berarti keluar dari agama Islam. Sedangkan M. Natsir tujuan dari kemerdekaan Indonesia bukan hanya untuk kemerdekaan bangsa melainkan juga untuk mencapai ridha Allah SWT.
C. Partai Politik Islam di Zaman Orde Lama sampai Orde Baru
Pada kemerdekaan, politik Islam mempeloleh pelung yang sangat besar, tercatat ada beberapa partai politik Islam yang lahir pada masa ini. Di antaranya Masyumi, Perti, PSII dan NU. Dengan lahirnya partai politik Islam ini tentunya memberi inspirasi bagi kalangan umat untuk eksis di dalam perpolitikan sedangkan organisasi dan gerakan-gerakan social yang ada diluarnya menjadi pendukung untuk menopang kekuatan partai politik Islam tersebut.
Pada masa ini setidaknya ada dua hal yang melatar belakangi. Pertama, adanya kesadaran yang tinggi dikalangan umat Islam untuk memproklamirkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, untuk mempertahankan dan menjaga NKRI yang dari agresi Belanda yang ingin berkuasa lagi terhadap bangsa Indonesia yang sebelumnya mereka jajah. Walaupun sebenarnya pada masa ini, kepemimpinan lebih di dominasi dari kalangan nasionalis. Tapi tidak menyurutkan semangat kalangan Islam untuk bersatu dan bahu-membahu demi memploklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Kekuatan partai Islam pada tahun 1950-an mengalami perkembangan yang sangat krusial. Tercatat gabungan perolehan suara empat besar partai Politik Islam, seperti Masjumi, Partai NU, PSII, dan Perti, mencapai 43%. Di Konstituante, partai politik Islam cukup berpengaruh, meski tidak mampu mendiktekan agenda mereka karena berhadapan dengan partai berasas non-Islam seperti PNI, PKI, PSI, Partai Kristen Indonesia, dan Partai Katolik. Tetapi walaupun partai diluar partai politik Islam menggabungkan diri, belum cukup dominan untuk mengalahkan kekuatan partai Islam, terutama ketika harus memutuskan konstitusi Negara karena suara mereka tidak mencapai dua pertiga dari jumlah kursi. Konstituante kemudian berakhir pada 1959, lalu parlemen dan sejumlah partai politik dibubarkan. Salah satu partai yang bubar adalah Masjumi, yang merupakan partai Islam terbesar. Sejak itu kekuatan partai Islam melemah bersamaan dengan terkonsolidasinya otoritarianisme di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno.
Dalam sejarah selanjutnya, setelah runtuhnya rezim orde lama dan kemudian lahirnya rezim orde baru dibawah kepemimpinan jenderal Soeharto partai politik Islam mengalami pertambahan masalah yang sangat krusial. Tercatat pada pertukaran rezim ini terjadi melalui proses pertumbuhan darah yang terkenal dengan teragedi Gerakan 30 September PKI yang selanjutnya disingkat menjadi G 30 S PKI. Pada masa ini kalangan Angkatan Darat atau militer mengambil alih kekuasaan didalam struktur politik Indonesia.
Salah satu persepektif yang berkembang pada masa ini ialah bahwa menurut kalangan militer, kekuatan Islam bisa menjadi ganjalan bagi konsolidasi pemerintahan yang baru terbentuk. Mereka beranggapan, meskipun kekuatan politk Islam telah melemah pada masa rezim orde lama namun masih berpeluang menjadi ancaman yang sangat potensial terhadap kepentingan politik militer (AD) dalam pemerintahannya yang baru.
Pada masa ini, sebenarnya keinginan partai politik Islam untuk merehabilitasi Masyumi tumbuh kembali, tetapi karena pemerintahan Sueharto selalu campur tangan akhirnya semua keinginan itu tidak berhasil. Terbukti pada perkembangan selanjutnya partai-partai Islam yang boleh ikut serta dalam pentas perpolitikan nasional hanya Partai NU, PERTI dan PSII, sedangkan Masyumi yang waktu itu dipimpin M. Natsi tidak diperkenankan.
Kompensasi pemerintah Orde Baru terhadap Masjumi adalah dibentuknya sebuah partai baru, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada tanggal 20 Februari 1968. Kelompok Islam menerimanya dengan harapan sebagian pemimpim Masyumi dapat memegang kendali partai tersebut. Namun, ketatnya control yang dilakukan oleh rezim Sueharto menyebabkan harapan tersebut mengalami kegagalan. Bagi rezim Orde Baru, Permusi hendak digunakan sebagai wahana untuk melakukan penetrasi kepada umat Islam, sedangkan bagi kalangan elit Islam, Permusi dimaknai sebagai wadah perjuangan aspirasi politik islam. Penetrasi rezim orde baru terhadap partai baru ini juga semakin meningkat. Sebagai misal, hasil kongres Permusi di malang yang menempatkan M. Roem sebagai ketua umum partai, dianulir oleh Soeharto. Jonn Jailani Naro salah seorang ketua partai yang saat itu dianggab dekat Ali Murtopo, orang pemerintah Orde baru pada tahun 1970 mengadakan kudeta atas kepemimpinan M. Roem. Kudeta kepemimpinan didalam Permusi ini memberi jalan bagi pemerintah untuk intervensi kedalam tubuh partai dan akhirnya mengantarkan MS Mintarega, seorang kabinet Orde Baru sebagai pemimpi partai yang baru. Rezim Orde Baru kapanpun bisa dengan mudah menggantikan pemimpin partai. Sejak saat itu, mulai muncul kelompok-kelompok oportunis dan bahkan penjilat dalam Islam.
Campur tangan pemerintah orde baru untuk menjatuhkan atau melemahkan politik Islam semakin nampak, terbukti seperti tercermin pada Fusi tahun 1973 dan depolitisasi Islam secara konsisten. Langkah ini kemudian mencapai pinis akhir, ketika pancasiladitetapkan ditetapkan sebagai asas tunggal, melalui UU No. 3/1985 tentang partai politik, serta UU No. 8/1985 tentang Organisasi kemasyarakatan. Kebijakan ini, sebagaiman dikatakan Sudirman Tebba ialah suatu kebijakan terbesar yang pernah lahir pada masa Orde Baru. Yang menjadikan partai politik Islam seakan-akan telah tamat dalam pencaturan perpolitikan di Indonesia.
Berangkat dari ini semua, PPP dan ormas-ormas lainnya dipaksa supaya berasaskan pancasila. Proses de-Islamisasi politik Indonesia masa Orde Baru ini berlangsung sepanjang tiga dekade. Bersamaan dengan itu, tumbuh pemikiran-pemikiran dari intelektual Islam sendiri yang memberikan fondasi keislaman bagi diterimanya sekularisasi politik oleh umat Islam. Nurcholish Madjid mempopulerkan "Islam yes, partai Islam no". Abdurrahman Wahid meneriakkan ide bahwa "Islam sejajar dengan agama lain, bahkan hanya komplemen terhadap paham kebangsaan". Kiai Ahmad Sidiq mengatakan, "Pancasila adalah ideologi final bagi bangsa Indonesia." Semuanya membantu mempercepat proses sekularisasi politik dari dalam umat Islam sendiri.
D. Partai politik Islam di Zaman Reformasi
Setelah berakhirnya rezim Orde Baru tepatnya pada 21 Mei 1998 muncullah era baru yang dikenal dengan era Reformasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa era ini memberi samangat baru bagi Indonesia setelah 32 tahun berada di bawah naungan Orde Baru. Kesempatan-lesempatan untuk berekspresi melalui partai politik Islam yang sebelumnya dilarang kini diperbolehkan. Oleh sebab itu, kesempatan yang telah tersedia disambut hangat oleh para politisi muslim dengan mendirikan partai-partai politik Islam yang di harapkan bisa membawa aspirasi umat Islam, baik partai yang berasas Islam maupun yang tidak berasas Islam, tetapi menyuarakan aspirasi umat Islam. Atau Tentunya hal ini membuka peluang yang besar bagi perkembangan Islam, khususnya dalam ranah perpolitikan di Indonesia yang diwujutkan dengan banyaknya lahir partai-partai politik Islam yang baru. Terbukti satu tahun setelah itu, tepatnya pada tahun 1999 lahir 19 partai politik Islam dari 48 partai yang ikut dalam pemilu. Partai politik bisa dikatakan partai Islam apabila asasnya, lambangnya ataupun namanya mengandung unsure-unsur Islam. Diantara 19 partai tersebut yang ikut dalam pemilu ialah:
1. Partai Indonesia baru (PIB)
2. Partai Kebangkitan Muslimin Indonesia (KAMI)
3. Partai Umat Islam (PUI)
4. Partai Kebangkitan Umat ( PKU)
5. Partai Masyumi Baru (PMB)
6. Partai Persatuan Pembagunan (PPP)
7. Partai Serikat Islam Indonesia
8. Partai Abul Yatama
9. Partai Serikat Islam Indonesia 1905
10. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
11. Partai Bulan Bintang (PBB)
12. Partai Keadilan (PK)
13. Partai Nahdatul Ulama (PNU)
14. Partai Islam Demokrat (PID)
15. Partai Persatuan (PP)
16. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
17. Partai Cinta Damai (PCD)
18. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI)
19. Partai Umat Muslimin Indonesia (PUMI)
Pada pemilihan umum tahun 1999 ini, secara umum bisa dinilai bersifat demokratis yang merupakan tes pertama partai Islam untuk mengalahkan partai politik sekuler. Tetapi sangat disayangkan, dari 19 partai yang ikut hanya sedikit yang memperoleh suara secara signifikan, diantaranya Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Perolehan suara partai Islam jauh lebih sedikit dibandingkan dengan suara partai Golkar, apalagi dengan suara yang diraih oleh Partai Persatuan Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) yang pada waktu itu menempatkan partai diurutan teratas dalam perolehan suara dalam pemilu 1999. Dengan suara yang sedikit ini sebagian partai Islam terancam bubar, karena tidak boleh mengikuti pemilu berikutnya jika undang-undang No. 3 Tahun 1999 tentang pemilu tidak dirubah.
Pada pasal 3 UU itu menyebutkan bahwa untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya partai politik harus memiliki 2% dari jumlah kursi di DPR (10 kursi). Kemudian ayat 4 menyebutkan bahwa partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ketentuan tidak dalam ayat 3 tidak boleh ikut dalam pemilu berikutnya, kecuali bergabung dengan partai lain. Sedangkan partai politik Islam yang memenuhi ketentuan tersebut hanya 3 partai besar yaitu, PPP, PKB dan PBB. Yang lainnya bisa dipastikan bubar atau jika mengkin menggabungkan dengan partai lain. Tetapi sebenarnya diantara tiga partai tersebut PBB hanya mempeloleh dua suara di DPR, tetapi karena tertolong oleh sisa partai lainnya yang lebih besar dibandingkan suara partai lainnya, akhirnya PBB mendapat mendapat tambahan 11 suara, yang awalnya hanya mendapat 2 (dua) suara menjadi 13 suara. Diantara tiga partai Islam yang meraih suara terbanyak diatas ialah PPP, itupun hanya menempatu urutan ketiga, jauh dibawah PDI-P dan Gorkar.
Total perolehan suara dari tiga partai yang berasas Islam tersebut hanya sekitar 14%, atau sekitar 17% kalau partai-partai berasas Islam lain dimasukkan ke dalamnya. Proporsi perolehan suara seluruh partai berasas Islam ini tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh PPP setelah NU keluar dari partai tersebut. Jadi, tidak ada perbedaan signifikan dalam perolehan suara partai Islam, baik pada masa rezim otoritarian maupun rezim demokrasi. Sementara itu, gabungan perolehan suara PKB dan PAN, yang berasas non-Islam, cukup lumayan, yakni sekitar 20%. Tapi harap diingat, Golkar, yang juga berasas Pancasila, mendapat suara sekitar 23% dari pemilih yang 87 persen beragama Islam. Kalau represi Orde Baru adalah faktor utama yang menurunkan dukungan umat Islam terhadap partai Islam pada masa rezim tersebut, dalam Pemilu 1999 gabungan perolehan suara partai Islam seharusnya mendapat suara lebih besar dibanding perolehan PPP di zaman Orde Baru. Kenyataannya tidak. Bahkan NU dan Muhammadiyah, yang merupakan ormas Islam terbesar, mendukung partai yang berasas non-Islam, PKB dan PAN. Kalau umat pendukung dua ormas Islam ini memilih Golkar pada masa Orde Baru karena terpaksa, ketika politik jauh lebih bebas seperti dalam Pemilu 1999 kedua ormas tersebut seharusnya mendukung, atau bahkan mendirikan, partai yang berasas Islam pula. Kenyataannya tidak demikian. Bahkan kedua ormas Islam ini, lewat elite mereka, memberikan sumbangan sangat berarti bagi penolakan dimasukkannya Piagam Jakarta ke dalam konstitusi kita dalam proses amendemen tahun 2002.
Sebagaimana UU yang tercantum dalam pasal 3 diatas, partai-partai Islam pasti tidak bisa bertahan semuanya. Oleh karena itu, partai Islam harus menggabungkan diri dengan partai Islam lainnya untuk bisa ikut dalam ranah perpolitikan 5 (lima) sesudahnya. Tetapi pertanyaannya, apakah partai-partai Islam bisa melebur manjadi satu? Sedangkan kita mengetahui bahwa setiap partai dan pemimpinnya mempunyai keinginan atau cara sendiri untuk memperoleh kekuasaannya.
Sudirman Tebba dalam bukunya Islam Pasca Orde baru mengatakan. Ada beberapa factor yang menyebabkan partai Islam tidak mungkin menjadi satu. Diantaranya ialah tidak semua orang yang menjadi pimpinan partai memiliki komitmen terhadap kemajuan Islam dan kaum muslimin.
Faktor lain yang menyulitkan penyatuan partai Islam ialah bahwa basis Islam saling berbeda dan tersebar ke dalam berbagai organisasi keagamaan, seperti Nahdatul ulama (NU), Muhamadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendikiawan Muslim se Indonesia (ICMI) dan lain sebagainya. Masing-masing organisasi itu memiliki basis dan strategi perjuangan yang berbeda. Masing-masing juga memiliki anggota yang cukup besar, sehingga mereka merasa lebih baik mendirikan partai sendiri dari pada bergabung satu sama lainnya.
Memasuki pemilu yang kedua pada era reformasi tahun 2004 partai politik yang ikut dalam pemilu ada lima partai dari 24 partai yang lulus verifikasi. Diantaranya ialah, PPP (Hamzah Haz), PBB (Yusril Ihza Mhendra), PKS (Hidayat Nurwahid), Partai Bintang Reformasi (KH. Zainuddin MZ), dan Partai Persatuan Nahdaltul Ummah Indonesia (PPNUI) pimpinan KH. Syukron Makmun. Kelima partai ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan partai-partai yang ikut dalam pemilu 1999, hanya berubah nama atau pecahan dari partai sebelumnya.
Menguti pendapat Khamami Zada, kelima partai di atas bisa dikatakan sebagai perwakilan dari tiga aliran Islam yang berkembang di Indonesia. Misalnya, PPP, PBR, dan PPNUI mewakili kelompok Islam tradisionalis (NU). Namun demikian, PPP tidak otomatis basis massanya dikuasai kelompok tradisionalis, meski PPP sekarang ini dipimpin oleh kader NU, Hamzah Haz, karena kader-kader PPP mewakili berbagai aliran dalam Islam, seperti yang tercermin dalam Fusi 1973. Di dalam PPP, ada kader NU, Masyumi, Muhammadiyah, dll. Partai Bintang Reformasi adalah pecahan dari PPP, yang dipimpin oleh KH Zainuddin MZ, yang sama-sama memperebutkan basis massa yang sama dengan PPP. Sedangkan PPNUI adalah partai yang didirikan oleh warga NU (KH. Syukron Makmun) yang tidak sehaluan dengan garis politik Gus Dur (PKB). PBB mewakili kelompok Masyumi dan sekaligus yang mengaku sebagai pewaris sah Masyumi di Pemilu 1955. PKS mewakili generasi Islam baru, yang memiliki basis massa kader muda di kampus-kampus. Jika lima partai Islam ini disandingkan dengan PKB dan PAN, maka lengkaplah diversivikasi aliran Islamnya pada pemilu 2004 yang lalu, yakni benar-benar mewakili tiga aliran Islam Indonesia, yakni kelompok Islam tradisionalis (PKB, PPP, PBR, PPNUI), Islam modernis (PAN dan PBB), dan generasi Islam baru (PKS). Tetapi yang perlu digaris bawahi, banyak kalangan Islam yang lebih memilih partai nasionalis seperti PDI-P, GORKAR dan Demokrat, khususnya yang telah memenangkan pada Pilpres 2004. Tentunya hal ini menjadi pertanyaan besar bagi kita, apa yang sebenarnya terjadi didalam partai Islam itu sendiri?
Mamasuki tahun 2009, banyak kalangan yang memprediksikan bahwa hasil yang akan diperoleh partai-partai Islam tidak akan jauh berbeda dari tahun 2004. tentunya hal ini terbukti. Perolehan suara partai Islam tidak jauh beda dari itu. Dari hasil akhir pemilu legislatif yang ditetapkan KPU pusat pada tanggal 09 Mei 2009, perolehan suara PKS mencapai 8.206.955 (7,88 %), PAN 6.254.580 (6,0 %), PKB 5.146.122 (4,94 %), PPP 5.533.214 (5,32 %), PBB 1.864.752 (1,79 %), PBR 1.264.333 (1,21 %), PKNU 1.327.593 (1,43 %), PMB 414.750 (0,40 %).




Read more...

Sabtu, 06 Juni 2009

KONTRIBUSI GERAKAN PARTAI POLITIK PERTI DI MINANG KABAU
(Dalam Ranah Perpolitikan Di Indonesia, Upaya Mewujutkan Kemajuan Bangsa Pada Tahun 1928-1969)

A. Latar Belakang
Sebagaimana yang diketahui bahwa gerakan politik Islam di Indonesia sangat memainkan peranan yang sangat signifikan dalam dinamika agama dan negara. Tidak bisa dipungkiri, dinamika Islam dalam mewujutkan perubahan sosial di dalam politik suatu bangsa akan diawali oleh gerakan dan aktivitas sosial politik dan kemasyarakatan pada suatu daerah tertentu. Oleh sebab itu, lahirnya gerakan partai politik tidak akan pernah lepas dari yang namanya gerakan.
Suatu gerakan sosial religi besar kemungkinan akan menimbulkan gerakan politik Islam, yang tentunya didalam gerakan itu, perhatian utama yang akan dilakukan ialah pada perubahan, pembinaan dan pemberdayaan umat manusia, supaya terciptanya suatu tatanan sosial baru yang lebih maju.
Salah satu daerah yang cepat dalam melancarkan perubahan dalam rangka pembaharuan ditanah air adalah Sumatra Barat. Diantara cara perubahan tersebut dilakukan melalui aspek pendidikan masyarakat. Hal ini terlihat setelah datangnya tiga tokoh uatama dalam pergerakan Islam itu, yaitu Syekh Sulaiman Arrasuli (1871-1970), Pendiri Pondok Pesantren Madrasah Tarbiah Islamiyah Candung, yang menetap dicandung, Kec. IV angkat Candung Kab. Agam. Syekh Sirajjudin Abbas (1905-), beliau menetap Bengkawas Bukittinggi dan Syaekh M. Jamil Jaho (1878-1945) yang menetap di Jaho Kab. Tanah Datar. Ketiga tokoh inilah yang paling berpengaruh melakukan pembaruan pemikiran di Minang Kabau dan juga sangat berpengaruh terhadap gerakan politik partai PERTI yang akan kita bahas dalam penelitian ini.

PERTI lahir dipusat ranah Minang yang lebih dikenal dengan sebutan sebutan tiga lunak (Lunak Agam, Tanah Datar dan 50 Kota). Di sinilah awal mulanya tiga ulama tadi memulai perkumpulan dan mengajarkan seluruh kaum muslimin pelajaran agama di Minang Kabau. Pada permulaannya mereka mengajarkan santri-santri mereka dengan cara halaqah yang kemudian menjadi lembaga pendidikan Islam dalam bentuk Modern, melalui metodik dalam mengajarkan dan mengembangkan pemikiran-pemikiran Islam yang baru baik dalam ruangan maupun di tegah-tegah masyarakat. Kadang-kadang mereka menampakkan dirinya sebagai gerakan sosial relegi yang mendukung perjuangan rakyat Indonesia untuk merebutkan kemerdekaan dari jajahan kolonial Belanda.
Dalam sejarah tercatat, pada pemilu pertama setelah kemerdekaan gerakan Islam yang mulanya hanya gerakan sosial religi berubah menjadi sebuah partai politik dan ikut serta dalam perpolitikan Indonesia seperti yang dicontohkan oleh PERTI yang landasan utamanya adalah agama sebagai dasar politik yang mengandung idiologi ajaran Islam. Disinilah terjadi pertentangan antara kaum intelegtual dan ulama. Politik itu berdiri sendiri, sebagaimana yang dikatakan kaum intelegtual, sedangkan menurut ulama berbeda bahwa, politik itu tidak berdiri sendiri dengan berlandaskan kepada nash al-Qur’an.
Pernyataan tersebut mengindikasikan adanya kerinduan yang dalam agar para politisi memahami arti politik, gerakan dan partai, karena dalam agama, politik Islam yang sempurna adalah yang membahas urusan-urusan rohani dan materi. Maksutnya, Islam selain mengandung unsur materi juga unsur ruhani, maka disinilah letaknya bahwa kedua unsur tersebut harus diselaraskan dengan bentuk pemaknaan politikyang beridiologi dalam urusan ruhani dan duniawi, dimana politik dimaknai untuk memberikan kesejahteraan sosial.
Oleh karena itu, penelitian ini nantinya akan membahas lebih dalam lagi tentang kontribusi PERTI yang berasaskan Islam dalam memaknai sebuah gerakan dan politik demi terciptanya kemajuan masyarakat dan bangsa Indonesia. Dan diharapkan dalam penelitian ini nantinya bisa memberikan inspirasi dan semangat yang besar dalam memaknai gerakan dan politik itu sendiri, khususnya PERTI.
B. Rumusan Masalah
Keinginan penulis akan hal-hal yang dipaparkan dalam latar belakang masalah diatas memberikan beberapa ide dalam rumusan masalah ini. Diantaranya:
1. Bagaimana kontibusi Gerakan Partai Politik PERTI di Minang Kabau
2. Bagaimana gerakan utama PERTI sebagai partai Islam dan upayanya untuk mewujutkan kemajuan Bangsa.
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk memaparkan Gerakan Partai Politik PERTI dalam kancah perpolitikan di Indonesia pada tahun 1928-1969, juga sebagai pembanding pada perpolitikan Indonesia dewasa ini.
b. Untuk menilai sejauh mana Kontribusi Gerakan Partai Politik Islam dalam pentas Nasional sebagaimana yang diwakili PERTI upaya mewujutkan kemajuan Bangsa.
2. Kegunaan
a. Untuk mengetahui Gerakan Partai Politik secara teoritis, dimana kajian ini merupakan suatu sumbangan yang sederhana bagi wacana politik yang bergerak dewasa ini di Tanah Air.
b. Untuk menambahkan khasanah perpustakaan Islam khususnya bidang keilmuan politik dalam Islam.
D. Telaah Perpustakaan
Sejauh ini yang penulis ketahui, penelitian yang secara khusus menjelaskan tentang KONTIBUSI GERAKAN PARTAI POLITIK PERTI DI MINANG KABAU (Dalam Ranah Perpolitikan Indonesia, Upaya Mewujutkan Kemajuan Bangsa),sampai saat ini belum penulis temukan, sehingga penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian. Penelitian atau karya yang sudah penulis temukan untuk mendukung penelitian ini diantaranya:
Karya Dalier Noer yang berjudul Partai Islam Di Pentas Nasional Kisah Dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965. Disini beliau menjelaskan tentang Sejarah Partai Indonesia, sedangkan penelitian ini akan membahas tentang sejarah Gerakan Sosial Religi berubah menjadi Partai Politik khusus di Minang Kabau.
Karya yang berkaitan dengan PERTI yang lain adalah yang berjudul Undang-Undang No 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Studi Kasus Organisasi Persatuan Tarbiah Islamiah Sumatra Barat). Karya ini hanya terpokus menjelaskan bahwa PERTI adalah sebuah organisasi gerakan.
Sedangkan karya Burhanuddin Daya yang berjudul Gerakan pembaharuan Pemikiran Islam. Karya ini mengatakan bahwa PERTI tidak ada begitu saja akan tetapi adat istiadat dan corak kehidupan masyarakat Minang Kabau terbaca dengan jelas. Perbedaan dengan penelitian ini tidak membahas hal itu tapi membahas tentang Kontribusi Gerakan Politik PERTI dalam ranah perpolitikan di Indonesia.



E. Kerangka Teoritik
Gerakan adalah suatu perkumpulan atau golongan ynag ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga politik atau menciptakan kehidupan mayarakat yang baru melalui jalur politik. Gerakan lebih terbatas ketimbang partai politik yang cendrung fundamental dan idiologis.
Gerakan politik akan berjalan lancar dengen pengendalian dari sebuah kepemimpinan dari salah satu pemimpin yang berkopenten dalam salah satu kelompok atau golongan. Politik Islam tidak dapat diwujutkan kecuali sekelompok manusia yang solit yang berpijak pada suatu visi dan kepentingan yang sama, yaitu Islam. Dari sisi sosial mereka disebut al-Jamaah, disisi politik mereka disebut al-Hizb (Partai).
Pada awal paska kemerdekaan lahirnya PERTI hampir sama dengan lahirnya partai-partai islam lainnya seperti Masyumi, NU dan PSSI. PERTI ini berpusat di desa Candung Bukittinggi, Sumatra Barat dengan nama asli MTI (Madrasah Tarbiah Islamiyah) pada tahun 5 Mei 1928. Mengutip pendapat Dalier Noer, gerakan ini merupakan salah satu benteng pertahanan gelombang tradisional Islam terhadap penyebaran paham dan gerakan modern dari kolonial asing. Gerakan ini berhasil menyebar sayapnya ke pusat-pusat tradisional di Jambi, Tapanuli, Bengkulu, Aceh, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan.

F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian perpustakaan ( Library Research) yaitu sebagai suatu penelitian yang diarahkan dan dipokuskan untuk menalaah dan membahas bahan-bahan pustaka baik berupa buku-buku dan jurnal-jurnal yang sesuai dengan kajian.
Sedangkan sifat penelitiannya bersifat deskriptif analitik artinya penulis akan berusaha menjelaskan bagaimana bentuk gerakan politik dewasa ini agar penelitian ini berkembang dalam bentuk konsep dan himpunan Fakta . Penelitian ini juga bersifat analitik , penulis berusaha untuk menyelidiki suatu peristiwa untuk mengetahui bagaiman keadaaan yang sebenarnya dan bentuk kontribusi seperti apa yang diberikan PERTI itu sendiri.
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatakan data yang relevan, data-data atau referensi-referensi pokoh seperti Partai Islam Di Pentas Nasional Kisah Dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Gerakan pembaharuan Pemikiran Islam, Gerakan Modern Islam dan lain sebagainya yang berbicara tentang gerakan politik si Minang Kabau selalu menjadi acuan dasar yang tidak bisa ditinggalkan.


3. Pedekatan
• . Pendekatan Normatif
Pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti dan melihat apakah sesuatu yang akan diteliti tersebut sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam Islam.
• Pendekatan Historis
Pendekatan yang dilakukan dengan car melihat dan mentalaah latar belakang sejarah dari objek yang akan diteliti, sehingga dapat menggambarkan secara umum dan lazim untuk pembaca.
• Analisis Data
Mngutif pendapat Bogdan dan Taylor analisis data adalah suatu proses yang merinci usaha secara formal untuk mennemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan kepada hipotesis.
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam penelitian ini akan dirumuskan kedalam lima bab. Pertama, memuat pendahuluan didalamnya juga memuatkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah perpustakaan, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Kedua, akan diuraikan gerakan dan partai politik Islam di Minang Kabau, dengan memaparkan tentang pengertian gerakan dan partai politik, latar belakang gerakan partai politik di Indonesia dan perkembangan gerakan dan partai politik di Indonesia.
Ketiga, merupakan pemaparan tentang gerakan partai politik di Minang Kabau khusunya PERTI. Dalam bab ini juga akan dipaparkan tentang kapan dan seperti apa latang belakang lahirnya PERTI sebagai gerakan dan partai politik Islam.
Keempat, akan memuat analisis kiprah, gerakan dan kontribusi PERTI itu sendiri sebagai gerakan dan partai politik dalam pencaturan perpolitikan Indonesia.
Kelima, ialah kesimpulan, usulan dan saran dari penelitian ini sekaligus menjadi bab penutup dalam penelitian ini.

Read more...

Minggu, 24 Mei 2009

Meningkatkan Kualitas Pendidikan Dalam Sektor Parawisata
Oleh: Riduan al-Bangkawi

SDM sektor pariwisata sekarang ini masih identik sebagai pelayan hotel atau retoran, padahal kenyataanya tidak sesempit itu. SDM sektor bukan hanya sebagai faktor produksi saja, tetapi harus ditempatkan pada kedudukan yang paling bergengsi pada posisi sebagai pengambil keputusan.
“ Oka A. Yoeti”

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sektor pariwisata adalah salah satu andalan Indonesia untuk menghasilkan devisa negara. Oleh sebab itu, pendidikan kepariwisataan di Indonesia harus ditingkatkan kualitasnya guna mencetak SDM tangguh yang memiliki kemampuan yang handal dan profesional dibidang yang sedang ditekuninya.
Diantara permasalahan pokok yang melanda dunia pendidikan Indonesia sekarang ialah bagaimana meningkatkan kualitas SDM yang handal dalam segala bidang, khususnya SDM yang bergelut dalam bidang pariwisata. Tidak bisa dipungkiri bahwa, dunia pendidikan Indonesia dewasa ini masih dipandang sebagai suatu yang berdiri sendiri, terlepas tanpa melihat perkembangan kemajuan yang pada era ini meningkat dalam semua sektor, baik itu sektor perekonomian maupun kehidupan.



Tetapi ironisnya dunia pendidikan Indonesia saat ini dalam mengikuti kemajuan tersebut sangatlah lambat, tentunya ini akan membawa kita untuk melihat sejarah yang lalu bahwa diantara faktor kemajuan suatu bangsa ialah potensi alam, tenaga buruh dan modal yang besar, tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh Oka A. Yoeti bahwa pada perkembangan selanjutnya yang akan menentukan faktor perkembangan suatu bangsa adalah penguasaan ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, didalam dunia pendidikan Indonesia saat ini sangat membutuhkan suatu ruang atau lembaga pendidikan, tentunya yang dapat merealisasikan penguasaan ilmu dan teknologi khususnya dalam bidang pariwisata dan perhotelan, tanpa menafikan kemampuan lokal dalam merealisasikan pendekatan standar yang dianggab baik bagi mata internasional baik itu dalam memenuhin kebutuhan, keinginan maupun harapan wisatawan atau tauris yang akan berkunjung. Untuk meningkatkan semua ini juga sangat dibutuhkan kerja sama dari pemerintah dengan swasta dalam berbagai program pendidikan khususnya program pendidikan pariwisata.
Sebagaimana yang telah kita singgung diatas, bahwa pertumbuhan pendidikan di Indonesia ini sangatlah lamban, jauh sekali di bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan industri pariwisata itu sendiri. Oleh sebab itu, perlu kiranya ada sebuah perbaikan dalam meningkatkan kualitas dunia pendidikan untuk mencapai suatu keterkaitan dan keselarasan dalam dunia pendidikan dan pariwisata. Tentunya, untuk mencapai itu semua ada beberapa syarat yang harus dilaksanakan. Pertama, sistem pindidikan itu harus ada keterkaitan dan keselarasan dengan kebutuhan yang sedang berkembang. Kedua, harus ada keterkaitan dan keselarasan dengan norma, watak, sikap dan perilaku masyarakat yang ada didalam jajaran pariwisata itu sendiri. Ketiga, harus ada keterkaitan dan keselarasan dalam melihat masa depan yang selalu berubah secara cepat.
Singkat kata, selama ini pendidikan pariwisata di Indonesia banyak terpokus pada pelatihan atau kursus keterampilan saja,oleh sebab itu, pada masa atau era yang akan datang harus diperbaharui dengan mencita-citakan bahwa lulusan pendidikan pariwisata bukan hanya mendapat sertifikat, piagam ataupun tingkat D3 saja, melainkan harus mencapai tingkatan S1, S2 maupun S3 yang tentunya terkonsentrasi dalam dunia pariwisata.

Read more...

Senin, 18 Mei 2009

Selamat Tinggal Anakku Tercinta

Pada suatu hari lahirlah seorang anak Desa tepatnya di Desa Cengkong Abang kec. Mendo Barat Kab. Bangka, adalah desa yang damai yang tidak ada duanya yang diberi dengan nama Riduan. Ketika kecil dia ini adalah anak yang sangat nakal, berkelahi, jahilin tanaman orang, ngambil tanaman orang, nyuri duit orang tua, bolos sekolah, jahat sama teman-teman cewek, ngelawan orang tua, ngelawan guru, ngebukin dan namparin kakak dan adek dia, itu adalah hal yang lumrah yang dilakukan oleh seorang Riduan.

Ketika umur sudah memasuki 12 tahun, tepatnya setelah menyelesaikan bangku SD, dia dipaksa orang tua masuk ke pesantren. Awalnya dia mau dikirim ke Kalimantan dan masuk pesantren Salafiah, tapi berhubung ada kendala keuangan akhirnya dia tidak jadi dikirim dan mondok disana yang sebenarnya dia juga kurang suka dan tidak mau sekolah dipondok yang hanya mengajarkan kitab-kitab kuning itu. Setelah selang waktu beberapa hari sesudahnya, ketika seorang ibu lagi bingung-bingungnya mau kemana dia ini dibuang? Alhamdulillah akhirnya berkat bantuan seorang guru dari seorang obak akhirnya dia di buang ke Bukitinggi tepatnya di kelurahan Candung Kab. 4 agkat Candung Bukittinggi SUMBAR.

Tanggal 18 Juni 2000 dia tiba di Bukittinggi, dua hari selang itu dia mendaftar di temani seorang obak yang sangat mencintainya sekalian mengikuti Tesnya dan Allhamdullilh dia lulus. Tiga hari setelah itu obak pulang ke Bangka, sudah bisa dipastikan kesedihan menghampiri dia. “Selama Tinggal Anakku Tercinta, Rajin-rajin belajar, jaga kesehatan, jangan lupa berdo’a dan jangan pernah menyerah” itulah pesan yang ditinggalkan oleh obak sebelum pergi.



Air mata selalu mengalir keluar sampai akhirnya obak jauh tidak terlihat lagi. Sampai jumpa obak, dia berjanji bahwa dia akan buat obak bangga miliki anak seperti Riduan. Bisik saya dalam hari.

PONPES Pertama dan Terbaik di Sumatra Barat

Beberapa hari setelah kepulangan Obak, tidak pasti tanggal berapa, dia resmi menjadi seorang santri sekaligus siswa di sekolah tersebut. Sebenarnya sekolah dia ini adalah pesantren tapi pesantren modern, soooooooo selain ilmu agama dia dapatkan dia juga bisa melanjutkan studi ilmu Umumnya. Ntah bahagia atau duka yang dia rasakan, yang jelas diasangat bahagia bisa sekolah disana tapi setelah kepulangan obak hari-hari yang saya lewati adalah dengan menangis. Menangis rindu kepada Omak, obak, kakak dan adek-adek dia. Bayangin aja anak masih berumur belum genap 12 tahun sudah ditinggalin dan pisah sama orang tua. Tapi alhamdullillah, berkat kesabaran, semangat dan do’a orang tua semua itu bisa di atasi.

Pada tahun 2004 dia menamatkan jenjang pendidikan sanawiyah yang kemudian dilanjutin dengan jenjang Aliyah masih disekolah tersebut dan Alhamdullih selama tiga tahun setelah itu dia bisa menyelesaikan jenjang aliah dengan nilai yang sangat memuaskan. Dia sangat bahagia dan bangga bisa sekolah diluar daerah, apalagi dengan nilai yang memuaskan diakhir pendidikan dia. Dan tidak kalah membanggakan lagi bahwa, selama tujuh tahun dia mondok dan menjadi santri di pesantren yang bernama Pondok pesantren Madrasah Tarbiah Islamiah Candung atau biasa di sebut dengan MTI Candung yang pasilitasnya sangat memuaskan, gedungnya bertingkat tiga dengan luasnya sekian hektar, ada labornya yang terdiri dari labor computer, labor bahasa, labor fisika, kimia dan fasilitas-fasilitas yang tidak ada didapatkan di sekolah atau pesantren modern lainnya khususnya lagi tidak didapatkan apabila dia sekolah atau mondok di Bangka. Yang lebih membanggakan lagi PONPES ini adalah PONPES pertama dan terbaik di Sumatra Barat saat ini yang didirikan Oleh Syech Sulaiman Arrasuli seorang ulama yang krismatik yang ilmunya sudah tidak bisa dipertanyakan lagi. Beliau juga adalah Tokoh pertama sebagai pencetus lahirnya PERTI (Persatuan Tarbiah Islamiah). Yang kemudian pondok itu dipimpin oleh anak-anak beliau. Ya Allaaaaaaaaaah, sangat merindukan kembali dan mondok si sana lagi. Cetusnya dalam hati.

Ciuman Pertama

Tujuh tahun saya disana, nyuci, masak dan tidur dihabiskan dengan sendiri. Hehe, kayak lagu aja yaaaaaaaa. Tapi disinilah keunikan dan menjadi kebanggan tersendiri bagi saya, karena selama disana saya bisa hidup mandiri, mandiri dalam segala hal. Disana saya mendapatkan banyak teman, ada yang dari Riau, Pakan Baru, Jakarta, Medan, Bangkulu, Jambi, Palembang, Lampung, Malaisia, Bukittinggi, Padang dan banyak lagi dan teman-teman dari Bangka pastinya. Seperti yang saya ceritakan diatas tadi ponpes tempat saya mondok adalah ponpes terbaik di Sumatra Barat sooooooo santri-santrinya datang dari berbagai daeran di Indonesia. Disana kita yang dari Bangka khususnya di bimbing oleh seorang Buya atau dalam bahasa Indonesianya adalah Kiyai yang bernama Syamsu Kamal, dirumah beliau saya tinggal bersama teman-teman dari Bangka lainnya. Beliau adalah seorang kiyai yang sangat sederhana, penyabar, murah hati dan ahli dalam bidang ilmu agama pastinya. Selain mengajar di pondok, hari-hari beliau dihabiskan dengan mengidupi Ayam kampong dan mengembala kambing tapi ketika saya datang disana, beliau sudah tidak ngidupin ayam, tapi hanya mengembala kambing. Beliau mempunyai 3 orang putra, alhamdullih berkat kegigihan, kesabaran dan do’a beliau semua anak-anaknya menjadi orang yang sukses, ada yang sukses di Amerika, di Prancis dan di Bali. Tapi walaupun semua anak-anak beliau sukses dan menjadi orang besar baliau tetap masih ingin mengembala kambing dan memarahi anak-anaknya jika melarang dia mengembala. Yaaaaaaaaaaa seperti santri-santri lainnya saya juga kebagian hari untuk mengurusi dan mengembala kambing-kambingnya, cari rumput, masukin kekandang dan ngebersihin kandangnya, yang kebetulan kandangnya juga di belakang tempat tinggal saya, kira-kira 150 meter dari dibelakangnya. Pernah satu ketika, waktu itu hari lagi tidak bersahabat, tiba-tiba hujan deras yang kebetulan waktu itu giliran saya yang piket mengembala. Karena hujan sudah deras akhirnya saya berlari menjemput kambing-kambing itu di padang rumput untuk memasukkannya dikandang. Ketika semangat-semangatnya berlari akhirnya tepat di padang sumput tadi saya terjatuh dan suatu hal yang sangat menjijikkan dan yang paling berkesan sampai sekarang terjadi yaitu tanpa di sengaja dan tanpa sadar bibir dan hidung saya mencium kambing dan tepat pada hari dan detik itu, ciuman pertama saya resmi menjadi milik kambing. Menyedihkan banget yaaaaaaaa. Marah, kesal dan mengkerutu itulah yang saya rasakan waktu itu, akhirnya dengan segala kelemasan dan kemarahan saya berjalan dengan lesu untuk mengantarkan kambing kekandangnya dengan tubuh yang sudah menggigil.

Orang yang Gila Bola

Setiap hari, setelah pulang sekolah, biasanya saya pulang sekolah paling cepat kira-kira jam 14.30 kadang-kadang sampai sore, capek banget siiiiih tapi berhubung mata pelajaran kami yang terdiri dari pelajaran umum dan kitab kuning makanya mau tidak mau harus diterima tapi tidak jarang juga lho saya bolos. Heheeeeee.. Setiap sore setelah pulang sekolah untuk menghilangkan steres saya dan teman-teman menghabiskannya dengan berolahraga. Ada yang maen bola, badminton, takraw, Poly dan lain-lain, tepatnya di depan tempat tinggal kami, ada lapangan badminton dan takraw. Tapi saya sendiri olahraga yang sering dan yang sangat saya gemari yaitu maen Bola kaki. Saking gemarnya setiap hari baju yang saya pakai adalah baju bola (kaos) yang yang lebih parahnya teman yang paling setia nemenin saya tidur adalah bola, sampai-sampai ada teman yang manggil saya ini adalah orang yang gila Bola. Di sekolah saya masuk time dan alhamdullih saya terpilih sebagai striker utama yang junior, yaaa karena emang saya masih kecil. Awalnya sebenarnya saya memilih sebagai kipper karena dari mulai SD setiap kali maen bola saya lebih memilih ngambil jadi kipper yang kebetulan waktu di SD saya juga sebagai kipper utama, tapi entah kenapa waktu di pondok karena posisi itu ada yang lebih dipercaya dari saya akhirnya saya dipercaya untuk mencoba menjadi gelandang bertahan, tapi anehnya posisi itu tidak bisa saya terima dan membuat saya tidak nyaman, makanya setiap kali latihan saya selalu maju untuk menjadi striker, kata lainnya saya keluar dari posisi tapi anehnya setiap kali maen saya selalu mencetak Gold an bermain cantik. Setelah beberapa hari latihan akhirnya saya dipercaya oleh pelatih saya yang kebetulan waktu itu dipercaya pihak sekolah adalah ustadz Nurdin, beliau adalah ustadz muda yang juga penggemar bola menjadi seorang strker. Alhamdullih singkat cerita dari mulai waktu itu sampai kelas 5 atau stingkat dengan kelas I aliah saya selalu dipercaya sebagai striker. Tepat kelas 3 setingkat dengan kelas 2 snawiyah saya sudah dipercaya masuk ke dalan time Senior. Walaupun ketika ada pertandingan dengan sekolah lain atau ketika ada perlombaan saya masih jadi jadangannya tapi ketika saya sudak kelas 4 saya resmi menjadi striker utama di time Senior dan time sering mengikuti perlombaan-perlombaan baik itu antar sekolah di kabupaten maupun propinsi seperti perlombaan antar sekolah di Padang dan Pakan Baru Riau walupun waktu itu perlombaan antar propinsi kami tidak bisa menjadi juara alias gugur pada pertandingan pertama. Huuuuuuuuuh menyedihkan sekali.

Shalat Tahajjut Untuk Berjumpa Dengan-Nya

Hampir setiap malam, tepatnya setelah shalat Isa saya dan teman-teman belajar di mesjid dan kerumah ustadz-ustadz lain untuk belajar, atau biasa kami sebut dengan belajar duduk, maksutnya belajar sambil duduk lesehan atau bahasa lainnya belajar dengan cara halaqah dengan mengelilingi ustadz. Banyak pelajaran dan kitab yang kami pelajari seperti Nahu, sharaf, fiqih, mantik, tasawuf, tauhid, usul fiqih dan lain-lain. Kadang-kadang kami juga curhat-curhatan dengan ustadznya, baik itu curhat atau keluhan kenapa sulit banget menghapal pelajaran, curhat kesedihan karena teringan sama orang tua, malas untuk nyuci dan kadang-kadang kami juga curhat tentang cewek. Ustadz kami selalu bersabar dan tabah mendengar cerita dan curhat kami dan selalu memotivasi kami dan ngasih solusi kepada kami. Ustadz kami selalu siap dan bersemngat mendengan curhat kami apalagi kalau kami curhat tentang cewek huuuu semangat banget pokoknya. Hehe.. Di pendok kami, ustadz-ustadz tidak melarang kami untuk pacaran atau mencintai wanita, tidak sama dengan pondok-pondok lainnya. Pondok dan Ustadz kami sangat demokratis dan mengerti keinginnan santri-santrinya, paling beliau Cuma nasehati kami jangan terlalu berlebihan dan berusaha untuk menjaga diri dari hal-hal yang mengakibatkan dosa. Setelah selesai belajar biasanya kami langsung tidur, tapi jarang juga sih yang langsung tidur paling kami nonton dulu tapi tidak sampai larut malam kecuali kalau hari libur itupun jarang. Hampir setiap malam teman-teman selalu menyempatkan diri untuk bangun malam dan shalat tahajjut untuk berjumpa dengan-Nya, tapi sebenarnya hanya beberapa teman yang rutin melaksanakan ini seperti teman sekamar saya, namanya Irwan Rismansyah dari Palembang, dia ini bisa kita katakan orang yang paling pandai ditempat tinggal kami, baik itu ilmu umum maupun agamanya dan yang paling wah lagi dia ini seorang hafis yang mungkin sudah puluhan jus al-Qur’an yang dia lahab. Hampir setiap malam dia bangun, tahajjud kemudian dilanjutin dengan membaca al-Qur’an. Alhamdullillah sekarang dia kuliah di Sria Timur Tegah dan akan menyelesaikan kuliah kabarnya, tentu ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi kami, khususnya saya pribadi teman satu kamar saya sebentar lagi akan menjadi seorang Ulama, sarjana dari Sria. Mudah-mudahan ilmunya bermanfaat bagi Agama, Negara ini. Amiiiin. Waaaaaaaan, jangan lupa ya sama teman kamu yang satu ini, temanmu yang sering nyuri dan makan, lauk maupun nasimu tanpa minta izin dulu abiiiiiiiiiiiis kamu sih pelit banget. Heheeeeeeeee…

Selama hampir 4 tahun tepatnya kira-kira dua bulan sebelum ujian akhir Snawiyah, saya memutuskan untuk pindah dan pisah dari mereka, alasan saya sangat sederhana saya mau cari suasana baru. Awalnya saya tidak di izinkan orang tua apalagi Ustadz Syamsu tapi karena saya bersihkeras akhirnya juga di izinkan. Tepatnya kalau gak salah, malam rabu saya pindah kos ditemani beberapa teman-teman untuk mengangkat barang-barangnya. Malam itu saya mulai mendiami kos baru saya, awalnya saya sendiri dikamar itu, tujuannya supaya saya lebih konsentrasi belajar tapi sebulan sesudah itu ada teman saya namanya Dedi Kurniawan. Dia ini sebenarnya waktu itu bisa dikatakan teman baru tapi ntah kenapa walaupun kami baru kenal kami merasa ada kecocokan. Dia ini anak orang kaya dari Riau ayahnya pengusaha. Dia menawarkan untuk berdua dan kos bersama saya, akhirnya dengan berat hati saya tidak menolaknya karena pertimbangannya untuk membantu Ibu kos juga. Ibu kos saya ini biasanya orang manggil dengan panggilan ayak, pokoknya baik suaminya, anak-anaknya, teman-temannya, sampai ke anak kecil manggilnya dengan panggilan ayak. Anehnya panggilan ayak itu kalau mengikut bahasa Bangka adalah kakak, jadi semua orang manggilnya dengan ayak. Bersambung

Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP