Minggu, 12 Juli 2009

HUKUM DAN KEPENTINGAN
“Study Terhadap Perbedaan Kaidah Atau Norma Yang Berlaku Di Indonesia”

A. Pendahuluan
Manusia menurut kodratnya selalu ingin hidup berkumpul dan berkelompok, yakni manusia yang satu dengan yang lainnya senantiasa menjalin hubungan dan hidup bersama-sama dalam setiap. Berkaitan dengan hal ini, Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr. Hasanudin AF, MA, mengatakan bahwa manusia adalah: Zoon Politicon atau De Mens Is Een Social Wesen yang artinya manusia sebagai mahluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan manusia lainnya, jadi mahluk yang suka bermsyarakat. Oleh karena itu sifatnya yang demikian itulah manusia disebut sebagai mahluk sosial.
Didalam realitasnya, sebagai makluk sosial tentunya manusia selalu ingin hidup untuk berkumpul, berintekrasi dan berhubungan dengan manusia lainnya. Antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok. Sebagaimana yang dikatakan oleh Elwood, bahwa yang menyebabkan manusia cenderung hidup berkelompok atau bermasyarakat di karenakan adanya dorongan kesatuan biologis yang terdapat dalam kodrat manusia itu sendiri, seperti hasrat untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, hasrat membela diri, hasrat untuk mandiri, dan hasrat mengembangkan keturunan.

Berangkat dari itu semua, tentunya setiap masyarakat ingin dan pasti memiliki kepentingan masing-masing, di dalam kepentingan pasti terjadi persamaan dan perbedaan. Kadang-kadang antara kepentingan satu dengan masyarakat lain ada kesamaan, akan tetapi, tidak jarang pula kepentingan yang satu dengan masyarakat lainnya terjadi pertentangan. Di dalam banyak peristiwa dan perbedaan tersebutlah akan menimbulkan perselisihan, kakacauan, pententangan maupun konflik.
Zevenbergen sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S. H mengatakan; Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya yang mengancam kepentingannya, sehingga seringkali menyebabkan kepentingan atau keinginannya tidak tercapai. Manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Untuk itu memerlukan bantuan manusia lainnya.
Bantuan manusia lain, akan lebih mempermudah keingginannya tercapai dan terlindungi. Lebih-lebih manusia itu termasuk mahluk yang lemah dalam menghadapi ancaman bahaya terhadap dirinya atau kepentingannya, akan lebih kuat kedudukannya menghadapai bahaya, apabila ia bekerja sama dalam kelompok atau kehidupan bersama.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa masyarakat merupakan kelompok atau kumpulan manusia. Berapa jumlah manusia yang akan disebutkan sebagai masyarakat tidaklah penting. Contoh; Apabila di dalam sebuah daerah hanya ada satu orang saja maka belum bisa dikategorikan sebagai masyarakat, tetapi apabila pada hari berikutnya atau hari-hari setelah itu ada masyarakat yang datang di dalam daerah itu, baru dikategorikan sebagai masyarakat. Yang mempertemukan atau mendekatkan manusia satu dengan lainnya adalah pemenuhan kebutuhan atas kepentingan-kepentingan mereka.
Menitik berat dari ini semua, tentunya berbagai kepentingan bersama mengharuskan adanya ketertiban, adanya keamanan, adanya ketentaram, kedamaian, keadilan dan kebersamaan. Karena itu, sangat diperlukan adanya tatanan (ordenung), yaitu berupa aturan-aturan yang menjadi pedoman dan bimbingan segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Tidak mustahil akan terjadi komplik dan bentrokan antara sesama manusia dalam mencapai kepentingannya. Komplik kepentingan tersebut terjadi apabila dalam melaksanakan atau mengejar kepentingannya, seorang merugikan orang lain. Gangguan kepentingan atau komplik haruslah dicegah, tidak di biarkan berlangsung terus menerus, karena akan menganggu keseimbangan tatanan masyarakat, dengan tatanan keadaan masyarakat yang seimbang niscaya menciptakan suasana tertip, damai, aman yang merupakan jaminan kelangsungan hidupnya.

B. Jenis-Jenis Kaidah Atau Norma Yang Berlaku di Indonesia.
Kaidah secara bahasa atau etimologi berasal dari bahasa Arab “ Qaidah”, yang berarti dasar, fondasi, pangkal, peraturan, kaidah, norma dan prinsip. Sedangkan dalam kajian ilmu hukum, kaidah lebih diartikan dengan peraturan atau norma. Secara istilah atau teminologi menurut Hans Kelsen sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono Soekanto adalah “That Seomething ought to happen, expicialy that a human being to behave in a specifik way” yang artinya sesuatu yang seharusnya dilakukan, terutama bahwa manusia harus bertingkah laku menurut cara tertentu.
Menurut Yulies Tiena Masriani, S. H, M. Hum, kaidah dan norma adalah petunjuk hidup, yaitu petunjuk bagaimana seharusnya kita berbuat, bertingkah laku, tidak berbuat, dan tidak bertingkah laku di dalam masyarakat. Jadi singkat kata, kaidah atau adalah aturan-aturan yang berisi perintah dan larangan yang harus diterima dan ditetapkan di dalam masyarakat guna mewujutkan kedamaian, keamanan, keadilan ketertiban di dalam masyarakat.
Beranjak dari semua penjelasan diatas, bahwa manusia itu mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Manusia dengan sipat individualnya akan mementingkan dirinya sendiri, dengan demikian secara otomatis pertikaian, komplik dan permusuhan akan terjadi. Jika keadaan masyarakat selalu seperti itu, bisa dijamin tidak akan terjadi keteraturan dan kebaikan dalam masyarakat. Untuk menjawab itu semua, tentunya kita membutuhkan aturan, kaidah atau norma yang akan mengaturnya.
Kaidah atau norma secara globalnya terbagi kepada dua macam.
1. Kaidah atau norma dengan aspek kehidupan pribadi yaitu kaidah atau norma keagamaan dan kesusilaan.
2. Kaidah atau norma antar pribadi yaitu norma sopan santun dan norma hukum.
Dengan demikian dapat kita bagikan secara rinci:
a). Norma agama, yang berguna untuk mencapai kesuciaan pribadi atau kehidupan beriman.
b). Norma kesusilaan yang berguna untuk diri pribadi baik itu dihadapan manusia maupun dihadapan Tuhan.
c). Norma sopan santun yang tujuannya supaya di dalam kehidupan bermasyarakat ada keenakan dan saling menghargai.
d). Norma hukum yang tujuannya supaya tercapai kedamaian bersama.

1. Norma Agama
Norma agama adalah suatu aturan yang ditetapkan oleh Tuhan yang harus diterima, baik itu perintah maupun larangannya. Mengutip pendapat Prof. Dr. Hasanuddin bahwa norma agama adalah aturan tingkah laku yang berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan anjuran-anjuran yang diyakini norma sosialnya, seperti:
Firman Allah dalam al-Qur’an:
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
Drs. Sudarsono S. H. mengatakan bahwa secara garis besarnya, norma agama itu terbagi kepada tiga hubungan. Pertama, peraturan-peraturan yang memuat tata hubungan manusia dengan Tuhan, dinamai dengan hubungan “vertikal”. Kedua, peraturan-peraturan yang memuat tata hubungan manusia dengan manusia yang dinamai dengan hubungan “horizontal”. Ketiga, peraturan manusia yang mengatur manusia dengan alam semesta. Dan ketiga hubungan ini, tidak bisa dipisahkan, artinya tidak bisa mandiri dan saling membutuhkan satu dengan yang lain.




2. Norma Kesusilaan
Norma kesusilaan menurut etimologinya adalah etika atau moral. Sedangkan menurut terminologinya adalah peraturan hidup yang di terima atau dianggab manusia sebagai suara hati sanubari yang berupa patokan-patokan mengenai hasrat rohaniah yang tidak tampak. Peraturan hidup itu berupa bisikan qalbu atau suara batin yang diakui dan di insafi oleh setiap pedoman dalam sikap dan perbuatannya.
Oleh karena itu, kaidah kesusilaan ini bersifat otonom, artinya diikuti atau tidak, aturan tingkah laku tersebut tergantung pada hati atau sikap batin manusia. Batinnya sendiri yang mengancam perbuatan yang melanggar kaidah kesusilaan dengan sanksi. Tidak ada kekuasaan diluar dirinya yang memaksakan sanksi itu. Norma kesusilaan ini diikuti masyarakat khususnya di Indonesia bukan karena takut pada sanksi berdosa pada Tuhan, melainkan kerena hati nurani dan sanubarinya menganggab pelanggaran terhadap norma ini akan menyebabkan batin atau hati nurani kita sebagai manusia tidak tenang, merasa tersiksa dan mungkin rasa malu ataupun penyesalan kepada diri sendiri.
Mengutip pendapat Kansil, sebagaimana yang dijelaskan oleh Drs. Sudarsono S.H mengatakan: Kesusilaan itu, memberikan peraturan-peraturan kepada manusia agar supaya ia menjadi manusia yang sempurna. Hasil dari perintah dan larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu pada manusia bergantung pada pribadi masing-masing orang.
Sedikit berbeda apa yang dikatakan oleh Van Aveldoorn, ia mengatakan ada perbedaan antara moral dengan susila. Tetapi Surojo Wignyodipuro sebagaimana yang dijelaskan oleh Soeroso S. H. Perbedaan itu hanya bersipat gradual saja, karena kesusilaan bersumber dari moral. Artinya, manusia itu adalah mahluk yang bermoral yang berperasaan ialah perasaan susila.

3. Norma Kesopanan
Tata aturan yang hidup di dalam masyarakat lebih dikenal dengan norma kesopanan. Demikian juga, timbulnya tata aturan tersebut adalah diawali dengan pergaulan sekelompok manusia. Norma kesopanan tersebut jika ditinjau dari segi timbul dan adanya adalah: Peraturan yang timbul dan hidup dalam pergaulan sekelompok manusia. Yulies tiena Masriani, S. H, M. Hum, mengatakan bahwa norma kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul dari segolongan manusia. Peraturan itu diikuti dan ditaati sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku manusia terhadap manusia lain yang ada disekitarnya. Sedangkan menurut Soeroso S. H, norma kesopanan adalah ketentuan-ketentuan hidup yang timbul dari pergaulan dalam masyarakat. Norma kesopanan dasarnya adalah kepantasan, kebiasaan, kepatuhan yang berlaku dalam masyarakat.
Kaidah kesopanan ini diikuti dan ditaati sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku manusia terhadap manusia yang lain disekitarnya. Satu golongan masyarakat tertentu dapat menetapkan peraturan-peraturan tertentu mengenai kesopanan, yaitu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan seorang dalam masyarakat. Jadi norma kesopanan timbul dan diadakan oleh masyarakat itu sendiri sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan mereka, sehingga masing-masing mereka saling menghargai dan hormat menghormati.
Norma kesopanan tidak terlalu berpengaruh seperti norma-norma lainnya, seperti norma keagamaan dan kesusilaan diatas. Norma kesusilaan tidak bersifat universal, karena disuatu masyarakat berbeda dengan masyarakat yang lain. Apa yang dianggab sopan disuatu wilayah pasti berbeda dengan wilayah lain.
Disini penulis akan memuatkan sedikit contoh kaidah kesopanan yang berlaku di dalam bangsa Indonesia kita: Bagi yang muda harus menghormati yang tua. Disaat kita berjalan, kita harus mendahulukan yang lebih tua. Disaat kita sedang berada di dalam angkatan umum, jika disana itu ada orang tua atau wanita, maka kita di tuntut mendahulukan bagi mereka untuk duduk. Atau mungkin contoh lain, bagi yang muda disaat bersalaman dengan orang tua, guru, dosen harus mencium tangannya. Tidak meludah dihadapan orang, dan lain-lain.
Norma kesopanan ini sangat berbeda dengan norma kesusilaan yang lebih tertuju pada sikap batin pribadi, norma kesopanan justru ditujukan pada sikap lahir manusia yang beriontasi pada kesempurnaan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, sanksi bagi pelanggaran kaidah atau norma kesopanan adalah berwujut teguran, celaan, cemoohan, pengecualian dan lain sebagainya.
Kansil mengatakan bahwa norma kesopanan tidak mempunyai lingkungan pengaruh yang besar, jika dibandingkan dengan lingkungan norma agama dan kesusilaan. Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat (regional), dan berlaku bagi segolongan tertentu saja. Apa yang dianggab sopan bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian.
Di dalam perspektif Islam kaidah atau norma sudah menjadi kebiasaan yang berlaku di masyarakat tertentu, dapat diterima selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran akhlaq dalam Islam. Bahkan di dalam ilmu usul fiqih dikenal dengan “Urf”, yang artinya adalah adat kebiasaan yang sudah tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan yang menyatu dengan kehidupan mereka, dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam, atau yang lebih dikenal dengan al-Adatu Muhkamatun. Dengan syarat tidak keluar dari ajaran al-Qur’an dan hadits.
Ketiga norma yang telah penulis uraikan diatas, yaitu norma keagamaan, norma kesusilaan dan norma kesopanan, tujuan pastinya adalah memberi perlindungan kepada kepentingan dan membina ketertiban kehidupan manusia. Tentunya ketiga kaidah atau norma di atas, belum cukup untuk menjamin ketertiban dan perlindungan dalam masyarakat. Sebab:
a). Masih banyak kepentingan-kepentingan manusia lainnya yang memerlukan perlindungan, yang ketiga norma sosial tersebut bisa dikatakan belum cukup untuk mengaturnya.
b). Kepentingan-kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari ketiga kaidah atau norma sosial yang tiga, belum cukup terlindungi, karena dalam hal terjadi pelanggaran kaidah atau norma tersebut reaksi atau sanksinya dirasakan belum cukup memuaskan.
c). Pelanggaran norma agama diancam dengan hukuman dari Tuhan, sedangkan kita tahu bahwa hukuman tersebut hanya dan akan kita dapatkan di akhirat nanti bukan di dunia, waluapun di dalam Islam ada semacam keprcayaan bahwa Tuhan juga akan membalas kesalahan-kesalahan manusia di dunia.
d). Pelanggar kesusilaan hanyalah akan menimbulkan rasa malu, bersalah, cemas, kesel hati atau penyesalan bagi pelaku. Kalua ada orang jahat, baik itu membunuh, mencuri, memperkosa tidak diadili dan tidak di penjara, dalam bahasa lain masih berkeliaran, maka masyarakat bisa dipastikan masih belum aman, meskipun sipenjahat tersebut dicekap oleh rasa bersalah dan penyesalan atas semua kesalahan yang dibuatnya.
e). Kaidah sopan santun apabila dilanggar hanya akan menimbulkan celaan, penghinaan, cemoohan saja. Tentunya sanksi itu masih kurang memuaskan, karena kawatir pelaku pelanggaran akan mengulangi perbuatannya lagi kerena sanksinya dirasakan terlalu ringan.
Oleh karena itu, disamping ketiga jenis kaidah-kaidah diatas, diperlukan adanya kaidah atau peraturan lain untuk mengatur kepentingan-kepentingan tersebut, yaitu suatu jenis pelaturan yang bersifat memaksa dan itu wajib ditaati dengan sanksi-sanksinya yang tegas. Kaidah atau norma yang kita maksud adalah norma hukum.

4. Norma Hukum
Kaidah atau norma hukum adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa-penguasa yang bersifat memaksa dengan bermacam sanksi-sanksinya, yang dilaksanakan dan dipertahankan oleh alat-alat Negara, seperti jaksa, hakim, polisi dan sebagainya. Dengan demikian memaksa merupakan sifat yang khas dari kaidah hukum ini, meskipun demikian memaksa tidak dapat diartikan sebagai kesewenangan-wewenang, sebab paksaan disini dimaksutkan untuk mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat yang berarti pula kepentingan-kepentingan setiap anggota masyarakat yang berada pada masyarakat yang bersangkutan. Misalnya:
a. Barang siapa yang membunuh seseorang dengan sengaja, di hukum dengan pasal 338 KUHP. Di sini, ditentukan besarnya hukuman penjara untuk orang-orang yang melakukan kejahatan dengan kaidah norma hukum pidana.
b. Barang siapa yang mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam dengan karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah (pasal 362 KUHP).
c. Jual beli barang orang lain adalah batal, dan dapt memberikan dasar untuk penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika si pembeli tidak mengetahui barang itu kepunyaan orang lain (pasal 1471, KUHPp). Di dalam pasal itu ditegaskan bahwa jual beli barang orang laian adalah batal. Maksutnya apabila terjadi perselisihan atau mengenai jaul beli sebagiannya dimaksut isi undang-undang maka Negara dapat memeksa pembatalan tersebut agar pihak-pihak yang berselisih bersedia mematuhi.
d. Tentang pernikahan, UU No 1 tahun 1972 tentang perkawinan, didalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pernikahan tidak sah apabila tidak dicatat oleh peradilan.
e. Perkawinan dianggab sah apabila dilakukan secara hukum masing-masing agama dan kepercayaannya,(pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974)
f. Dan lain sebagainya
Keistemewaan norma hukum itu justru terletak pada sifat memaksanya dengan sanksinya yang berupa ancaman hukuman. Alat negara yang berusaha agar peraturan hukum ditaati dan dilaksanakan. Keberadaan kaidah hukum diantara kaidah sosial lainnya bisa kita artikan sebagai tambahan atau pelengkap dari norma-norma yang tiga diatas, karena sebagaimana yang telah penulis uraikan bahwa ketiga norma tersebut belum cukup untuk menjamin ketertiban, ketentraman, ketertiban dalam masyarakat.
Namun demikian, keempat kaidah sosial tersebut mempunyai kebersamaan sekaligus juga terdapat perbedaanya. Di antara kebersamaan tersebut antara lain.
1). Kaidah-kaidah itu hanya terdapat dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
2). Kaidah-kaidah itu mengatur tata tertib dalam pergaulan manusia.
Oleh karena itu, sering terjadi persamaan dalam aturan-aturan yang harus dijalankan. Seperti larangan untuk tidak membunuh. Dalam kaidah agama membunuh itu berdosa, didalam kaidah susila, membunuh itu adalah perbuatan yang bertentangan oleh hati nurani, di dalam norma kesopanan membunuh itu adalah perbuatan yang hina dan tercela, sedangkan di dalam kaidah atau norma hukum membunuh itu akan disanksikan dengan pidana. Sedangkan menurut R. Soeroso persamaan keempat kaidah tersebut antara lain:
1). Maksud dari kaidah hukum dengan kaidah lainnya adalah sama yakni melindungi kepentingan perorangan maupun umum, sehingga terdapat tata tertib dalam masyarakat
2). Antara kaidah hukum dengan kaidah kesopanan
a. Memandang manusia sebagai mahluk sosial
b. Sudah puas dengan perbuatan lahiriah saja
c. Heteronom (dikehendaki masyarakat)
d. Memberikan kesempatan pihak yang bersangkutan untuk mengadakan reaksi (Geven aanspraken)
e. Sama memiliki wilayah yang berlakunya.
Sedangkan perbedaan kaidah sosial yang empat tersebut menurut Ipin syarifin sebagaimana yang dikutif Hasanuddin Af. M.A, secara umumnya dapat dilihat dari segi sumber, sanksi, objek sasaran, tujuan, dan daya kerjanya adalah sebagai berikut:
1). Segi Sumber
a. Kaidah agama bersumber dari Tuhan
b. Kaidah kesusilaan berasaldari diri sendiri(otonom)
c. Kaidah kesopanan berasal dari masyarakat secara tidak terorganisasi
d. Kaidah hukum bersumber dari masyarakat yang diwakili oleh suatu otonom tetinggi dan terorganisasir
2). Segi Sanksi
a. Kaidah agama sanksinya bersifat internal
b. Kaidah kesusilaan sanksiya bersifat internal juga, artinya berasal dari perasaan pribadi sendiri.
c. Kaidah kesopanan sangsinya bersifat eksternal dalam wujut celaan, cemoohan teguran dan pengucilan
d. Kaidah hukum sanksinya bersifat eksternal dalam wujut ganti rugi perdata, denda kurungan penjara sampai hukuman mati.
3). Segi Objek Sasaran
a. Kaidah agama, objek sasarannya ditujukan pada sikap batin manusia, kecuali agama Islam juga ditujukan pada sikap lahir manusia.
b. Kaidah kesusilaan, objek sasarannya ditujukan pada sikap batin manusia
c. Kaidah kesopanan, objek sasaranya adalah sikap lahir
d. Kaidah hukum, objek sasarannya adalah sikap lahir manusia.
4). Segi Tujuan
a. Kaidah agama bertujuan demi kepentingan pelakunya, yaitu agar manusia bebas dari azab dunia maupun akhirat yang dapat menikmati hidup kekal di Surga. Hal ini berbeda dengan kaidah agama Islam, yaitu untuk kemaslahatan atau kebaikan hidup manusia secara individual maupun kolektif, baik di dunia maupun akhirat.
b. Kaidah kesusilaan bertujuan untuk kepentingan pelaku agar ia menyempurnakan diri sendiri.
c. Kaidah kesopanan bertujuan untuk menghargai masyarakat
d. Kaidah hukum bertujuan untuk ketertiban masyarakat
5). Segi Daya Kerja
a. Kaidah agama daya kerjanya lebih menitik beratkan pada kewajiban dari pada hak
b. Kaidah kesusilaan daya kerjanya lebih menitik beratkan pada kewajiban
c. Kaidah hukum daya kerjanya mengharmoniskan hak dan kewajiban.
Kiadah atau norma hukum ini memiliki keistimewaan sendiri dari kaidah hukum sosial lainnya. Ini terlihat dari segi efektifitasnya, karena kaidah hukum sebelum diberlakukan harus memiliki proses yang panjang, sehingga hukum tersebut bisa diberlakukan, ditaati dan diterima oleh masyarakat. Oleh sebab itu, keterkaitan dengan kepatuhan masyarakat terhadap hukum sebagai pencerminan dari berlakunya hukum tersebut harus di dasari oleh ajaran-ajaran hukum yang mendukungnya, di antara ajaran hukum sebagai pendukung tersebut ialah:
1). Juristische Geltung
Ajaran ini mengatakan bahwa hukum adalah himpunan kaidah-kaidah atau perundangan-undangan semata-mata, baik dalam bentuk undang-undang maupun bentuk perjanjian yang akan berlaku dan dipatuhi kalau dibuat oleh badan atau orang yang berkuasa.
2). Philoshophische Geltung
Ajaran ini mengatakan bahwa disamping itu peraturan-peraturan tersebut memenuhi filsafah hidup, yang mempunyai nilai tinggi bagi kemanusian.
3).. Sosiologische Geltung
Ajaran ini mengatakan bahwa peraturan perundang-undangan hanya akan berlaku secara positif (hukum positif), jika diterima dengan baik dan diikuti secara nyata dalam masyarakat oleh orang-orang yang dikenakan kaidah-kaidah tersebut.
Oleh karena itu, dalam rangka pembuatan UU, Peraturan pemerintah pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, dan sebagainya, harus mempertimbangkan ketiga landasan tersebut diatas, yaitu landasan yuridis, filosofis dan sosiologis.
A. Landasan Yuridis
Dalam hal ini UUD 1945 menjadi landasan yuridis bagi pembuatan perundang-undangan dibawahnya seperti peraturan pengganti UU, peraturan pemerintah, Peraturan Daerah, Surat keputusan dan sebagainya.
Landasan Yuridis ada dua macam:
a. Landasan Yuridis Formil, yaitu landasan yuridis yang memberikan wewenang kepada instansi tersebut untuk membuat peraturan tertentu pula, contohnya pasal 5 ayat 1 UUD 1945 menjadi landasan yuridis dari segi formil presiden untuk membuat UU. Kemudian pasal 20 ayat 1 menyatakan bahwa, setiap UU harus mendapatkan persetujuan DPR, artinya setiap produk per-undang-undangan yang bukan produk bersama DPR dan Presiden adalah batal demi hukum.
b. Landasan Yuridis Materiil, yaitu landasan yuridis dari segi isi (materi), sebagai dasar hokum untk mengatur hal-hal tersebut. Contohnya: Pasal 18 UUD 45 menjadi landasan yuridis dari segi materil untuk membuat UU organik mengenai pemerintahan daerah.. Maka dalam bentuk undang-undanglah hal itu diatur , kalau diatur dalam bentuk lain umpamanya dengan keputusan presiden maka keputusan presiden tersebut bisa dibatalkan.
B. Landasan Filosofis
Landasan ini sangat berkaitan dengan dasar filsafat, baik itu ide, atau pandangan, yang menjadi harapan atau cita-cita ketika ingin melampiaskan hasrat dan kebijaksanaan dalam sebuah rancangan peraturan pemerintah, yang tidak keluar dari landasan-landasannya. Di dalam bangsa Indonesia yang menjadi landasannya adalah pancasila. Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan harus memperhatikan sungguh-sungguh “rechsidee” yang tertuang di dalam pancasila dan Undang-Undang.
C. Landasan Sosiologis
Landasan ini sangat besar kaitannya dengan kenyataan hidup dalam masyarakat. Dengan dasar sosiologis ini diharapkan hukum yang dibuat akan diterima dalam masyarakat secara wajar dan sepontan. Mengutip pendapat Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, agar keberlakuan hukum berjalan dengan baik dan efektif, maka harus memiliki dua teori. Pertama, teori kekuatan. Artinya, kekuatan berlakunya hukum yang dibuat oleh penguasa, baik itu diterima oleh masyarakat ataupun tidak. Kedua, teori pengakuan. Artinya, hukum memiliki kekuatan secara sosiologis, apabila diterima dan diakui masyarakat, tentunya harus melihat faktor-faktor sebagai pendukung kekuatan hukum tersebut.
Dalam persepektif ajaran Islam, setiap aturan atau perundang-undangan yang ditetapkan secara yuridis dan filosofis tersebut tidak boleh keluar dari al-Qur’an dan al-Hadits. Umpamanya, perundang-undangan yang tidak secara eksplisit dijelaskan di dalam nash tersebut, dibuat haruslah selaras dengan kemaslahatan umat yang menjadi tujuan dari hukum Islam itu sendiri, yang kemudian di dalam kaidah usul fiqih disebut dengan Maqasid al-Syari’ah.
Begitu juga yang berkaitan dengan landasan sosiologisnya. Sebelum hukum itu ditetapkan, harus melihat pertimbangan-pertimbangan yang akan terjadi di dalam masyarakat. Kaidah hukum Islam menyatakan bahwa “hukum dapat berubah seiring dengan perubahan waktu, tempat, adat istiadat, dan sarana prasarana” . Artinya, dalam kaidah tersebut, Islam sangat menghargai perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, baik itu perubahan waktu, tempat, adat-istiadat, kondisi lokalitas maupun prasarana-prasarana yang mendukung suatu ketentuan hukum tersebut. Selain itu, hukum Islam juga mempunyai prinsip bahwa, “pelaksanaan hukum secara gradual”. Oleh sebab itu, apabila hukum Islam ingin diterapkan, maka harus sesuai dengan kondisi dan kesiapan masyarakat sebagai objek hukum. Tentunya, supaya hukum dapat diterima oleh masyarakat secara spontan, wajar dan keberlakuannnya juga dapat berjalan dengan baik dan efektif.

C. Penutup
Sebagaimana yang telah kita jelaskan diatas, bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon atau De Mens Is Een Social Wesen. Di dalam pergaulan sosial tersebut, akan ditemui berbagai macam kepentingan, baik itu kepentingan akan suatu kepemilikan ataupun kepentingan akan suatu keinginan. Apabila itu berjalan dengan sendirinya tanpa ada norma-norma yang mengaturnya, niscaya akan banyak ditemukan ancaman, kejahatan, keburukan dan ketidak adilan. Oleh karena itu, harus ada kaidah atau norma yang mengatur dan melindungi, baik itu bagi individu maupun bagi kelompoknya. Diharapkan dengan adanya norma tersebut, kehidupan bisa berjalan dengan baik, tentunya kemaslahatan, kedaulatan, kedamaian dan keadilan bisa diperoleh dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya di Indonesia kita tercinta.


Read more...

ISLAM DAN NEGARA
(Upaya Dan Strategi Menerapkan Nilai-Nilai Islam Dalam Ranah Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia)


A. Pendahuluan
Ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an, menurut Abdul Mun’im sebagaimana yang dikutip Abdul Aziz, mengajarkan dua intisari besar yang saling berkaitan dan berjalin kelindan, yaitu akidah dan syariah. Tiada aqidah tanpa syari’ah, begitu juga sebaliknya, tiada syariah tanpa aqidah. Aqidah menghubungkan eksistensi manusia dengan Allah. Eksistensi aqidah tidak berubah atau terlepas. Sementara eksistensi syari’ah terefleksi pada dua dimensi, yakni dimensi transendental dan dimensi sosial. Dimensi pertama biasa disebut dengan ibadah, sedangkan dimensi sosial biasa disebut dengan muamalah yang mewujutkan pada pola hubungan antara sesama manusia. Dalam artian, aqidah tersebut bersifat konstan, yaitu tidak akan berubah sedikitpun walaupun berbeda waktu dan tempat, sedangkan syariah akan mengalami perubahan sesuai dengan kontek dan kebutuhan masyarakat (Muamalah).





Namun, pada perkembangannya, banyak anggapan, khususnya anggapan para orientalis yang ingin menghancurkan dan mencari kesalahan-kesalahan Islam mengatakan, bahwa Islam adalah penghambat bagi kemajuan dan pembangunan bangsa. Anggapan ini didasari, bahwa Islam hanya mengajarkan masalah ritual dan aqidah belaka, tanpa melihat substansi dari ajaran Islam itu sendiri. Karena, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, selain mengajarkan masalah ritual, Islam juga mengajarkan masalah muamalah. Selain itu, Islam juga diyakini bagi para pengikutnya menjadi agama yang “way of life” (pandangan hidup), yang mengatur semua aspek kehidupan, baik itu aspek sosial, ekonomi, pendidikan, politik, demokrasi maupun aspek hak asasi manusia (HAM).

B. Demokrasi
Demokrasi berasal dari kata demos, artinya rakyat dan kratein yang berarti pemerintah. Awalnya terdapat dalam praktik negara kota (polis) di kota Athena, Yunani pada tahun 450 SM. Demokrasi dapat diartikan pemerintah rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maksudnya, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, yang juga sering disebut dengan kedaulatan rakyat. Rakyat mempunyai kekuasaan penuh dalam menentukan arah kebijakan politik suatu negara melalui peran sertanya menentukan pemimpin atau pemimpin rakyat melalui Pemilu.
Pericles mengemukakan kriteria demokrasi yang terdiri dari: Pertama, Pemerintah oleh rakyat dengan partisipasi rakyat penuh dan langsung. Kedua, Kesamaan warga negara di depan hukum. Ketiga, Penghargaan terhadap pribadi unutk mengekspresikan kepribadian individu. Sedangkan, demokratisasi ialah, suatu upaya yang dilakukan untuk mengimplementasikan nilai-nilai, prinsip dan kaidah demokrasi dalam kehidupan politik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam berbagai aspek kehidupan, suatu perubahan dari keadaan negara yang non-demokrasi menuju negra yang demokrasi.
Sedangkan menurut J. Sulaymaen kriteria demokrasi: Pertama, kebebasan berbicara setiap warga negara. Kedua, pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti. Ketiga, kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas. Keempat, peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat. Kelima, pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Keenam, supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum). Ketujuh, semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.
Tidak bisa dipungkiri, sistem demokrasi, khususnya di Indonesia, sudah menjadi suatu kepercayaan dan sistem yang harus dijalankan. Dunia internasional pun sudah memberikan kesimpulan, bahwa sebuah negara beradab wajib menjalankan sistem demokrasi. Tetapi yang menjadi pertanyaannya kemudian: Apakah sistem demokrasi sesuai dengan ajaran Islam?.
Jawaban atas pertanyaan tersebut tentunya akan berbeda-beda dan bermacam-macam, tergantung siapa dan bagaimana mereka memahaminya., seperti yang terjadi pada golongan tektualis, golongan kontektualis maupun golongan liberal (memisahkan antara agama dan negara). Pertama, golongan ini menganggab, demokrasi adalah produk sekuler yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Kedua, menganggab, bahwa demokrasi dengan syura memang berbeda, tetapi secara substansi adalah sama. Prinsip-prinsip yang ada dalam demokrasi tersebut sejalan dengan prinsipi-prinsip syura, yang diperlukan kemudian ialah penyempurnaan dengan cara melihat kondisi-kondisi yang sedang berkembang dalam sebuah negara, yang tentunya tidak keluar dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam tek al-Qur’an dan al-Hadits dan normatifitas Islam, sebagaimana yang sering dilakukan Nabi dan Khalifah ar-Rasidun.
Ketiga, berbeda dengan dua golongan diatas. Islam sama sekali tidak mengajarkan tentang demokrasi. Dalam artian, demokrasi sangat penting diimplementasikan pada abad modern sekarang, namun harus sesuai dengan demokrasi yang telah dijalankan oleh kalangan Barat. Anggapan golongan ini dipicu oleh kelamnya historisitas hubungan Islam dan Barat pada masa dulu. Dan tidak menutup kemungkinan juga, dikarenakan historis demokrasi berasal dari Barat di Athena Yunani.
Dari pendapat ketiga golongan di atas, tidak salah kiranya penulis lebih memilih golongan yang kedua. Tetapi, bukan berarti anggapan yang pertama dan ketiga salah, namun, sebagaimana yang dikatakan Bahtiar Effendy adalah suatu anggapan yang tidak dibentuk dan dipengaruhi oleh nilai-nilai oleh doktrinal Islam. Sebab, bagi seorang pengamat dari Barat sekalipun seperti Samuel Huntington, ajaran Islam dinilai memiliki prinsip-prinsip demokratis yang tegas. Begitu juga dengan Ernest Gellner, dikatakan bahwa bentuk budaya tinggi Islam disertai dengan prinsip-prinsip unitarianisme, etika memerintah, individualisme, skripturalisme, peritanisme, egalitarisme dan voluntarisme. Ini semua merupakan nilai-nilai yang tidak hanya sesuai dengan demokrasi, tetapi juga dengan kehidupan sosial-ekonomi dan politik yang modern.
Berangkat dari itu semua, diakui atau tidak, pada masa modern sekarang, sistem demokrasi telah menjadi acuan umum untuk menilai berhasil tidaknya suatu bangsa. Semakin besar keberhasilan negara dalam menjalankan sistem demokrasi, semakin maju juga kehidupan dan pembangunan bangsa. Sistem seperti ini, selain telah diterapkan di Indonesia yang penduduknya mayoritas Islam, juga telah diterapkan dan diterima bagi kalangan Timur Tengah seperti Saudi Arabia dan Mesir yang menganggab sistem demokrasi adalah suatu sistem yang paling baik untuk mengatur kehidupan masyarakat dan juga menjadi sarana untuk memajukan bangsa terhadap di dalam persaingan modern sekarang.

C. Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM), secara historis berasal dari gagasan hak-hak alami (natural rights) dan hak-hak alami ini sering dihubungkan dengan konsep hukum alam (natural law), sebagaimana dikemukakan John Locke (1632-1705). Namun bentuknya seperti sekarang, HAM bermula dari Declaration of Indepedensi Amerika Serikat pada tahun 1776 dan Declaration des Droits de L’Homme et du Cioyen (Deklarasi hak-hak Manusia dan Warga Negara) Prancis pada tahun 1789. HAM yang pada dasarnya bersifat moral dan bukan politis ini menjamin hal penting sekali setelah Perang Dunia II dengan lahirnya Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948.
Dalam persepektif ajaran Islam, wacana demokrasi yang dijalankan selama ini, sebenarnya juga telah mendorong adanya wacana hak asasi manusia (HAM). Ini terbukti, karena wacana HAM telah mempunyai tempat tersendiri dan tempat yang sangat spesial. Berbagai macam pemikiran tentang demokrasi dapat dengan mudah kita temukan di dalam penerapannya konsep tentang penegakan HAM. Seperti, kesetaraan, keadilan, kebersamaan, kebebasan toleransi dan lain sebaginya.
Pada tanggal 05 Agustus 1990, negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kairo, pernah mengadakan satu pertemuan membahas masalah HAM, yang kemudian dikenal dengan Cairo Declaration of human Right in Islam. Dalam pertemuan itu, disebutkan bahwa, hak dan kebebasan harus tunduk kepada syari’ah Islam. Tetapi, pendapat ini ditentang oleh David Littman sebagaimana dikutip Marzuki Wahid bahwa, ajaran Islam berpeluang untuk menimbulkan konflik atau kontradiksi dengan tuntutan Hak Asasi Manusia yang dipahami dunia Internasional, apabila dipahami sesuai dengan arti harfiyahnya atau dipahami sebagaimana ulama klasik, tektualis atau fundamentalis memahaminya.
Pendapat ini benar adanya, karena selama ini banyak sekali kita temukan, khususnya di Indonesia bukti-bukti pelanggaran HAM. Misalnya, yang terjadi dalam kasus Ustadz Yusman Roy, yang melaksanakan shalat dengan dua bahasa ( bahasa Arab dan Indonesia ) di Malang dan kasus Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Mereka dihukumi dan dihakimi sesat, oleh sebab itu, mereka tidak boleh berkembang di Indonesia. Bukan itu saja, kaum Ahmadiyah berakhir dengan babak belur, kehilangan rumah, harta benda malah ada yang sampai meninggal dunia. Sementara itu, bagi ustadz Yusman Roy dipidanakan dan dipenjarakan. Tentunya, dua kasus ini adalah gambaran besar bagi kalangan fundamental yang ingin memformalkan syari’ah Islam ke dalam tubuh negara yang banyak menyimpan keberagamaan ini, baik itu keberagaman agama, keyakinan, suku, ras maupun golongan.
Berikut ini, beberapa contoh yang menjadi sorotan para aktivis HAM Internasional. Pada September 1993, seorang hakim Islam di Taheran mendapati dua Muslim bersaudara terbukti bersalah menculik seorang pria dan membakar pria lainnya, tapi malah hakim itu menolak untuk memenjarakan mereka berdua atau menolak memerintahkan mereka agar membayar uang diyat kepada korban. Alasannya sepele, karena korban yang diculik dan dibakar adalah orang kafir. Sedangkan dalam pemahaman hakim, harga orang kafir itu tidak sama dengan harga orang Islam (Muslim).
Pada tahun 2001 di Irak, ada 45 orang perempuan yang mencalonkan diri dalam pemilihan presiden, tetapi tidak seorangpun dari perempuan tersebut yang memperoleh izin. Di Mesir, penerapan syariah Islam juga memunculkan ploblem HAM, khususnya berkaitan dengan kebebasan berpendapat dan berekreasi. Seperti kasus seorang sastrawan perempuan dan juga pejuang hak-hak perempuan yang bernama Nawal el-Sadawi. Dia terpaksa berhadapan dengan pengadilan yang menceraikannya dengan suaminya, karena pandangan-pandangannya yang revolusioner dinilai telah keluar dari Islam (murtad) . Sedangkan dalam pemahama ulama klasik, perempuan yang murtad harus di ceraikan dengan suaminya.
Begitu juga yang terjadi di Taliban, Afganistan. Disana, para pegawai Taliban terus menerus memburu perempuan dijalan-jalan Tabul, baik karena melanggar kode etik berbusana atau keluar rumah tanpa didampingi keluarga dekat. Perempuan-perempuan gadis tidak diperbolehkan mendatangi sekolah, termasuk Sekolah Dasar, sedangkan di luar Tabul diperbolehkan. Perempuan juga dibatasi untuk bekerja, perempuan hanya diperbolehkan kerja apabila menjadi tenaga perawat saja. Yang lebih parahnya lagi, pada tahun 2001, pemerintah Taliban mengeluarkan keputusan baru yang ditujukan kepada non-Islam, bahwa mereka dilarang membangun tempat ibadah, tetapi membolehkan mereka beribadah di tempat-tempat yang telah ada, melarang non-Islam membuat tanda pada rumahnya dengan tanda kuning, melarang non-Islam tinggal di kompleks orang Islam dan menuntut perempuan non-Islam memakai pakaian kuning dengan tanda tertentu sehingga orang bisa mengambil jarak.
Sungguh tidak bisa dibayangkan, jika Islam yang dipahami golongan fundamental ini diterapkan di Indonesia, apalagi jika golongan ini telah memegang kekuasaan atas golongan-golongan lainnya. Bisa dipastikan, kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, kebebasan berijtihat, kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat dan kebebasan berekspresi akan semakin sempit, kemungkinan juga akan berakhir di negara kita ini. Selain itu, pemahaman Islam dalam perspektif fundamental, juga akan berakibat dan berpotensi memperlakukan warganya secara diskriminatif, baik itu diskriminasi atas perbedaan agama maupun perbedaan gender.
Oleh sebab itu, pada masa sekarang ini, pemahaman Islam tersebut haruslah diperbaharui. Penulis tidak mengatakan bahwa pemahaman golongan fundamentalis itu salah, lagi-lagi itu adalah hak mereka untuk memahami Islam. Tetapi, yang perlu digaris bawahi disini, Indonesia adalah negara yang prulalis, yang memiliki bermacam-macam perbedaan. Berangkat dari itu semua, alangkah lebih baiknya, pemahaman Islam itu sendiri harus bisa keluar dari keekstriman dan eksklusifnya. Tidak bisa dipungkiri, semua manusia memiliki hak masing-masing, tetapi di dalam hak tersebut juga harus melihat hak orang lain yang ada disekelilingnya. Manusia boleh-boleh saja berbeda-beda untuk mencapai dan memperoleh haknya, dengan cara melihat segi perbedaan tersebut tanpa keluar dari keinginan mereka. Di dalam perbedaan tersebut harus memiliki sarana untuk menyatukannya, yang di dalam tulisan ini, penulis maksudkan adalah sarana untuk memahami Islam secara lebih konprehensif dan universal sesuai dengan kontektual dan kebutuhan para pemeluknya dan orang-orang yang berbeda dengannya.
Karena bagaimanapun, Indonesia saat ini telah masuk dalam suatu sistem yang sangat demokratis, yang sangat menghargai perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat, baik itu suku, ras, warna kulit, adat-istiadat maupun agama sendiri. Terbukti, di Indonesia, ada berbagai agama, baik itu Islam, Hindu, Budha maupun Teonghoa. Oleh karena itu, HAM yang ada di dalam pemeluk agama Islam, tidak boleh keluar atau menyeleweng dari HAM para pemeluk agama lain, begitu juga perbedaan lainnya. Niscaya, jika ini di berjalan di Indonesia, kehidupan demokrasi akan berjalan dengan baik dan efektif tanpa harus melanggar Hak Asasi Manusia lainnya. Bukankah Allah juga pernah berfirman:
“ Hai manusia, kami ciptakan engkau laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan engkau bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, yang tujuannya tiada lain ialah untuk saling mengenal dan saling mengasihi. Dan bahwa sesungguhnya, orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa”
Di dalam ayat ini sudah sangat jelas, Allah menciptakan manusia berbeda-beda bukan untuk membuat manusia berpecah belah, melainkan supaya manusia saling menghargai, menyayangi dan mencintai.. Yang menjadi ketakutan kita, jika pemahaman Islam seperti yang telah di pahami golongan fundamentalis ini diterapkan di Indonesia, maka, akan sangat kecil kemungkinan kebebasan, keadilan, ketentraman bagi orang-orang yang berbeda pandangan dari golongan tersebut, khususnya dalam ranah demokrasi dan HAM, untuk menerimanya dan mengaplikasikan substansinya di dalam kehidupan di Indonesia.

C. Strategi Menerapkan Nilai-Nilai Islam
Islam secara substansi ialah agama yang universal, “rahmatan lil ‘alamin” bukan “rahmatan lil muslimin”. Dalam artian, dalam menerapkan hukum, Islam tidak boleh pandang bulu. Bisa dipastikan, jika nilai-nilai Islam seperti ini diterapkan, niscaya bukan hanya kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi persatuan dan kesatuan Indonesia, hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan serta keadilan bagi seluruh Indonesia juga harus diterapkan, sebagaimana yang telah di amanatkan oleh pancasila. Oleh sebab itu, dalam menerapkan nilai-nilai tersebut, Islam harus memiliki strategi-strategi yang baik. Diantara strategi tersebut ialah:
1). Strategi Struktural
Strategi diambil dari bahasa Yunani, statos, artinya, tentara agar memimpin, strategos artinya kiat atau cara memimpin tentara. Selanjutnya strategi dapat diartikan sebagai kiat untuk mencapai suatu tujuan. Bisa juga diartikan sebagai muslihat untuk mencapai sesuatu. Sedangkan struktural artinya, susunan atau bangunan kelembanggaan ( lembaga dan organisasi ). Dalam tulisan ini penulis maksudkan ialah suatu cara yang harus dilakukan oleh seorang muslim untuk menerapkan nilai-nilai ajaran Islam dalam ranah lembaga kepemerintahan Indonesia.
Untuk mencapai strategi tersebut, tentu harus memiliki sarana, salah satunya dengan cara “berpolitik”. Politik pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani Polisteia, Polis adalah kota/negara kota yaitu kesatuan masyarakat yang mengurus dirinya sendiri dan teis artinya urusan. Artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan yang menyangkut kepentingan dari kelompok masyarakat atau negara.
Beberapa pandangan tentang politik: Pertama, upaya yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujutkan kehidupan bersama. Kedua, segala hal yang berkaitan dengan negara dan pemerintah. Ketiga, segala kegiatan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Keempat, segala kegiatan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan pubrik atau masyarakat umum. Kelima, suatu konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan dari sumber-sumber yang penting. Keenam, kegiatan yang berkaitan dengan masalah siapa, mendapat apa, kapan, dan bagaimana.
Berbicara masalah politik, tentu tidak lepas dari pro dan kontra tentang pemahaman beberapa golongan, khususnya dua golongan yang telah jelaskan di atas. Tetapi, penulis rasa, perbedaan pemahaman tersebut tidak perlu penulis jelaskan lagi. Bukan berarti perbedaan pemahaman itu tidak penting, melainkan pada pembahasan sekarang ini, penulis berinisiatif untuk lebih terfokus pada suatu strategi yang harus dilakukan oleh orang Islam dalam ranah perpolitikan. Penulis rasa pada pembahasan ini penulis harus bersifat realistik. Karena dalam realita sekarang, strategi seperti inilah yang paling diperlukan, walaupun pada perkembangannya, strategi politik ini sering dikotori oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan masyarakat banyak.
Kata kunci dari tujuan strategi ini ialah mengubah struktur politik, baik itu ekskutif maupun legislatif. Misalnya, selama ini banyak kita temukan keganjilan-keganjilan, ketidakadilan, KKN, kebijakan yang menyengsarakan masyarakat, baik itu kebijakan politik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya, harus dirubah secepat mungkin. Cara yang paling efektif adalah dengan cara duduk dan berusaha mempengaruhi struktur politik yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, yang kemuadian dinamai dengan “politik Islam”. Karena bisa dipastikan, tanpa strategi ini, semua permasalahan yang melanda masyarakat tidak akan pernah berakhir.
Tepat setelah runtuhnya era Orde Baru, pada tanggal 21 Mei 1998 atau biasa disebut dengan era Reformasi, kebebasan masyarakat, khususnya masyarakat Islam, untuk ikut dalam ranah perpolitikan semakin menunjukkan perkembangannya. Ini terbukti, pada pemilu pertama tahun 1999, dari 48 partai politik yang ikut dalam pemilu ada 19 partai Islam. Tahun 2004 ada 7 partai sedangkan pada tahun 2009 ada 8 partai Islam termasuk PAN dan PKB.
Walaupun tidak pernah lepas dari pro dan kontra, partai Islam sangat penting dibutuhkan dalam ranah perpolitikan di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, dengan adanya sarana seperti ini, umat Islam semakin dipermudah untuk memasukkan wakil-wakilnya, untuk mengontrol, mengawasi dan merubah sistem pemerintah yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Walaupun, pada realitanya, wakil-wakil partai Islam yang duduk di dalam struktur politik (ekskutif dan legislatif) kurang menunjukkan hasil kerja yang memuaskan. Tetapi itu tidak jadi persoalan, karena bagaimanapun strategi seperti ini harus berjalan dan hidup selamanya, tentunya dengan perubahan-perubahan yang akan dilakukan kedepannya, baik itu para tokoh, mekanisme ataupun cara memenejnya.
Kita patut bersukur, pada tahun 2009, atau pada pemilu ketiga setelah reformasi, partai-partai Islam banyak menduduki para wakil-wakilnya dalam dalam kursi legislatif yang akan datang. Sesuai dengan hasil pemilu legislatif yang dikeluarkan KPU pada tanggal 9 Juni 2009 yang lalu partai Islam memperoleh 23, 57 persen suara. PKS memperoleh 8.206.955 suara (7,88 %), PAN 6.254.580 (6,0 %), PKB 5.146.122 (4,94 %), PBB 1.864.752 (1,79 %), PBR 1.264.333 (1,21 %), PKNU 1.327.593 (1,43 %), PMB 414.750 (0,40 %) sedangkan PPP memperoleh 5.533.214 suara (5,32 %).
Berangkat dari hasil banyak suara legislatif tersebut, kita semua berharap akan ada suatu terobosan baru untuk merubah sistem dan mengontrol semua kebijakan-kebijakan pemerintah, baik itu kebijakan ekonomi, politik, pendidikan maupun kebijakan hukum yang merugikan masyarakat. Oleh sebab itu, untuk mendukung strategi itu supaya lebih baik dan efektif, dibutuhkan lagi suatu strategi lain, yang tentunya strategi ini, juga bertujuan untuk mengawasi, mengontrol dan mempengaruhi masyarakat dengan nilai-nilai Islamnya. Strategi ini, penulis namakan dengan strategi Kultural.

2). Strategi Kultural
Strategi kultural ialah suatu strategi yang dilakukan oleh orang Islam dengan cara memberikan penyadaran bagi masyarakat dan berusaha untuk mempengaruhi cara berpikir mereka atas nilai-nilai Islam. Perbedaan yang paling mendasar dari dua strategi ini ialah, strategi struktural mempengaruhi cara struktur politik dalam pemerintahan, sedangkan strategi kultural, yang akan dipengaruhi tersebut ialah perilaku sosial (pola pikir) masyarakat.
Kata kunci dalam strategi kultural, sebagaimana yang dijelaskan Dr. H. Kuntowijoyo, M. A, ialah agama sebagai moral porce atau inspirational ( moral dan etika). Berbicara masalah moral, tentu ini tidak akan terlepas dari tingkah laku manusia. Bencana yang datang bertubi-tubi sekarang ini, menurut para ulama, politisi, intelektual maupun aktifis, seperti musibah banjir, tsunami, gempa, lumpur Lapindo, kekeringan, atau baru-baru ini seperti musibah situ gintung, adalah disebabkan karena banyak tindakan-tindakan manusia yang sudah tidak bermoral dan beretika. Persepsi ini ada benarnya, karena terbukti, sekarang ini tingkah laku manusia, seperti pencurian, kekerasan, pencabulan, pemerkosaan, pembunuhan, mabuk-mabukkan, pelacuran, korupsi, kolusi, nepotisme, pornografi, pornoaksi dan lain sebagainya telah mewabah dan sulit dipisahkan dalam pranata sosial masyarakat.
Oleh sebab itu, disinilah letak pentingnya strategi kultural, yaitu dengan cara memberikan penyadaran bagi mereka melalui sarana dakwah, yang dipercaya menjadi salah satu aktivitas keagamaan yang sangat efektif, strategis, sentral dalam menentukan sikap mental dan tingkah laku manusia. Selain itu, dakwah di dalam ajaran al-Qur’an dan al-hadits adalah suatu kewajiban yang diberikan kepada setiap manusia yang mempercayai bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah RosulNya. Sebagaimana yang telah difirmankan dalam al-Qur’an: Maka berikanlah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah yang berkuasa atas mereka, tetapi orang yang berpaling dari kafir, maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar.
Dakwah menurut Imam al-Ghazali dalam kitab “Ihya Ulumuddin” memiliki empat metode. Pertama, memberikan penerangan kepada orang yang hendak dirubah perbuatannya, sebab ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu kemungkaran itu bodoh dan tidak mengetahui, niscaya dengan adanya nasehat atau pemberitahuan ia akan meninggalkannya. Kedua, melarang orang yang berbuat kemungkaran itu dengan cara menakut-nakuti akan azab Allah. Ketiga, melarang dengan tegas, namun harus tetap bersikap sopan. Keempat, melarang kemungkaran dengan menggunakan kekuasaan.
Menurut Tarmizi Taher, dakwah bisa dilaksanakan melalui tiga metode. Pertama, bil al-lisan: Tujuan dakwah ini secara psikologis adalah perubahan dan penyempurnaan kualitas sikap mental dan ruhani manusia, baik dalam ukuran dunia maupun akhirat. Kedua, bil al-Qalam: Tujuannya sebagai alat komunikasi ide yang produknya berupa ilmu pengetahuan dan sebagai alat komunikasi ekspresi yang produknya berupa karya jurnalistik. Ketiga, bil al-Hal: metode ini digunakan melalui cara keteladanan seorang da’i. Artinya, dakwah bukan hanya sekedar mengajak, menyeru, memanggil namun juga dilakukan dalam bentuk nyata.
Pada fenomena sekarang, strategi kultural ini sudah mengalami perkembangan yang sangat baik. Terbukti, sarana dakwah yang dijalankan bukan hanya melalui perorangan semata, tetapi juga melalui lembaga-lembaga, seperti MUI dan lembaga dakwah lainnya.
bersambung..







Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP