Senin, 19 Juli 2010

Memberantas korupsi melalui pendidikan budi pekerti


Memberantas Budaya Korupsi Melalui Pendidikan Budi Pekerti
Terbit Bangkapos (Rubrik Campus Taks)Edisi Jum'at, 23 Juli 2010
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang agamis, terbukti dengan banyaknya anggota masyarakat yang memeluk agama tertentu sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Bangsa Indonesia juga merupakan Bangsa yang religius, dengan banyaknya anggota masyarakat yang melaksanakan ritual-ritual agama untuk mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya. Namun jika hal ini dikaitkan dengan kemuliaan tingkah laku, akhlak dan pergaulan sehari-hari, nilai-nilai religius dan agama tersebut perlu dipertimbangkan atau didiskusikan lagi.
Lihat saja kasus-kasus yang terjadi dewasa ini. Seperti kasus pencurian, pemerkosaan, pergaulan bebas, minum-minuman keras, peracuran dan narkoba adalah suatu fenomena pasti yang terjadi. Diperparah lagi dengan kasus korupsi, kolusi dan nevotisme (KKN). Hal ini bukan hanya terjadi di kalangan kelas tinggi, di kalangan kelas bawahpun (grass root) adalah hal yang tidak bisa dihindari. Ironisnya, korupsi di Indonesia tidak saja terjadi di lembaga-lembaga umum, melainkan juga terjadi di lembaga-lembaga Moral seperti lembaga Agama ataupun lembaga pendidikan. Terbukti, dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)-RI tahun 2002-sekarang menyatakan korupsi terbesar di negara tercinta ini adalah terjadi di Departemen Agama (Kementerian Agama), disusul Departemen Pendidikan, yang di dalam lembaga tersebut penuh dengan orang-orang yang berpendidikan tinggi yang sejatinya harus memberikan ketaudalanan bagi masyarakat Indonesia.

Potret Korupsi di Indonesia
Secara tipologis sebagaimana yang dikatakan Alatas, S.H, korupsi terbagi menjadi tujuh jenis; Korupsi transaktif (transactive corruption), korupsi memeras (exortive corruption), korupsi investif (investive corruption), korupsi defensif (defensive corruption), korupsi perkerabatan (nefotistic corruption), korupsi otogenik (autogenic corrupsion) dan korupsi dukungan (supportive corrupsion). Pertama, korupsi yang dilakukan oleh dua belah pihak untuk mendapatkan keuntungan bersama. Kedua, pihak pemberi dipaksa menyuap untuk mencegah kerugian diri dan kepentingannya. Ketiga, keuntungan jangka panjang. Artinya, keuntungannya tidak langsung melainkan untuk masa depan. Keempat, korupsi dengan cara memeras. Kelima, penunjukan tidak sah kepada teman atau kerabat dalam menduduki jabatan tertentu di pemerintahan. Keenam, memerintahkan kepada seseorang untuk mengambil keputusan yang menguntungkan individu atau kelompok tertentu. Ketujuh, perbuatan untuk melindungi terhadap tindak korupsi yang dilakukan oleh individu atau kelompok.
Dalam hal ini, yang paling menonjol terjadi adalah korupsi yang melibatkan oknum dunia usaha, masyarakat dan pemerintah. Artinya, korupsi bukan hanya terjadi di kalangan masyarakat kelas atas dan menengah melainkan juga terjadi di masyarakat kelas bawah. Kasus yang melibatkan dunia perbankkan (Bank-bank) dengan pengusaha atas jaminan memperoleh keuntungan bersama tidak sesuai dengan kenyataan. Selain itu, penjualan asset Negara yang dilakukan pemerintah untuk kepentingan pribadi atau partai politik, kasus guling tanah, bangunan dan lain sebaginya terus mewabah. Sedangkan dikalangan masyarakat kecil terjadi di dalam kantor-kantor kecil dan sejenisnya. Kasus yang lebih menarik lagi korupsi perkerabatan yang dilakukan pemerintah ketika merekrutmen tenaga kerja, baik swasta maupun PNS, seolah-olah telah merasuki semua sendi dan proses rekrutmen tersebut. Teman, kerabat dan keluarga mereka dimasukkan walaupun secara ilmu dan kemampuan mereka tidak mumpuni. Pertanyaannya, apa penyebab hal ini bisa terjadi?
Pertama, Ekonomi, Hidup di zaman kapitalisme pasti membawa efek negatif yang dalam inflementasinya dijabarkan dalam sikap konsumerisme dan kompetisi. Kompetisi sebenarnya adalah hal yang positif namun kompetisi yang dilakukan tidak memakai jalan yang fair, berusaha untuk memperoleh banyak dan besar namun melalui jalan yang tidak benar dan tercela. Kedua, Mentalitas dan Budaya, Artinya, mental dan budaya bangsa Indonesia sekarang ini adalah materialisti, semua diukur dalam bentuk benda. Hebatnya lagi, budaya korupsi ini dilakukan dengan cara bersama-sama dan keuntungan dibagi sesuai kesepakatan bersama dengan pertimbangan fungsi dan perannya (Shared corruption).
Berangkat dari itu semua, untuk mencegah berkembangnya budaya tersebut perlu kiranya dicarikan solusi, yang salah satunya melalui pendidikan budi pekerti kepada masyarakat, khususnya kepada anak bangsa Indonesia. Baik melalui lembaga pendidikan informal, non-formal lebih-lebih di lembaga pendidikan formal.

Pendidikan Budi Pekerti
Seminggu sudah tepatnya dimulai hari senin, tanggal 12 Juli 2010, sekolah-sekolah SMP dan SMA baik swasta maupun negeri di Indonesia, khususnya di Kep. Bangka Belitung serentak menerima murid baru (MUBA) untuk tahun ajaran 2009-2010. Para orang tua sangat berharap anak-anak mereka nantinya bisa dididik dengan baik di sekolah tersebut. Mereka juga sangat berharap, dengan ini anak-anak mereka ketika besarnya nanti bisa menjadi orang yang sukses, memiliki sikap dan budi pekerti yang baik. Karena secara substansi lembaga pendidikan selain meningkatkan kecerdasan (intellectuality), juga berkewajiban menanamkan budi pekerti (Personality) yang baik pada semua anak didik.
Aspek-aspek budi pekerti, sebagaimana yang terdapat di dalam kitab suci disntaranya; berakhlak mulia (akhlakul karimah), berbuat adil (ta’adul), berbuat kebaikan (ihsan), senang berbagi rezeki (I‘tha), bersikap lemah lembut (linta lahum), dapat dipercaya (amanah), bersyukur (tasyawir), menyambung persahabatan (tushila), memberi maaf (ta’afun), bersikap sabar (sabr), tabah (tawakal), tidak mencuri dan lain sebagainya. Aspek-aspek budi pekerti inilah yang mesti diperaktekkan dan di ajarkan kepada peserta anak didik. Pertanyaannya kemudian, apakah wajib mata kuliah budi pekerti ini dijadikan kurikulum pelajaran terserdiri?
Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengatakan. Budi pekerti wajib diajarkan di dalam lembaga pendidikan namun tidak harus menjadi pelajar tersendiri. Dengan cara pendekatan kultural (cultural approach) dan pendekatan keteladanan (behavioral model approach), yang di diinteqrasikan dengan mata pelajaran yang sudah ditetapkan dalam kurikulum sekolah, baik itu mata pelajaran agama maupun yang lainnya. Selain itu, supaya mendapatkan hasil yang lebih baik, bantuan dari keluarga (informal) dan masyarakat (non-formal), sangat dibutuhkan dalam mendidik anak-anak mereka. Jika ini benar-benar diaplikasikan, niat baik dalam mencegah berkembangnya budaya dan mental korupsi anak-anak penerus bangsa dimasa yang akan datang bisa dioptimalisasikan.

Penulis adalah Pemuda Asli Desa Cengkong Abang Bangka, yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Bangka (ISBA)-Yogyakarta 2010-2011.

Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP