Sabtu, 16 Oktober 2010

Quo Vadis Taman Kanak-kanak (TK) di Babel?

Quo Vadis Taman Kanak-kanak (TK) di Babel?

Oleh: Riduan al-Bangkawi,
Ketua Umum ISBA Yogyakarta 2010-2011 (Putra Asli Cengkong Abang Mendo Barat).
Terbit Radarbangka edisi 12 Oktober 2010

“Masa anak-anak usia dini adalah masa yang sangat aktif bagi perkembangan otak dan membantu terjadinya transisi yang mulus ke pendidikan Sekolah Dasar, memberikan kemungkinan yang lebih baik untuk menyelesaikan pendidikan dasar dan memberikan jalan keluar dari jerat kemiskinan di kemudian hari.” (UNESCO 2007)

SEMUA manusia sudah pasti mengetahui bahwa potensi otak manusia itu luar biasa. Jika potensi keluarbiasaan itu tidak diasah, dirangsang, dan diproses secara benar dan baik, niscaya sulit untuk diaktualisasi. Oleh sebab itu, berdasarkan penelitian sejumlah ahli, untuk mengaktualisasi dan mengaktivasi potensi otak tersebut seyogianya sudah harus dimulai sejak usia dini. Dalam versi lain, khususnya menurut dunia kedokteran, perkembangan otak telah dimulai sejak dalam kandungan. Otak manusia yang dipercaya memiliki keluarbiasaan tersebut tidak akan dengan sendirinya berubah atau menjadikan manusia hebat luar biasa.



Indra Djati Sidi, Ph.D (2001) menyebutkan bahwa kehebatan luar biasa manusia itu hanya berbentuk sebatas bahan dan potensi “your brain is like a sleeping giant”. Karenanya, otak yang bagaikan raksasa tidur itu harus dibangunkan dan diberikan pupuk yang cukup agar bisa tumbuh dengan baik. Bayangkan pertumbuhan otak pada anak usia 4 tahun baru mencapai 50 persen, sementara ketika berusia 8 tahun mencapai 80 persen. Pertumbuhan ini terjadi jika upaya mengaktivasi potensi otak berjalan dengan baik.
Beberapa pakar pendidikan mengungkapkan, sejatinya sebelum anak-anak masuk Sekolah Dasar (usia kisaran 6-7 tahun) harus masuk Taman Kanak-kanak (TK) terlebih dahulu, dengan cara bermain sambil belajar. Sejumlah survey memastikan, anak-anak yang mengikuti TK sebelum masuk SD, prestasi akademik dan kepintarannya lebih baik dari anak yang tidak pernah mengenyam jenjang TK.

Realitas TK di Babel
Taman Kanak-kanak (TK) merupakan sarana belajar sambil bermain bagi anak-anak usia dini serta memiliki urgensi bagi kecerdasan dan prestasi anak di kemudian hari. Dari riset yang penulis lakukan di Bangka beberapa waktu yang yang lalu, penulis menemukan sejumlah fakta menarik. Pertama, konsep dan metode serta sistem pembelajaran TK yang diterapkan di banyak TK tampak kurang tepat dan kurang sensitif terutama terhadap kondisi psikologis anak didik, dan kondisi ini telah berlangsung sekian lama. Contohnya, dalam model pembelajaran anak didik langsung diajarkan bahkan “dicekoki” materi membaca dan berhitung yang membebani.
Padahal substansi TK adalah bermain. Karenanya semua aktivitas yang mesti dilakukan adalah melalui media bermain dengan cara mengimplementasikan pengelolaan emosional, seni, gerak, dan olahraga. Pada gilirannya, aspek kognitif, afektif dan psikomotorik anak didik tidak terakomodasi dengan baik bahkan kadang terabaikan.
Kedua, masih banyaknya anak-anak usia dini yang tidak bisa mengikuti TK di pedesaan, khususnya di pelosok-pelosok desa. Fakta ini sangat penulis sayangkan karena ternyata akses masyarakat desa pada TK terhambat bukan dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi atau keengganan orang tua menyekolahkan anaknya ke TK, tapi lebih diakibatkan belum tersedianya infrastruktur TK di desa-desa atau pelosok desa yang “terpencil”.

Solusi strategis
Berangkat dari sejumlah fakta yang penulis sampaikan di atas, bagaimanapun TK di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mutlak diperlukan dan mesti dikembangkan serta dikelola ke arah yang lebih baik demi kecerdasan anak-anak usia dini dan kualitas generasi penerus di Bumi Serumpun Sebalai pada masa yang akan datang.
Ke arah itu, TK harus “dibangun” paling tidak berdasarkan tiga konsep berikut. Pertama, TK mesti dibangun di atas landasan pikir dan paradigma yang sesuai dengan substansi pendidikan anak usia dini (PAUD). Tidak bisa tidak, para pendidik termasuk orang tua harus memiliki paradigma yang mengandaikan bahwa usia dini merupakan usia emas bagi penanaman nilai dan karakter.
Di sinilah kemudian keteladanan (role model) dari orang tua dan guru (baca: para pendidik) menemukan signifikansinya. Karena anak belajar melalui proses “imitation” atau peniruan dan “modeling” atau pemodelan. Bentuk atau model pembelajaran yang mengabaikan pendidikan nilai dan karakter akan melahirkan dan membentuk anak-anak yang egois, berakhlak buruk dan antisosial.
Kedua, secara psikologis usia dini merupakan usia bermain, di mana suasana gembira (happy and fun) menjadi sekaligus memberi kesenangan bagi anak didik dalam menangkap dan mencerna segala hal yang dilihat, didengar dan dirasakan. Model pengajaran yang mencekoki anak didik dengan materi pelajaran di saat mereka seharusnya bermain hanya akan membuat anak didik mengalami trauma. Bahkan durasi yang terlalu panjang atau terlalu lama berada di dalam ruang kelas akan membuat anak didik mengalami kejenuhan traumatik.
Anak usia dini tidak boleh dipaksakan, diperintah dan dibebani dengan sesuatu yang bisa mengakibatkan mereka trauma atau cidera (fisik) yang berakibat pada keengganan dan ketakutan untuk bermain, datang dan kembali ke TK. Anak usia dini semestinya “disentuh” via bahasa kasih sayang, titah yang menentramkan, dan pengasuhan yang mendamaikan.
Ketiga, anak-anak di pedesaan memiliki sumber daya kearifan lokal (local wisdom) yang lebih kaya daripada anak-anak di perkotaan. Solidaritas, soliditas, kebersahajaan, dan rasa hormat terhadap orang tua merupakan nilai dan karakter yang masih kental melekat dari anak-anak desa. Lebih dari itu, secara praktis, desa menyimpan potensi tradisionalitas dalam bentuk kesenian dan praktik kebudayaan berupa permainan, lagu dan nyanyian serta olahraga tradisional.
Potensi tradisionalitas yang dilambari dengan keluhuran nilai dan budi pekerti yang ada di desa sangat besar pengaruhnya bagi peningkatan kecerdasan emosional seseorang. Kecerdasan emosional (emotional quotient) merupakan modal dasar sekaligus modal sosial yang harus terus ditanamkan dan dipupuk serta menjadi prioritas dalam PAUD sehingga nantinya mereka bisa menjadi insan yang kreatif, mandiri, toleran, bisa menolong diri sendiri dan termasuk orang lain serta lebih sabar dalam menghadapi masalah.
Beranjak dari hal tersebut, sesungguhnya potensi untuk mengembangkan PAUD dari dan di desa menjadi pilihan dan kekayaan strategis bagi perumus dan pengambil kebijakan serta elite pendidikan di tingkat atas, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Akhirnya, penulis kembali ingin mengingatkan kita semua bahwa PAUD khususnya TK tidak bisa dianggap sebagai soal enteng dan remeh-temeh dalam rangka pembangunan karakter bangsa. Hal ini seiring sejalan dengan hasil penelitian Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional RI bekerjasama dengan Bank Dunia (World Bank) tahun 2009-2010 yang menyebutkan, masa anak-anak usia dini adalah masa yang sangat perlu diperhatikan bagi perkembangan otak dasar dalam proses pembelajaran di kemudian hari.
Lebih jauh bahkan disebutkan, kehidupan usia dini seorang anak memiliki konsekuensi dasar bagi kehidupan mereka ketika dewasa nanti. Hasil yang buruk dalam pendidikan dan perkembangan masa usia dini akan berbuntut panjang dan memberikan dampak pada prestasi sekolah, kualitas pekerjaan, kriminalitas, dan kecakapan sosial di waktu dewasa. Produktivitas suatu daerah di masa yang akan datang akan terancam jika anak-anak tidak dilindungi dan tidak diberikan kesempatan untuk berkembang dengan sepenuhnya. Mudah-mudahan secuil ide ini bermanfaat bagi semua. Semoga.

Read more...

Rabu, 22 September 2010

Mahasiswa dan Pers; Sebuah Solusi Untuk BABEL
Terbit Radar Bangka Edisi 9 September 2010

Setiap manusia adalah pemimpin karena dalam kehidupan manusia hidup untuk mempengaruhi. Tidak semua orang bisa menjadi pemimpin agung namun semua orang bisa menjadi pemimpin yang lebih baik jika dijalani dengan proses yang baik


Pelayanan aparat (apparatus) pemerintah provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam kepemimpinan Eko Maulana Ali dan Wakil Gubernur Syamsuddin Basari hampir empat tahun ini bisa dikatakan belum mengalami banyak peningkatan, atau bisa dikatakan tidak memuaskan. Ketidakpuasan ini nyata, dari hasil beberapa surve dan diskusi penulis dengan mahasiswa Bangka Belitung di pulau Jawa dan Sumatra, khususnya lagi mahasiswa Bangka Belitung di Yogyakarta. Begitu juga dengan masyarakat, hampir semua masyarakat jika ditanyai tanggapan, 90% menyatakan “tidak puas dan kecewa” dengan pemerintah sekarang. Hal ini diperkuat, ketika penulis berada di Bangka seperti sekarang, hasilnya masyarakat tetap menyatakan hal yang sama. Penelitian ini belum ilmiah memang, namun tidak menuntup kemungkinan akan ada nantinya peneliti yang akan benar-benar fokus menelitinya secara ilmiah. Terlepas dari itu, ketidakpuasan atau kekecewaan ini adalah hal yang wajar, karenanya mesti ditanggapi dan disikapi dengan wajar pula, tidak repsesif apalagi reaktif.



Potret Persoalan Bangka Belitung
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan provinsi yang sangat baik dan potensial suatu anugrah dari Tuhan yang patut disukuri, dipeliharan dan kelola dengan sebaik-baiknya. Secara geografis, letaknya sangat strategis yaitu berada di jalur perdangan Internasional. Secara ekonomi, kekayaan alamnya sangat melimpah dan juga dibutuhkan dipasar Internasional, seperi lada, timah, karet, kelapa sawit, ikan, panorama pantai yang indah dan hasil kekayaan alam lainnya, yang jika dikelola dengan baik, profesional, efisien dan akuntabel, akan membuat provinsi ini maju dan disegani. Tertunya, akan dijauhi oleh virus-virus kemiskinan yang mewabah dalam kehidupan masyarakat. Secara kebhinekaan (keragaman) suku dan ras-nya seperti Melayu, Tionghoa, Jawa, Madura, Padang, Flores, Sunda dan lain sebagainya juga bisa menjadi nilai lebih tersendiri bagi eksistensi provinsi kebanggaan ini.
Dilain pihak, lebih dari delapan tahun lalu berbagai persoalan dan krisis yang melanda provinsi ini seolah-olah sangat sulit untuk dibendung. Berawal dari persoalan kemiskinan, pengangguran, Korupsi Kolusi dan Nevotisme (KKN), kerusakan lingkungan, lemahnya penegakan hukum, rendahnya kualitas/akses pendidikan dan lain sebagainya. Selain itu, Bangka Belitung dinobatkan sebagai provinsi No. 1 Terkorup dan No. 8 termiskin dari 10 provinsi termiskin di Indonesia. Hasil temuan BPK beberapa waktu lalu, bahwa 100 M lebih dana hibah pemerintah tidak jelas laporannya, mahalnya harga sembako/kebutuhan hidup menjelang lebaran. Ditambah lagi dengan ketidak cocokan dan ketidaksepahaman antara pemerintah tingkat I dengan pemerintah tingkat II adalah bukti dan pelengkap dari ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat. Kenapa ini bisa terjadi?
Ada banyak factor yang mendasari persoalan ini. Mengutip pendapat sahabat diskusi penulis Andi Budi Prayetno. Pertama, dikarenakan perilaku dan kinerja aparat yang kurang disiplin dan bekerja seenaknya. Penyalahgunaan jabatan dan fasilitas birokrasi untuk kepentingan pribadi dan kroni malah sudah mengarah kepada abused of power. Maka tak heran bila melihat beberapa kasus kolusi, korupsi dan nepotisme, ataupun monopoli dan manipulasi, melibatkan aparat pemerintah. Kedua, disebabkan karena dalam pemerintahan Eko-Syam masih banyak aparat yang bersikap ‘sok berkuasa’. Kinerja aparat masih saja dekat dengan suap-menyuap, sogok-menyogok, dan pungutan liar. ‘Uang pelicin’ masih menjadi senjata ampuh, bahkan menjadi hal biasa dan membudaya. Ketiga, disebabkan ego alur politik yang berbeda antara dua pihak pemerintah. Sekaligus UU Otonomi daerah memang membuka ruang bagi pemerintah daerah untuk mandiri dan tidak di interpensi pemerintah tingkat I. Tiga macam penyebab ini, bisa mewakili semua persoalan-persoalan di atas.


Mahasiswa dan Pers
Sistem demokrasi selalu menuntut kebebasan bagi masyarakat, baik itu untuk berpendapat, berkarya, bertindak dan bersuara untuk menyuarakan aspirasinya kepada pemerintah dan penguasa. Namun sangat disayangkan, aspirasi masyarakat khususnya masyarakat kecil kadang-kadang hanya dianggab sebagai celotehan semata yang tidak pernah dihiraukan. Namun harus diyakini bahwa ada dua pilar yang bisa meroboh benteng pemerintah seperti itu yaitu mahasiswa dan pers. Sekaligus menjadi agen kontrol sosial (agent social of control) dan agen perubahan sosial (agent social of change).
Pertama, mahasiswa, sebagaimana yang diungkapkan Hariman Siregar “Peranan mahasiswa dari dulu hingga sekarang, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah sama. Yakni sebagai salah satu pemeran ‘social of control dan social of change’ yang paling depan”. Selain itu, mahasiswa dinobatkan sebagai calon pemimpin dan generasi penerus (iron stock) masa depan bangsa. Mahasiswa ditantang untuk mentransformasikan kemampuan dan kelebihannya dalam peranan ini.
Kedua, pers. Dalam hal ini pers dituntut untuk memposisikan diri sebagai media yang terbuka. Artinya, media pers seperti koran, media cetak, televisi, radio dan sejenisnya mempunyai peranan yang sangat besar dan siknifikan dalam mengkritisi kebijakan-kebijkan pemerintah yang merugikan rakyat beserta hasil yang akan dicapai. Media dituntut untuk independen dan oposisi. Media sejatinya harus bersikap bebas dan terbuka tanpa diintervensi apalagi dikooptasi oleh pemerintah, partai politik maupun pengusaha dalam mengkritisi, sekaligus tegas dalam menyatakan dan membuktikan kebobrokan kenerja mereka. Selain itu, melalui media ini, aspirasi dan pendapat masyarakat bisa dipublikasikan tanpa harus turun kelapangan untuk melakukan aksi maupun demontrasi.
Akhirnya, berbagai problem tersebut dan sederet persoalan lainnya yang melanda provinsi ini sudah saatnya diselesaikan dengan tepat, cepat dan bijaksana. Untuk itu semangat kebersamaan amat dibutuhkan disini. Kesatuan antara dua pilar perubahan (mahasiswa dan pers), juga harus terus digali. Karena dengan menyatunya dua pilar tersebut maka mimpi menuju civil socity, tegaknya supremasi hukum, reformasi birokrasi, clean dan good governance bisa nyata. Amin..

Read more...

Senin, 19 Juli 2010

Memberantas korupsi melalui pendidikan budi pekerti


Memberantas Budaya Korupsi Melalui Pendidikan Budi Pekerti
Terbit Bangkapos (Rubrik Campus Taks)Edisi Jum'at, 23 Juli 2010
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang agamis, terbukti dengan banyaknya anggota masyarakat yang memeluk agama tertentu sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Bangsa Indonesia juga merupakan Bangsa yang religius, dengan banyaknya anggota masyarakat yang melaksanakan ritual-ritual agama untuk mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya. Namun jika hal ini dikaitkan dengan kemuliaan tingkah laku, akhlak dan pergaulan sehari-hari, nilai-nilai religius dan agama tersebut perlu dipertimbangkan atau didiskusikan lagi.
Lihat saja kasus-kasus yang terjadi dewasa ini. Seperti kasus pencurian, pemerkosaan, pergaulan bebas, minum-minuman keras, peracuran dan narkoba adalah suatu fenomena pasti yang terjadi. Diperparah lagi dengan kasus korupsi, kolusi dan nevotisme (KKN). Hal ini bukan hanya terjadi di kalangan kelas tinggi, di kalangan kelas bawahpun (grass root) adalah hal yang tidak bisa dihindari. Ironisnya, korupsi di Indonesia tidak saja terjadi di lembaga-lembaga umum, melainkan juga terjadi di lembaga-lembaga Moral seperti lembaga Agama ataupun lembaga pendidikan. Terbukti, dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)-RI tahun 2002-sekarang menyatakan korupsi terbesar di negara tercinta ini adalah terjadi di Departemen Agama (Kementerian Agama), disusul Departemen Pendidikan, yang di dalam lembaga tersebut penuh dengan orang-orang yang berpendidikan tinggi yang sejatinya harus memberikan ketaudalanan bagi masyarakat Indonesia.

Potret Korupsi di Indonesia
Secara tipologis sebagaimana yang dikatakan Alatas, S.H, korupsi terbagi menjadi tujuh jenis; Korupsi transaktif (transactive corruption), korupsi memeras (exortive corruption), korupsi investif (investive corruption), korupsi defensif (defensive corruption), korupsi perkerabatan (nefotistic corruption), korupsi otogenik (autogenic corrupsion) dan korupsi dukungan (supportive corrupsion). Pertama, korupsi yang dilakukan oleh dua belah pihak untuk mendapatkan keuntungan bersama. Kedua, pihak pemberi dipaksa menyuap untuk mencegah kerugian diri dan kepentingannya. Ketiga, keuntungan jangka panjang. Artinya, keuntungannya tidak langsung melainkan untuk masa depan. Keempat, korupsi dengan cara memeras. Kelima, penunjukan tidak sah kepada teman atau kerabat dalam menduduki jabatan tertentu di pemerintahan. Keenam, memerintahkan kepada seseorang untuk mengambil keputusan yang menguntungkan individu atau kelompok tertentu. Ketujuh, perbuatan untuk melindungi terhadap tindak korupsi yang dilakukan oleh individu atau kelompok.
Dalam hal ini, yang paling menonjol terjadi adalah korupsi yang melibatkan oknum dunia usaha, masyarakat dan pemerintah. Artinya, korupsi bukan hanya terjadi di kalangan masyarakat kelas atas dan menengah melainkan juga terjadi di masyarakat kelas bawah. Kasus yang melibatkan dunia perbankkan (Bank-bank) dengan pengusaha atas jaminan memperoleh keuntungan bersama tidak sesuai dengan kenyataan. Selain itu, penjualan asset Negara yang dilakukan pemerintah untuk kepentingan pribadi atau partai politik, kasus guling tanah, bangunan dan lain sebaginya terus mewabah. Sedangkan dikalangan masyarakat kecil terjadi di dalam kantor-kantor kecil dan sejenisnya. Kasus yang lebih menarik lagi korupsi perkerabatan yang dilakukan pemerintah ketika merekrutmen tenaga kerja, baik swasta maupun PNS, seolah-olah telah merasuki semua sendi dan proses rekrutmen tersebut. Teman, kerabat dan keluarga mereka dimasukkan walaupun secara ilmu dan kemampuan mereka tidak mumpuni. Pertanyaannya, apa penyebab hal ini bisa terjadi?
Pertama, Ekonomi, Hidup di zaman kapitalisme pasti membawa efek negatif yang dalam inflementasinya dijabarkan dalam sikap konsumerisme dan kompetisi. Kompetisi sebenarnya adalah hal yang positif namun kompetisi yang dilakukan tidak memakai jalan yang fair, berusaha untuk memperoleh banyak dan besar namun melalui jalan yang tidak benar dan tercela. Kedua, Mentalitas dan Budaya, Artinya, mental dan budaya bangsa Indonesia sekarang ini adalah materialisti, semua diukur dalam bentuk benda. Hebatnya lagi, budaya korupsi ini dilakukan dengan cara bersama-sama dan keuntungan dibagi sesuai kesepakatan bersama dengan pertimbangan fungsi dan perannya (Shared corruption).
Berangkat dari itu semua, untuk mencegah berkembangnya budaya tersebut perlu kiranya dicarikan solusi, yang salah satunya melalui pendidikan budi pekerti kepada masyarakat, khususnya kepada anak bangsa Indonesia. Baik melalui lembaga pendidikan informal, non-formal lebih-lebih di lembaga pendidikan formal.

Pendidikan Budi Pekerti
Seminggu sudah tepatnya dimulai hari senin, tanggal 12 Juli 2010, sekolah-sekolah SMP dan SMA baik swasta maupun negeri di Indonesia, khususnya di Kep. Bangka Belitung serentak menerima murid baru (MUBA) untuk tahun ajaran 2009-2010. Para orang tua sangat berharap anak-anak mereka nantinya bisa dididik dengan baik di sekolah tersebut. Mereka juga sangat berharap, dengan ini anak-anak mereka ketika besarnya nanti bisa menjadi orang yang sukses, memiliki sikap dan budi pekerti yang baik. Karena secara substansi lembaga pendidikan selain meningkatkan kecerdasan (intellectuality), juga berkewajiban menanamkan budi pekerti (Personality) yang baik pada semua anak didik.
Aspek-aspek budi pekerti, sebagaimana yang terdapat di dalam kitab suci disntaranya; berakhlak mulia (akhlakul karimah), berbuat adil (ta’adul), berbuat kebaikan (ihsan), senang berbagi rezeki (I‘tha), bersikap lemah lembut (linta lahum), dapat dipercaya (amanah), bersyukur (tasyawir), menyambung persahabatan (tushila), memberi maaf (ta’afun), bersikap sabar (sabr), tabah (tawakal), tidak mencuri dan lain sebagainya. Aspek-aspek budi pekerti inilah yang mesti diperaktekkan dan di ajarkan kepada peserta anak didik. Pertanyaannya kemudian, apakah wajib mata kuliah budi pekerti ini dijadikan kurikulum pelajaran terserdiri?
Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengatakan. Budi pekerti wajib diajarkan di dalam lembaga pendidikan namun tidak harus menjadi pelajar tersendiri. Dengan cara pendekatan kultural (cultural approach) dan pendekatan keteladanan (behavioral model approach), yang di diinteqrasikan dengan mata pelajaran yang sudah ditetapkan dalam kurikulum sekolah, baik itu mata pelajaran agama maupun yang lainnya. Selain itu, supaya mendapatkan hasil yang lebih baik, bantuan dari keluarga (informal) dan masyarakat (non-formal), sangat dibutuhkan dalam mendidik anak-anak mereka. Jika ini benar-benar diaplikasikan, niat baik dalam mencegah berkembangnya budaya dan mental korupsi anak-anak penerus bangsa dimasa yang akan datang bisa dioptimalisasikan.

Penulis adalah Pemuda Asli Desa Cengkong Abang Bangka, yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Bangka (ISBA)-Yogyakarta 2010-2011.

Read more...

Minggu, 28 Maret 2010



KEKUASAAN

Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely
“Lord Akton”

Pada dasarnya, etika kekuasaan memiliki nilai-nilai luhur yang sangat tinggi dan mulia. Tidak sedikit manusia ingin mendapatkannya. Salah satu jalannya adalah melalui jalur politik. Begitu tingginya nilai luhur kekuasaan, bagi para pemegangnya disyaratkan harus memiliki keperibadian dan akhlak yang baik, dapat dipercaya, cerdas, pintar, jujur, adil dan tidak cacat baik pisik maupun mental (sehat jesmani rohani). Dalam persepektif agama juga dinyatakan bahwa kekuasaan adalah amanah (trust) yang harus dilaksanakan dan dilaknat jika diselewengkan. Dunia politikpun menegaskan kekuasaan adalah public trust. Artinya, kepercayaan rakyat kepada pemegang kekuasaan. Selain itu, mengutip apa yang dikatakan Plato, pemimpin (pemegang kekuasaan) harus dari kalangan Filosof. Beliau berkeyakinan bahwa hanya filosof saja yang bisa melaksanakan kekuasaan secara benar, arif dan adil untuk mencapai kepentingan rakyat. Dalam hal ini, pemegang kekuasaan mestinya harus memiliki kualitas kepribadian yang unggul serta berkomitmen tinggi dalam menjalankannya. Perbuatan-perbuatan yang tidak yang bermoral seperti manifulasi, penipuan, korupsi, politik uang (money politics) harus segera dihilangkan.



Namun pada perkembangannya dewasa ini, politik disalah diartikan. Sejatinya, tidak banyak kebijakan-kebijakan yang bersipat positif dan mulia sebagaimana yang diharapkan, seperti kesejahteraan, keadilan, kesetaraan dan kemakmuran. Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan bukan untuk kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan pribadi. Kekuasaan dijadikan bukan sebagai alat atau insturmen dalam membuat kebijakan melainkan untuk kekuasaan itu sendiri. Dengan kata lain hanya ingin berkuasa bukan untuk mencapai kepedulian, pembebasan dan pemberdayaan rakyat. Padahal dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai politik tempat mereka bernaung dijelaskan bahwa berjuang demi dan untuk rakyat mutlak dibutuhkan, namun dalam realisasinya masyarakat hanya dijadikan legitimasi kekuasaan dan dimarginalisasikan. Pertanyaan mengapa hal itu bisa terjadi, mengutip yang dikatakan Bahtiar Effendi (jalan Tengah Politik Islam: 2005).
Pertama, tidak memaknai bahwa kekuasaan adalah amanah (trust) dan public trus sebagaimana yang telah kita singgung di atas. Dalam hal ini, trust harus dipertanggung jawabkan dengan Tuhan juga dengan manusia (kontrak social). Perjanjian dan kesepakatan antara rakyat dengan pemegang kekuasaan atau sebaliknya harus direalisasikan. Negosiasi perjanjian bersama inilah yang nantinya akan menimbulkan komunikasi politik sekaligus intraksi antara kedua belah pihak. Selain itu, dengan adanya perjanjian bersama ini, rakyat harus berani menuntut atau melakukan perlawanan bagi pemegang kekuasaan jika melakukan kejahatan politik atau menyeleweng dari moralitas, etika politik dan perjanjian yang telah disepakati bersama.
Kedua, godaan kekuasaan bagi para pemegangnya. memang tidak bisa dipungkiri dan manusiawi jika manusia selalu ingin dihargai, di nomor satukan, disegani ataupun dilayani. Dalam persepektif materinya, manuasia ingin hidup kaya dan serba kecukupan dengan mobil mewah, rumah besar dan lain sebaginya . Namun yang perlu digaris bawahi, kekuasaan ini bukan bertujuan untuk mendapatkan semua itu, melainkan sebagai sarana atau instrumen dalam mengambil kebijakan yang menguntungkan rakyat kecil.
Ketiga, kurangnya kepercayaan. Aristoteles mengatakan manusia adalah Zoon Politicon atau De Mens Is Een Social Wesen. Manusia pada dasarnya selalu ingin bergaul, berkumpul dan bermasyarakat. Tentunya kepercayaan adalah kunci dari kemaslahatan yang ingin dicapai. Dalam Aktualisasinya membangun kepercayaan memang bukan perkara yang gampang. Lebih-lebih dalam dunia politik, walaupun bisa membangunnya, namun sulit untuk menjaganya. Oleh karena itu, membangun kepercayaan di dalam dunia politik adalah suatu kewajiban yang tentunya dalam ikatan pada etika dan moralitas politik. Karena bisa dipastikan, jika kepercayaan antara elit politik, baik dalam ranah individu, lembaga, institusi tidak berjalan baik, maka kehidupan bersama, berbangsa dan bernegara akan selalu diselimuti rasa kecurigaan, ketidakpercayaan dan keresahan selalu melanda.
Akhirnya, kekuasaan tersebut secara filosofis harus dipahami sebagai trust dan public trust yang harus di pertanggung jawabkan dan bukan bersifat untuk kepentingan pribadi melainkan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kontrak dan perjanjian social yang telah disepakati. Selain itu, pemegang kekuasaan harus menyadari bahwa mereka diangkat oleh rakyat, bukan semata-mata terbuai dengan janji-janji, melainkan atas keyakinan bahwa aspirasi-aspirasi mereka bisa terwujut. Kedua, pemegang kekuasaan politik mesti menyadari, kekuasaan yang mereka peroleh bukan untuk kesenangan dan kekayaan pribadi, namun sebagai kekuatan atau jalan untuk mengimplimentasikan kepedulian bagi rakyat kecil dalam kebijakan-kebijakan yang merakyat. Ketiga, kepercayaan mutlak dibutuhkan dalam ranah politik. Jika pemegang kekuasaan percaya kepada masyarakat dan masyarakat percaya kepada pemerintah, maka kemaslahatan dan ploblem multidimensi yang melanda bangsa sekarang akan bisa di atasi. Selain itu, rendah hati, kejujuran, keterbukaan, keadilan, kecerdasan, kepedulian, dan cinta kasih yang dalam mesti di miliki bagi para pemegang kekuasaan.

Penulis: Riduan al-Bangkawi: Ketua Umum ISBA-Yogyakarta 2010-2011 dan Kordinator Komisi B SENAT Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Suka.

Read more...

Minggu, 21 Februari 2010



ZAKAT DAN TRANSPORMASI SOSIAL
Oleh: Riduan al-Bangkawi

Pendahuluan

Islam merupakan agama yang rahmatan lil-alamin atau biasa disebut dengan istilah agama yang universal. Realisasi dari dua jargon di atas inilah yang nantinya akan melahirkan tiga macam persepektif normatifitas. Aqidah, Syariah dan Ahlaq. Pertama, Aqidah merupakan normatifitas yang tidak berubah, tetap dan transendental. Kedua, syariah, ini kebalikannya. Artinya syariah akan berubah sesuai dengan kontek dan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Ketiga, aklak yang dimaknai sebagai peri pekerti dalam pergaulan sesama manusia. Berangkat dari itu semua, penulis pada kesempatan ini akan mencoba sedikit mentalaah pada hasil dari produk normatifitas tersebut dan kemudian mengkolaborasikan ketiganya untuk diaplikasikan dalam masyarakat. Produk yang kita maksut adalah ZAKAT.
Zakat merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh orang muslim. Bahkan merupakan salah satu dari rukun Islam selain dari shalat, puasa dan haji, yang di dalam al-Qur’an juga sering disebutkan secara beriringan dengan perintah Shalat. Hal ini bisa dipahami, bahwa zakat adalah kewajiban yang sangat tinggi nilainya di atas kewajiban dan rukun Islam yang lainnya. Mengutip hasil penelitian Sayyid Sabiq bahwa ada 82 ayat tentang zakat yang beriringat dengan shalat di dalam al-Qur’an. Pertanyaan kemudian, kenapa hal itu bisa terjadi?

Pengertian
Secara bahasa (al-Lughah), zakat bermakna suci, mulia, tumbuh, bertambah dan berkah. Ada juga yang mengatakan zakat adalah nama dari suatu hak Allah yang dikeluarkan seorang kepada fakir miskin. Sedangkan menurut terminologi (istilah), sesuatu ukuran tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya dari harta yang telah mencapai nisabnya dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Islam.
Abu Muhammad Ibnu Qutaibah sebagaimana yang dikutip Prof. Hasbi al-Shiddiqi mengatakan zakat diambil dari kata zakah yang berarti nama’ yakni kesuburan dan penambahan. Istilah syara’ memakai kata tersebut mempunyai dua makna. Pertama, dengan zakat diharapkan mendatangkan kesuburan pahala. Kedua, zakat merupakan suatu kenyataan jiwa yang suci dari kikir dan dosa.
Yusuf al-Qardhawi, sebagaimana yang dikutip Fakhruddinn, M. Hi mengatakan, zakat ialah ibadah maliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi dan peranan yang penting, stategis dan menentukan. Dalam artian, zakat yang dikeluarkan itu bukan hanya bersifat materi belaka namun juga bersifat sosial (Ijtima’iyyah).
Sedangkan menurut empat ulama mazhab, zakat ialah. Hanafiyah: kepemilikikan bagian harta tertentu dari harta tertentu untuk orang/pihak tertentu yang telah ditentukan oleh Allah untuk mengharapkan ridhaNya. Malikiyah: mengeluarkan bagian yang khusus dari harta yang telah mencapai nisabnya untuk yang berhak menerimanya, jika milik sempurna dan mencapai haul selain barang tambang dan tanaman. Syafi’iyah: Nama bagi sesuatu yang dikeluarkan dari harta dan badan dengan cara tertentu. Hambaliyah: hak yang wajib dalam harta tertentu untuk kelompok tertentu pada waktu tertentu.



Dalil-Dalil Zakat Di Dalam Nash
Sebagaimana yang telah kita singgung di atas, zakat merupakan salah satu kewajiban atau rukun Islam. Tentu hal tersebut harus merajut kepada al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama dari Islam. Dalam al-Qur’an mengutip pendapat Yusuf Qardhawi sebagaimana juga dikatakan Sayyid Sabbiq terdapat 32 sampai 82 ayat. Namun yang dimaksutkan bukan hanya kata-kata zakat tapi juga mencakup kata-kata infaq (pemberian), al-ma’un (barang-barang kebutuhan) dan ta’am al-miskin (makan bagi orang miskin). Akan tetapi pada kesempatan ini penulis hanya ingin menyinggung ayat-ayat yang di anggap universal saja. Diantara ayat-ayat tersebut ialah:
• At-Taubah ayat 60
a. Tafsirannya
Dalam ayat ini menjelaskan bahwa hanya delapan golongan yang wajib dibagikan zakatnya. Yaitu untuk orang yang fakir, orang yang miskin, orang yang bekerja menyalurkan atau yang membagikan zakat, para mu’allab yang dibujuk hatinya, orang yang memerdekakan budak, orang yang berhutang bukan karena mereka durhaka kepada Allah dan orang yang lagi di dalam perjalanan ketika bekal bawaannya habis. Oleh karena itu, selain golongan yang delapan ini tidak wajib dibagikan zakatnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami golongan-golongan tersebut. Diantaranya, pertama Imam Syafi’i dan pengikutnya dan yang kedua Imam Malik dan pengikutnya. Pertama, makna lam yang terdapat pada lil Fuqara’. Imam Syafi’i mengatakan huruf lam mengartikan kepemilikan. Sehingga delapan golongan yang disebutkan harus mendapatkan bagian yang sama. Ini juga dikuatkan atas kalimat Innama. Innama, dalam kaidah ilmu Nahu berkaidah bimausul yang bermakna keseluruhan dan pengkhususan. Tetapi berbeda dengan ulama yang bermazhab Syafi’i mengatakan di bagikan untuk tiga golongan saja sudah cukup, artinya tidak wajib dibagikan untuk kesemua golongan tersebut.
Berbeda halnya dengan Imam Malik, sebagaimana yang dikatakan Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengatakan, kaliamt lam itu hanya sekedar berfungsi menjelaskan siapa yang berhak menerimanya agar tidak keluar dari kelompok yang disebutkan.Allah menyebutkan golongan-golongan itu hanya untuk menjelaskan kepada siapa zakat mesti disalurkan. Sehingga siapapun di antara mereka yang menerima zakat maka dirasa cukup tanpa harus memberikan kepada semua golongan yang delapan.
Begitu juga dengan ulama seperti Umar, Khuzaifah, Ibnu Abbas, Abul Aliah, Said bin Jubair dan ma’mun bin Muhram. Mereka menyebutkan bahwa yang dimaksut dengan golongan yang delapan hanyalah untuk menentukan siapa yang pantas dan berhak menerima zakat, tetapi tidak berarti harus semua golongan delapan itu dijangkau. Pendapat inilah kemudian yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama besar dunia, khususnya di Indonesia.
Kedua, para fuqaha’ dan mufassir juga berbeda pendapat dalam memahami makna Faqir dan Miskin. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang miskin ialah Orang yang keadaannya lebih parah dan melarat dari orang faqir. Ibnu Jabir mengatakan, orang faqir ialah orang yang tidak memiliki harta, tetapi belum sampai ketingkat pengemis, sedangkan yang disebut dengan miskin ialah orang yang terpaksa meminta-minta untuk kebutuhan hidupnya. Lain halnya dengan Qatadah, orang faqir ialah orang yang cacat dan tidak berharta. Miskin, orang yang masih bertubuh sehat. Begitu juga dengan al-Qurtubi mengatakan faqir adalah orang yang butuh dati kaum muslim. Miskin, orang yang butuh dari ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani). Ada juga ulama yang mengatakan sebagaimana yang dikutip Buya Hamka bahwa orang faqir lebih melarat dari orang miskin.
Dalam al-Qur’an al-Kahfi ayat 79 menceritakan tentang pertemuan antara Nabi Khaidir dengan Nabi Musa. Pada suatu ketika mereka berdua berada di pinggiran pantai (tempat dikumpulnya perahu-perahu nelayan), Nabi Khadir melobangi salah satu perahu tersebut. Nabi Musa heran dan bertanya, kenapa engkau melakukan hal itu, Nabi Khaidir menjawab, perahu itu milik orang miskin yang tidak mau meminta-minta, sedangkan dibalik sana ada raja yang sering merampok perahu-perahu yang bagus untuk kepentingan peribadinya.
Begitu juga dengan hadits Nabi yang berbunyi: Tiadalah orang miskin itu dengan berkeliling untuk meminta-minta terhadap manusia, lalu ditolak akan dia oleh satu suap, dua suap atau satu butir dan dua butir kurma. Lalu orang bertanya: Ialah orang yang tidak mempunyai orang kaya yang membantunya, dan orang tidak mengetahui nasabnya, supaya orang bersedekah dengannya dan diapun tidak pernah meminta-minta dengan orang lain.
Namun yang menjadi catatan bersama, betapapun perbedaan ulama memahami makna faqir dan miskin, secara substansinya sama. Yaitu sama-sama tidak mampu, sama-sama melarat, sengsara, tidak berkecukupan dan sama-sama membutuhkan bantuan dan pertolongan untuk menjalani hidupnya. Kadang orang miskin hidupnya lebih melarat dari orang faqir namun mereka tidak mau meminta-minta kerumah orang lain atau mengemis dijalan-jalan karena mereka merasa malu dan tetap ingin berusaha.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa orang faqir dan miskin wajib diberikan zakatnya. Sebaliknya, bagi orang kaya dan mampu tidak wajib walaupun dengan berbagai macam alasan. Sebagaimana juga dikuatkan dalam hadits Nabi: Tidak dihalalkan pemberian sedaqah bagi orang kaya dan tidak bagi orang yang sehat dan cerdas. Hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nisa dari Abu Hurairah, beliau bersabda: Kalau kamu berdua masih mau, aku berikan kepadamu, namun sebenarnya tidak ada zakat bagi bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang yang masih kuat untuk berusaha.
Ketiga, Perbedaan pada makna al-Amilin’alaiha atau biasa disebut dengan amil zakat. Namun yang pasti mereka adalah orang yang bekerja untuk menyalurkan, membagikan, menentukan siapa yang berhak mendapatkan, mencari mereka maupun membagi dan mengantarkan kepada mereka.
Sedangkan kata alaiha memberikan kesan bahwa para pengelola itu melakukan tugasnya dengan bersungguh-sungguh dan tentunya mengakibatkan keletihan bagi fisik mereka. Kata ala, mengartikan penguasaan dan kemantapan atas sesuatu. Singkat kata, penggabungan dua kalimat ini menyatakan. Pertama, karena upaya mereka yang berat. Kedua, karena upaya tersebut mencakup kepentingan shadaqah.
Pada suatu ketika datang Rabi’ah bin al-Harits dan al-Fadhel bin a-Abbas, keduanya adalah sepupu nabi dan berniat mengajukan diri untuk menjadi amil zakat. Pada waktu itupun nabi bersabda: Sesungguhnya shadaqah itu tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad. Karena shadaqah itu merupakan “kotoran” harta manusia.
Dari hadits ini sudah sangat jelas mengatakan, keluarga nabi tidak diperbolehkan menjadi amil zakat. Namun jika ditarik pada kondisi sekarang, hadits tersebut tidak perlu diperdebatkan lagi khususnya di Indonesia. Prof. Dr. Quraish Syihab mengatakan bahwa sebaiknya amil zakat harus diangkat oleh negara. Alasannya sederhana, karena jika terjadi kehilangan harta yang mau dizakatkan, maka amil zakat tersebut tidak perlu menggantikannya. Tapi sebaliknya, jika tidak di angkat oleh pemerintah dan barang yang mau disalurkan hilang, maka dia wajib menggantikannya dengan bagian yang akan diberikan kepadanya sebagai amil zakat.
Berbeda halnya dengan Buya Hamka, beliau mengatakan bahwa di dalam suatu negeri atau wilayah boleh membentuk panitia (komite) sendiri sesuai dengan kesadaran agama mereka dan persetujuan bersama. Dengan persetujuan bersama juga, panitia-panitia (anggota-anggotanya) mendapatkan hasil dan jerih payah atas kinerja mereka.
Keempat, al-Muallafah qulubuhum (muallaf yang dijinakkan hatinya untuk masuk Islam). Secara garis besar golongan ini dibagi kepada dua pembagian. Pertama orang kafir dan kedua orang muslim. Orang kafir terbagi kepada dua. Pertama, mereka yang condong kepada Islam, maka mereka dibantu. Kedua, mereka yang dikawatirkan mengganggu orang Islam dan pemeluknya. Keduanya tidak diberi zakat tetapi diganti dengan harta rampasan.
Sedangkan yang Muslim, sebagaimana yang pernah disinggung M. Quraish Shihab terbagi kepada tiga pembagian. Pertama, mereka yang belum mantap imannya dan diharapkan jika diberi keinginannya untuk memeluk Islam semakin kuat. Kedua, mereka yang memiliki pengaruh yang besar terhadap umat. Tujuannya supaya mereka bisa menjadi kekuatan bagi orang Islam. Namun kedua mereka ini masih terjadi perdebatan. Ada yang mengatakan boleh diberikan zakat, yang lain sebaliknya. Ada juga yang mengatakan boleh diberikan dengan syarat bukan dari harta yang menjadi sumber dari harta zakat. Ketiga, mereka yang diberi dengan harapan berijtihaj melawan para pendurhaka atau melawan para pembangkang zakat.
Berbeda halnya dengan yang disampaikan Buya Hamka, dia mengatakan orang Islam yang berhak menerima zakat dengan catatan apabila mereka tinggal dan menetap di tapal batas antara negeri Islam dengan non-Islam. Logikanya jika mereka tinggal disana tidak menutup kemungkinan mereka terombang-ambing. Apakah nanti mereka berada dalam kekuasaan pemerintahan Islam atau non-Islam. Dengan adanya zakat yang diberikan kepada mereka, harapannya bisa menaklukkan dan mengkuatkan hati mereka untuk selalu berpegang kepada agama Islam. Begitu juga dengan orang non-Islam namun non-Islam yang berpengaruh, sebagian fuqaha’ mengatakan mereka mesti diberikan zakat. Karena dengan besarnya pengaruh tersebut, kebesaran orang untuk memeluk Islampun semakin bertambah.
Mengenai golongan yang terakhir ini pernah dilakukan sendiri oleh Nabi terhadap Shafwan bin Umayyah. Pada waktu Nabi menaklukkan kota Mekkah, beliau kabur dari kota Mekkah. Namun sebelum dia kabur Nabi berpesan jika dia datang kembali ke Makkah dan masuk Islam maka nabi akan memberikan rasa aman kepada beliau dan tidak akan diapa-apakan juga diberi waktu empat bulan untuk memikirkannya. Dilain waktu ketika Nabi dan rombongan pergi ke peperangan Hunain beliau datang dan ikut serta dalam peperangan. Pada waktu itu dia berkata: “ Diwarisi oleh laki-laki dari kaum Quraisy lebih aku suka dari pada diwarisi oleh kaum Hawazin”. Setelah peperangan dan Nabi menang, Nabi memberikan hadiah (Ghamimah) lebih dari seratus ekor unta kepada beliau.
Namun jika kita tarik pada masa kekinian, normatifitas seperti ini sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan. Karena, Islam sekarang ini berbeda dengan Islam pada masa Nabi. Perkembangan Islam semakin pesat, besar dan kuat, tanpa harus memberikan shadaqah kepada mereka. Selain itu, jika kita tarik dalam ranah perekonomiannya, untuk saat ini orang-orang non-Islam lebih mapan dan maju dari orang Islam. Singkat kata dengan mengiming-imingkan harta kepada orang non-Islam untuk masuk kedalam agama Islam sudah tidak relevan lagi.
Sebenarnya pendapat seperti ini bukanlah pendapat yang baru. Pada masa sahabat Umar bin Khatab misalnya, beliau dengan lantang mengatakan: “Siapa yang senang berimanlah. Siapa suka kafirlah!”. Begitu juga dengan Sahabat Abu Bakar. “ Hari ini Islam telah kuat dan tidak memerlukan kalian lagi. Jika kalian tetap teguh kepada Islam terserahlah, karena itu untuk kebaikan diri kalian sendiri. Tetapi jika kalian murtad, maka diantara kalian dengan kalian ialah Pedang”.
Pendapat seperti ini, bukanlah pembatalan terhadap nash dan al-Qur’an itu sendiri. Melainkan kontek dan motif untuk memberikan kepada mereka sudah tidak ada lagi. Memang masih banyak orang Islam yang membutuhkannya tetapi dilain tempat Islam tidak membutuhkan mereka lagi. Sekilas ini terlihat ekstrim dan tercela, namun tidak seperti itu adanya. Karena ada kaidah ilmu ushul fiqih yang menyatakan bahwa ketetapan hukum selalu berkaitan dengan illah. Bila illah itu ada, maka ketetapan hukum ada. Bila tidak maka ketetepan hukum gugur.
Kelima, ar-riqab (budah atau hamba sahaya) adalah bentuk dari jama’ Raqabah yang pada mulanya berarti leher. Pengertian ini berkembang menjadi hamba sahaya. Karena kebanyakan hamba sahaya itu adalah para tawanan perang yang di ikat lehernya. Kata Fi, pada kalimat sebelumnya mengambarkan bahwa harta zakat yang merupakan bagian mereka itu diletakkan dalam wadah yang khusus untuk keperluan mereka. Atas dasar ini harta tersebut tidak diserahkan kepada mereka melainkan diserahkan kepada orang yang membelenggu mereka, supaya mereka lepas dari belenggu tersebut.
Rosulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bersabda: Tiga golongan orang yang mendapatkan pertolongan Allah. Yang berperang dijalan Allah, budak kontrakan yang ingin membebaskan diri dan orang yang menikah untuk menjaga kemurniannya. Dalam hadit yang lain yang diriwayatkan oleh al-Barra bin Aazib seorang pria datang kepada beliau dan bertanya tentang suatu amal yang mendekatkan diri kepada sorga dan jauh dari neraka. Lalu Nabi bersabda: Merdekakanlah hamba sahaya dan lepaskanlah seorang dari perbudakan. Bertanya mereka itu,bukankah keduanya itu sama? Tidak jwab rosullah. Yang pertama berarti memerdekakan hamba sahaya seutuhnya, sedangkan yang kedua berarti melunasi harganya.
Pendapat seperti ini kemudian diperluas oleh ulama kontemporer seperti al-Marhum M. Syaltut mengatakan. Wilayah-wilayah yang sedang diduduki oleh musuh dan dijajah, masyarakatnya seperti hamba sahaya bahkan lebih jadi mereka lebih parah. Oleh karena itu mereka berhak untuk mendapatkan sadaqah atau zakat dengan tujuan membantu mereka dari kememelaratan..
Keenam, pada kata al-Gharimin jama’ dari Gharim artinya orang yang berhutang. Orang yang berhutang dan sudah sangat mendesak, boleh melaporkan nasibnya dengan penguasa pembagian zakat. Atau pada masa sekarang ini biasa disebut dengan panitia zakat, laporlah besarnya hutang itu kepada panitia. Panitia wajib membayar setelah meneliti terlebih dahulu. Diriwayatkan oleh Muslimdari Abi Said, bahwa ada seorang pedagang buah-buahan datang kepada Rosulullah dan meminta sedaqah Rosullah untuk melunasi utangnya karena dagangannya rugi, beliaupun bersabda: Bershadaqahlah kepadanya.
Ketujuh, fi sabilillah. Artinya orang orang yang dalam perjalanan berdakwah terhadap Islam. Namun ada juga yang mengartikan para pejuang yang terlibat dalam peperangan baik keterlibatannya langsung ataupun tidak. Maka mereka boleh mendapatkan shadaqah. Pada perkembangannya ulama kontemporer menyamakan golongan ini dengan lembaga-lembaga sosial, baik yang dikelola secara sendiri maupun organisasi sosial Islam. Dengan alasan, fi sabilillah dari segi bahasa mencakup segala aktifitas yang mengantarkan menuju jalan dan keridhaan Allah.
Sebagian ulama seperti Imam Ahmad sebagaimana yang dikutip Hamka, bahwa orang yang ikut haji juga termasuk kedalam golongan fi sabilillah. Sama halnya dengan Ahmad bin Hambal juga mengatakan orang haji sama dengan sabilillah. Karena ada kemungkinan mereka kehabisan harta untuk melaksanakan haji dan juga sebagai balasan bagi mereka karena telah melakukan perjalanan menuju ridha Allah.
Kedelapan, ibnu sabil. Menurut bahasa artinya anak jalanan. Namun yang dimaksut disini bukan anak jalanan seperti para pengamen dan gelandangan yang banyak kita temukan di perempatan jalan. Melainkan orang yang dalam perjalanan menuju ridha Allah tetapi harta pembekalannya habis. Sedangkan al-Qurthubi mengatakan lain. Ibnu sabil disini di maksudkan ialah anak yang berada dijalan yang tidak memiliki rumah, tempat tinggal sehingga sepanjang hari berada di jalan, maka mereka tidak termasuk ke dalam golongan ini tetapi masuk ke dalam golongan faqir dan miskin.
Dari ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa zakat tersebut selain untuk menjaga hubungan kita dengan Allah juga berfungsi untuk menjaga hubungan kita dengan sesama manusia (fungsi sosial). Fungsi ini ditetapkan Allah atas dasar kepemilikan-Nya yang mutlak terhadap segala sesuatu di alam raya ini termasuk harta benda. Disamping berdasarkan persaudaraan, sebangsa dan sekemanusiaan dan berdasarkan istihlaf yakni penugasan manusia sebagai khalifah di bumi ini. Yang pembahasannya, akan lebih di detail pada pembahasan berikutnya.

b. Sebab Turunnya Ayat
Pada suatu ketika, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dari Daut Ibnu Abi A’ashim Nabi SAW membagi-bagikan shadaqah kepada sahabat hingga habis. Namun pada waktu itu ada seorang sahabat Anshar yang berada dibelakang beliau berkata kepada beliau “ Ini Bukanlah cara yang adil hai Muhammad. Maka ketika itu turunlah Ayat yang berbunyi: Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang pembagian (zakt). Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.
Dilain waktu ada juga seorang arab dari dusun yang baru masuk Islam datang kepada Nabi ketika beliau membagikan emas dan perak. Ia berkata kepada beliau.”Engkau tidak berlaku adil, walaupun Allah memerintahkan untuk berlaku demikian”. Rosulullah menjawab: Celakalah engkau, siapakan orangnya itu yang akan berlaku adil sesudah aku”.
Begitu juga yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Said tentang cerita seorang yang bernama Harqush, yang telah menentang Rosulullah tatkala beliau membagikan Ghanimah yang diperoleh dari perang Hunain. Ia berkata kepada Nabi dengan cara menghina dan mencela. “Berlaku adil! Sesungguhnya engkau tidak berlaku adil!.” Lalu nabi menjawab.” Telah sis-sia dan rugi aku, jika aku tidak berlaku adil”.
Kemudian setelah itu turun ayat berikutnya: Jikalau mereka sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rosul-Nya kepada mereka dan berkata. Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian pula Rosul-Nya. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah. Bahwasanya demikian itu lebih baik bagi mereka.
Ayat ini diturunkan bermaksud untuk memberikan peringatan kepada mereka suatu sikap yang lebih baik bagi mereka, yaitu agar menerima saja dengan puas dan rela apa yang diberikan oleh Allah dan Rosul-Nya dan menyatakan rasa puas dan bersyukur mereka itu dalam kata-kata. Yaitu “ Cukuplah Allah bagi kami, dia akan memberikan kami sebagian karunia-Nya dan sesungguhnya kami akan selalu berharap pada-Nya.
Setelah ayat ini turun dan umat sudah mulai menerima kenyataan bahwa tiada lagi orang yang bisa berlaku adil kecuali Allah dan Rosulnya, maka untuk menyempurnakan siapa saja yang berhak menerima zakat tersebut supaya lebih adil sesuai dengan relitanya. Dengan ini turun ayat sesudahnya (ayat 60), yang menjelaskan dan menetapkan bahwa ada delapan golongan yang berhak menerima shadaqah atau zakat. Selain mereka ini tidak boleh menerima zakat, termasuk keluarga nabi sendiri.

• At-Taubah ayat 103
a. Tafsirannya
Ambillah shadaqah dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk semua. Sesungguhnya doa kamu itu, menjadi ketentraman bagi mereka. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.
Ayat ini menjelaskan perintah terhadap nabi, untuk mengambil (huz) atau meminta kepada umat beliau untuk mengelurkan sebagian hartanya (Shadaqatan)untuk di zakatkan. Ayat inilah yang kemudian menjadi dalil bahwa zakat diwajibkan kepada orang mukmin yang mampu dan kaya. Karena sebagian harta tersebut adalah milik Allah dan milik orang lain. Dengan cara zakat harta mereka bisa suci dan bersir (Tuthahhirakum).
Selain itu, apabila dengan di zakatkan, maka bagi mereka yang menerima harta tersebut senang yang disempurnakan dengan mendo’akan mereka (Shalli alaihim), supaya mereka tentram (Sakanun lahum). “Rosulullah bersabda: Sesungguhnya Allah mengabulkan shadaqah seseorang dan menerimanya dengan tangan kanannya, kemudian dipeliharanyalah sebagaimana seorang diantara kamu memelihara anak kudanya, sehingga sesuap makanan pun akan menjadi segunung Uhud”.(Riwayat at-Tsauri dan Abu Hurairah).
Dalam penafsiran lain, ayat ini juga menjelaskan tentang sekolompok orang yang imannya masih lemah yang mencampur adukkan amal baik dengan amal buruk dalam kehidupannya. Diharapkan dengan cara zakat dosa mereka bisa dimapuni. Setelah itu mereka dinasehatin untuk bertaubat kepada Allah, karena diyakini walaupun mereka seperti itu, Allah tetap akan menerima taubat mereka jika mereka benar-benar dan bersungguh-sungguh bertaubat. Sebagimana firmannya: Dan adapula orang yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah, adakalanya Allah akan mengazab mereka. Adakalanya Allah akan menerima taubat mereka. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.
Dalam memahami kata (Huz), khususnya setelah nabi wafat terjadi pertentangan bagi kaum muslimin. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar. Pada suatu hari ketika itu Abu Bakar meminta (huz)shadaqah kepada umat, sebagian umatpun menolaknya, karena bagi mereka yang pantas meminta zakat tersebut tidak boleh selain Rosulullah. Di dalam ayat itu hanya diperintahkan kepada pribadi nabi. Namun hal ini menjadi perlawanan besar dari Abu Bakar. Abu Bakar menyatakan, orang yang menolak menyerahkan hartanya untuk di shadaqahkan adalah terasuk orang-orang yang murtad. Selain itu Abu Bakar juga berkata: Demi Allah, andaikan mereka menolak menyerahkan kepadaku seutas tali yang pernah mereka serahkannya sebagai kewajiban berzakat kepada Rodulullah, niscaya akan ku perangi mereka kerena penolakannya itu.
Dalam hal ini, M. Quraisy Sihab menyatakan. Walau ayat ini dalam kontek menjelaskan tentang Abu Lababah dan rekan-rekannya, namun ia berlaku umum. Demikian juga redaksi ayat ini yang tertuju kepada Nabi, namun ia pun bersifat umum. Yakni perintah ini, ditujukan kepada siapapun yang menjadi penguasa alias orang yang memiliki Harta.

b. Sebab Turunnya Ayat
Pada pembahasan sebelumnya sudah kita jelaskan, bahwa ayat ini turun untuk memerintahkan kepada nabi supaya mengambil dan meminta harta bagi orang yang kaya untuk di shadaqahkan. Ayat ini juga menjadi illat bagi para sahabat dan ulama pada sekarang ini bahwa para penguasa berhak melakukan hal tersebut tentunya dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Namun sebenarnya wal mula turunya ayat tersebut, adalah sebagai jawaban dari kegelisahan para sahabat Nabi, ketika nabi masih hidup. Gelisah disini dimaksudkan, karena ketika mau berperang, sahabat pada takut, cemas dan menghalangi mereka berperang, karena jika mereka ikut berperang harta mereka hilang dan tidak bisa bersenag-senang dengan harta mereka lagi. Namun dilain sisi mereka ingin berperang dan merijtihat bersama nabi. Karena menyakini dengan berperang, mereka bisa mensucikan diri mereka. Karenanya ayat ini kemudian tujun, selain membersihkan harta benda, shadaqah juga membersihkan dosa-dosa mereka, sama halnya dengan berperang dijalan Allah bersama Nabi.

Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP