Minggu, 21 Februari 2010



ZAKAT DAN TRANSPORMASI SOSIAL
Oleh: Riduan al-Bangkawi

Pendahuluan

Islam merupakan agama yang rahmatan lil-alamin atau biasa disebut dengan istilah agama yang universal. Realisasi dari dua jargon di atas inilah yang nantinya akan melahirkan tiga macam persepektif normatifitas. Aqidah, Syariah dan Ahlaq. Pertama, Aqidah merupakan normatifitas yang tidak berubah, tetap dan transendental. Kedua, syariah, ini kebalikannya. Artinya syariah akan berubah sesuai dengan kontek dan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Ketiga, aklak yang dimaknai sebagai peri pekerti dalam pergaulan sesama manusia. Berangkat dari itu semua, penulis pada kesempatan ini akan mencoba sedikit mentalaah pada hasil dari produk normatifitas tersebut dan kemudian mengkolaborasikan ketiganya untuk diaplikasikan dalam masyarakat. Produk yang kita maksut adalah ZAKAT.
Zakat merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh orang muslim. Bahkan merupakan salah satu dari rukun Islam selain dari shalat, puasa dan haji, yang di dalam al-Qur’an juga sering disebutkan secara beriringan dengan perintah Shalat. Hal ini bisa dipahami, bahwa zakat adalah kewajiban yang sangat tinggi nilainya di atas kewajiban dan rukun Islam yang lainnya. Mengutip hasil penelitian Sayyid Sabiq bahwa ada 82 ayat tentang zakat yang beriringat dengan shalat di dalam al-Qur’an. Pertanyaan kemudian, kenapa hal itu bisa terjadi?

Pengertian
Secara bahasa (al-Lughah), zakat bermakna suci, mulia, tumbuh, bertambah dan berkah. Ada juga yang mengatakan zakat adalah nama dari suatu hak Allah yang dikeluarkan seorang kepada fakir miskin. Sedangkan menurut terminologi (istilah), sesuatu ukuran tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya dari harta yang telah mencapai nisabnya dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Islam.
Abu Muhammad Ibnu Qutaibah sebagaimana yang dikutip Prof. Hasbi al-Shiddiqi mengatakan zakat diambil dari kata zakah yang berarti nama’ yakni kesuburan dan penambahan. Istilah syara’ memakai kata tersebut mempunyai dua makna. Pertama, dengan zakat diharapkan mendatangkan kesuburan pahala. Kedua, zakat merupakan suatu kenyataan jiwa yang suci dari kikir dan dosa.
Yusuf al-Qardhawi, sebagaimana yang dikutip Fakhruddinn, M. Hi mengatakan, zakat ialah ibadah maliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi dan peranan yang penting, stategis dan menentukan. Dalam artian, zakat yang dikeluarkan itu bukan hanya bersifat materi belaka namun juga bersifat sosial (Ijtima’iyyah).
Sedangkan menurut empat ulama mazhab, zakat ialah. Hanafiyah: kepemilikikan bagian harta tertentu dari harta tertentu untuk orang/pihak tertentu yang telah ditentukan oleh Allah untuk mengharapkan ridhaNya. Malikiyah: mengeluarkan bagian yang khusus dari harta yang telah mencapai nisabnya untuk yang berhak menerimanya, jika milik sempurna dan mencapai haul selain barang tambang dan tanaman. Syafi’iyah: Nama bagi sesuatu yang dikeluarkan dari harta dan badan dengan cara tertentu. Hambaliyah: hak yang wajib dalam harta tertentu untuk kelompok tertentu pada waktu tertentu.



Dalil-Dalil Zakat Di Dalam Nash
Sebagaimana yang telah kita singgung di atas, zakat merupakan salah satu kewajiban atau rukun Islam. Tentu hal tersebut harus merajut kepada al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama dari Islam. Dalam al-Qur’an mengutip pendapat Yusuf Qardhawi sebagaimana juga dikatakan Sayyid Sabbiq terdapat 32 sampai 82 ayat. Namun yang dimaksutkan bukan hanya kata-kata zakat tapi juga mencakup kata-kata infaq (pemberian), al-ma’un (barang-barang kebutuhan) dan ta’am al-miskin (makan bagi orang miskin). Akan tetapi pada kesempatan ini penulis hanya ingin menyinggung ayat-ayat yang di anggap universal saja. Diantara ayat-ayat tersebut ialah:
• At-Taubah ayat 60
a. Tafsirannya
Dalam ayat ini menjelaskan bahwa hanya delapan golongan yang wajib dibagikan zakatnya. Yaitu untuk orang yang fakir, orang yang miskin, orang yang bekerja menyalurkan atau yang membagikan zakat, para mu’allab yang dibujuk hatinya, orang yang memerdekakan budak, orang yang berhutang bukan karena mereka durhaka kepada Allah dan orang yang lagi di dalam perjalanan ketika bekal bawaannya habis. Oleh karena itu, selain golongan yang delapan ini tidak wajib dibagikan zakatnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami golongan-golongan tersebut. Diantaranya, pertama Imam Syafi’i dan pengikutnya dan yang kedua Imam Malik dan pengikutnya. Pertama, makna lam yang terdapat pada lil Fuqara’. Imam Syafi’i mengatakan huruf lam mengartikan kepemilikan. Sehingga delapan golongan yang disebutkan harus mendapatkan bagian yang sama. Ini juga dikuatkan atas kalimat Innama. Innama, dalam kaidah ilmu Nahu berkaidah bimausul yang bermakna keseluruhan dan pengkhususan. Tetapi berbeda dengan ulama yang bermazhab Syafi’i mengatakan di bagikan untuk tiga golongan saja sudah cukup, artinya tidak wajib dibagikan untuk kesemua golongan tersebut.
Berbeda halnya dengan Imam Malik, sebagaimana yang dikatakan Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengatakan, kaliamt lam itu hanya sekedar berfungsi menjelaskan siapa yang berhak menerimanya agar tidak keluar dari kelompok yang disebutkan.Allah menyebutkan golongan-golongan itu hanya untuk menjelaskan kepada siapa zakat mesti disalurkan. Sehingga siapapun di antara mereka yang menerima zakat maka dirasa cukup tanpa harus memberikan kepada semua golongan yang delapan.
Begitu juga dengan ulama seperti Umar, Khuzaifah, Ibnu Abbas, Abul Aliah, Said bin Jubair dan ma’mun bin Muhram. Mereka menyebutkan bahwa yang dimaksut dengan golongan yang delapan hanyalah untuk menentukan siapa yang pantas dan berhak menerima zakat, tetapi tidak berarti harus semua golongan delapan itu dijangkau. Pendapat inilah kemudian yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama besar dunia, khususnya di Indonesia.
Kedua, para fuqaha’ dan mufassir juga berbeda pendapat dalam memahami makna Faqir dan Miskin. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang miskin ialah Orang yang keadaannya lebih parah dan melarat dari orang faqir. Ibnu Jabir mengatakan, orang faqir ialah orang yang tidak memiliki harta, tetapi belum sampai ketingkat pengemis, sedangkan yang disebut dengan miskin ialah orang yang terpaksa meminta-minta untuk kebutuhan hidupnya. Lain halnya dengan Qatadah, orang faqir ialah orang yang cacat dan tidak berharta. Miskin, orang yang masih bertubuh sehat. Begitu juga dengan al-Qurtubi mengatakan faqir adalah orang yang butuh dati kaum muslim. Miskin, orang yang butuh dari ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani). Ada juga ulama yang mengatakan sebagaimana yang dikutip Buya Hamka bahwa orang faqir lebih melarat dari orang miskin.
Dalam al-Qur’an al-Kahfi ayat 79 menceritakan tentang pertemuan antara Nabi Khaidir dengan Nabi Musa. Pada suatu ketika mereka berdua berada di pinggiran pantai (tempat dikumpulnya perahu-perahu nelayan), Nabi Khadir melobangi salah satu perahu tersebut. Nabi Musa heran dan bertanya, kenapa engkau melakukan hal itu, Nabi Khaidir menjawab, perahu itu milik orang miskin yang tidak mau meminta-minta, sedangkan dibalik sana ada raja yang sering merampok perahu-perahu yang bagus untuk kepentingan peribadinya.
Begitu juga dengan hadits Nabi yang berbunyi: Tiadalah orang miskin itu dengan berkeliling untuk meminta-minta terhadap manusia, lalu ditolak akan dia oleh satu suap, dua suap atau satu butir dan dua butir kurma. Lalu orang bertanya: Ialah orang yang tidak mempunyai orang kaya yang membantunya, dan orang tidak mengetahui nasabnya, supaya orang bersedekah dengannya dan diapun tidak pernah meminta-minta dengan orang lain.
Namun yang menjadi catatan bersama, betapapun perbedaan ulama memahami makna faqir dan miskin, secara substansinya sama. Yaitu sama-sama tidak mampu, sama-sama melarat, sengsara, tidak berkecukupan dan sama-sama membutuhkan bantuan dan pertolongan untuk menjalani hidupnya. Kadang orang miskin hidupnya lebih melarat dari orang faqir namun mereka tidak mau meminta-minta kerumah orang lain atau mengemis dijalan-jalan karena mereka merasa malu dan tetap ingin berusaha.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa orang faqir dan miskin wajib diberikan zakatnya. Sebaliknya, bagi orang kaya dan mampu tidak wajib walaupun dengan berbagai macam alasan. Sebagaimana juga dikuatkan dalam hadits Nabi: Tidak dihalalkan pemberian sedaqah bagi orang kaya dan tidak bagi orang yang sehat dan cerdas. Hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nisa dari Abu Hurairah, beliau bersabda: Kalau kamu berdua masih mau, aku berikan kepadamu, namun sebenarnya tidak ada zakat bagi bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang yang masih kuat untuk berusaha.
Ketiga, Perbedaan pada makna al-Amilin’alaiha atau biasa disebut dengan amil zakat. Namun yang pasti mereka adalah orang yang bekerja untuk menyalurkan, membagikan, menentukan siapa yang berhak mendapatkan, mencari mereka maupun membagi dan mengantarkan kepada mereka.
Sedangkan kata alaiha memberikan kesan bahwa para pengelola itu melakukan tugasnya dengan bersungguh-sungguh dan tentunya mengakibatkan keletihan bagi fisik mereka. Kata ala, mengartikan penguasaan dan kemantapan atas sesuatu. Singkat kata, penggabungan dua kalimat ini menyatakan. Pertama, karena upaya mereka yang berat. Kedua, karena upaya tersebut mencakup kepentingan shadaqah.
Pada suatu ketika datang Rabi’ah bin al-Harits dan al-Fadhel bin a-Abbas, keduanya adalah sepupu nabi dan berniat mengajukan diri untuk menjadi amil zakat. Pada waktu itupun nabi bersabda: Sesungguhnya shadaqah itu tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad. Karena shadaqah itu merupakan “kotoran” harta manusia.
Dari hadits ini sudah sangat jelas mengatakan, keluarga nabi tidak diperbolehkan menjadi amil zakat. Namun jika ditarik pada kondisi sekarang, hadits tersebut tidak perlu diperdebatkan lagi khususnya di Indonesia. Prof. Dr. Quraish Syihab mengatakan bahwa sebaiknya amil zakat harus diangkat oleh negara. Alasannya sederhana, karena jika terjadi kehilangan harta yang mau dizakatkan, maka amil zakat tersebut tidak perlu menggantikannya. Tapi sebaliknya, jika tidak di angkat oleh pemerintah dan barang yang mau disalurkan hilang, maka dia wajib menggantikannya dengan bagian yang akan diberikan kepadanya sebagai amil zakat.
Berbeda halnya dengan Buya Hamka, beliau mengatakan bahwa di dalam suatu negeri atau wilayah boleh membentuk panitia (komite) sendiri sesuai dengan kesadaran agama mereka dan persetujuan bersama. Dengan persetujuan bersama juga, panitia-panitia (anggota-anggotanya) mendapatkan hasil dan jerih payah atas kinerja mereka.
Keempat, al-Muallafah qulubuhum (muallaf yang dijinakkan hatinya untuk masuk Islam). Secara garis besar golongan ini dibagi kepada dua pembagian. Pertama orang kafir dan kedua orang muslim. Orang kafir terbagi kepada dua. Pertama, mereka yang condong kepada Islam, maka mereka dibantu. Kedua, mereka yang dikawatirkan mengganggu orang Islam dan pemeluknya. Keduanya tidak diberi zakat tetapi diganti dengan harta rampasan.
Sedangkan yang Muslim, sebagaimana yang pernah disinggung M. Quraish Shihab terbagi kepada tiga pembagian. Pertama, mereka yang belum mantap imannya dan diharapkan jika diberi keinginannya untuk memeluk Islam semakin kuat. Kedua, mereka yang memiliki pengaruh yang besar terhadap umat. Tujuannya supaya mereka bisa menjadi kekuatan bagi orang Islam. Namun kedua mereka ini masih terjadi perdebatan. Ada yang mengatakan boleh diberikan zakat, yang lain sebaliknya. Ada juga yang mengatakan boleh diberikan dengan syarat bukan dari harta yang menjadi sumber dari harta zakat. Ketiga, mereka yang diberi dengan harapan berijtihaj melawan para pendurhaka atau melawan para pembangkang zakat.
Berbeda halnya dengan yang disampaikan Buya Hamka, dia mengatakan orang Islam yang berhak menerima zakat dengan catatan apabila mereka tinggal dan menetap di tapal batas antara negeri Islam dengan non-Islam. Logikanya jika mereka tinggal disana tidak menutup kemungkinan mereka terombang-ambing. Apakah nanti mereka berada dalam kekuasaan pemerintahan Islam atau non-Islam. Dengan adanya zakat yang diberikan kepada mereka, harapannya bisa menaklukkan dan mengkuatkan hati mereka untuk selalu berpegang kepada agama Islam. Begitu juga dengan orang non-Islam namun non-Islam yang berpengaruh, sebagian fuqaha’ mengatakan mereka mesti diberikan zakat. Karena dengan besarnya pengaruh tersebut, kebesaran orang untuk memeluk Islampun semakin bertambah.
Mengenai golongan yang terakhir ini pernah dilakukan sendiri oleh Nabi terhadap Shafwan bin Umayyah. Pada waktu Nabi menaklukkan kota Mekkah, beliau kabur dari kota Mekkah. Namun sebelum dia kabur Nabi berpesan jika dia datang kembali ke Makkah dan masuk Islam maka nabi akan memberikan rasa aman kepada beliau dan tidak akan diapa-apakan juga diberi waktu empat bulan untuk memikirkannya. Dilain waktu ketika Nabi dan rombongan pergi ke peperangan Hunain beliau datang dan ikut serta dalam peperangan. Pada waktu itu dia berkata: “ Diwarisi oleh laki-laki dari kaum Quraisy lebih aku suka dari pada diwarisi oleh kaum Hawazin”. Setelah peperangan dan Nabi menang, Nabi memberikan hadiah (Ghamimah) lebih dari seratus ekor unta kepada beliau.
Namun jika kita tarik pada masa kekinian, normatifitas seperti ini sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan. Karena, Islam sekarang ini berbeda dengan Islam pada masa Nabi. Perkembangan Islam semakin pesat, besar dan kuat, tanpa harus memberikan shadaqah kepada mereka. Selain itu, jika kita tarik dalam ranah perekonomiannya, untuk saat ini orang-orang non-Islam lebih mapan dan maju dari orang Islam. Singkat kata dengan mengiming-imingkan harta kepada orang non-Islam untuk masuk kedalam agama Islam sudah tidak relevan lagi.
Sebenarnya pendapat seperti ini bukanlah pendapat yang baru. Pada masa sahabat Umar bin Khatab misalnya, beliau dengan lantang mengatakan: “Siapa yang senang berimanlah. Siapa suka kafirlah!”. Begitu juga dengan Sahabat Abu Bakar. “ Hari ini Islam telah kuat dan tidak memerlukan kalian lagi. Jika kalian tetap teguh kepada Islam terserahlah, karena itu untuk kebaikan diri kalian sendiri. Tetapi jika kalian murtad, maka diantara kalian dengan kalian ialah Pedang”.
Pendapat seperti ini, bukanlah pembatalan terhadap nash dan al-Qur’an itu sendiri. Melainkan kontek dan motif untuk memberikan kepada mereka sudah tidak ada lagi. Memang masih banyak orang Islam yang membutuhkannya tetapi dilain tempat Islam tidak membutuhkan mereka lagi. Sekilas ini terlihat ekstrim dan tercela, namun tidak seperti itu adanya. Karena ada kaidah ilmu ushul fiqih yang menyatakan bahwa ketetapan hukum selalu berkaitan dengan illah. Bila illah itu ada, maka ketetapan hukum ada. Bila tidak maka ketetepan hukum gugur.
Kelima, ar-riqab (budah atau hamba sahaya) adalah bentuk dari jama’ Raqabah yang pada mulanya berarti leher. Pengertian ini berkembang menjadi hamba sahaya. Karena kebanyakan hamba sahaya itu adalah para tawanan perang yang di ikat lehernya. Kata Fi, pada kalimat sebelumnya mengambarkan bahwa harta zakat yang merupakan bagian mereka itu diletakkan dalam wadah yang khusus untuk keperluan mereka. Atas dasar ini harta tersebut tidak diserahkan kepada mereka melainkan diserahkan kepada orang yang membelenggu mereka, supaya mereka lepas dari belenggu tersebut.
Rosulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bersabda: Tiga golongan orang yang mendapatkan pertolongan Allah. Yang berperang dijalan Allah, budak kontrakan yang ingin membebaskan diri dan orang yang menikah untuk menjaga kemurniannya. Dalam hadit yang lain yang diriwayatkan oleh al-Barra bin Aazib seorang pria datang kepada beliau dan bertanya tentang suatu amal yang mendekatkan diri kepada sorga dan jauh dari neraka. Lalu Nabi bersabda: Merdekakanlah hamba sahaya dan lepaskanlah seorang dari perbudakan. Bertanya mereka itu,bukankah keduanya itu sama? Tidak jwab rosullah. Yang pertama berarti memerdekakan hamba sahaya seutuhnya, sedangkan yang kedua berarti melunasi harganya.
Pendapat seperti ini kemudian diperluas oleh ulama kontemporer seperti al-Marhum M. Syaltut mengatakan. Wilayah-wilayah yang sedang diduduki oleh musuh dan dijajah, masyarakatnya seperti hamba sahaya bahkan lebih jadi mereka lebih parah. Oleh karena itu mereka berhak untuk mendapatkan sadaqah atau zakat dengan tujuan membantu mereka dari kememelaratan..
Keenam, pada kata al-Gharimin jama’ dari Gharim artinya orang yang berhutang. Orang yang berhutang dan sudah sangat mendesak, boleh melaporkan nasibnya dengan penguasa pembagian zakat. Atau pada masa sekarang ini biasa disebut dengan panitia zakat, laporlah besarnya hutang itu kepada panitia. Panitia wajib membayar setelah meneliti terlebih dahulu. Diriwayatkan oleh Muslimdari Abi Said, bahwa ada seorang pedagang buah-buahan datang kepada Rosulullah dan meminta sedaqah Rosullah untuk melunasi utangnya karena dagangannya rugi, beliaupun bersabda: Bershadaqahlah kepadanya.
Ketujuh, fi sabilillah. Artinya orang orang yang dalam perjalanan berdakwah terhadap Islam. Namun ada juga yang mengartikan para pejuang yang terlibat dalam peperangan baik keterlibatannya langsung ataupun tidak. Maka mereka boleh mendapatkan shadaqah. Pada perkembangannya ulama kontemporer menyamakan golongan ini dengan lembaga-lembaga sosial, baik yang dikelola secara sendiri maupun organisasi sosial Islam. Dengan alasan, fi sabilillah dari segi bahasa mencakup segala aktifitas yang mengantarkan menuju jalan dan keridhaan Allah.
Sebagian ulama seperti Imam Ahmad sebagaimana yang dikutip Hamka, bahwa orang yang ikut haji juga termasuk kedalam golongan fi sabilillah. Sama halnya dengan Ahmad bin Hambal juga mengatakan orang haji sama dengan sabilillah. Karena ada kemungkinan mereka kehabisan harta untuk melaksanakan haji dan juga sebagai balasan bagi mereka karena telah melakukan perjalanan menuju ridha Allah.
Kedelapan, ibnu sabil. Menurut bahasa artinya anak jalanan. Namun yang dimaksut disini bukan anak jalanan seperti para pengamen dan gelandangan yang banyak kita temukan di perempatan jalan. Melainkan orang yang dalam perjalanan menuju ridha Allah tetapi harta pembekalannya habis. Sedangkan al-Qurthubi mengatakan lain. Ibnu sabil disini di maksudkan ialah anak yang berada dijalan yang tidak memiliki rumah, tempat tinggal sehingga sepanjang hari berada di jalan, maka mereka tidak termasuk ke dalam golongan ini tetapi masuk ke dalam golongan faqir dan miskin.
Dari ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa zakat tersebut selain untuk menjaga hubungan kita dengan Allah juga berfungsi untuk menjaga hubungan kita dengan sesama manusia (fungsi sosial). Fungsi ini ditetapkan Allah atas dasar kepemilikan-Nya yang mutlak terhadap segala sesuatu di alam raya ini termasuk harta benda. Disamping berdasarkan persaudaraan, sebangsa dan sekemanusiaan dan berdasarkan istihlaf yakni penugasan manusia sebagai khalifah di bumi ini. Yang pembahasannya, akan lebih di detail pada pembahasan berikutnya.

b. Sebab Turunnya Ayat
Pada suatu ketika, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dari Daut Ibnu Abi A’ashim Nabi SAW membagi-bagikan shadaqah kepada sahabat hingga habis. Namun pada waktu itu ada seorang sahabat Anshar yang berada dibelakang beliau berkata kepada beliau “ Ini Bukanlah cara yang adil hai Muhammad. Maka ketika itu turunlah Ayat yang berbunyi: Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang pembagian (zakt). Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.
Dilain waktu ada juga seorang arab dari dusun yang baru masuk Islam datang kepada Nabi ketika beliau membagikan emas dan perak. Ia berkata kepada beliau.”Engkau tidak berlaku adil, walaupun Allah memerintahkan untuk berlaku demikian”. Rosulullah menjawab: Celakalah engkau, siapakan orangnya itu yang akan berlaku adil sesudah aku”.
Begitu juga yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Said tentang cerita seorang yang bernama Harqush, yang telah menentang Rosulullah tatkala beliau membagikan Ghanimah yang diperoleh dari perang Hunain. Ia berkata kepada Nabi dengan cara menghina dan mencela. “Berlaku adil! Sesungguhnya engkau tidak berlaku adil!.” Lalu nabi menjawab.” Telah sis-sia dan rugi aku, jika aku tidak berlaku adil”.
Kemudian setelah itu turun ayat berikutnya: Jikalau mereka sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rosul-Nya kepada mereka dan berkata. Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian pula Rosul-Nya. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah. Bahwasanya demikian itu lebih baik bagi mereka.
Ayat ini diturunkan bermaksud untuk memberikan peringatan kepada mereka suatu sikap yang lebih baik bagi mereka, yaitu agar menerima saja dengan puas dan rela apa yang diberikan oleh Allah dan Rosul-Nya dan menyatakan rasa puas dan bersyukur mereka itu dalam kata-kata. Yaitu “ Cukuplah Allah bagi kami, dia akan memberikan kami sebagian karunia-Nya dan sesungguhnya kami akan selalu berharap pada-Nya.
Setelah ayat ini turun dan umat sudah mulai menerima kenyataan bahwa tiada lagi orang yang bisa berlaku adil kecuali Allah dan Rosulnya, maka untuk menyempurnakan siapa saja yang berhak menerima zakat tersebut supaya lebih adil sesuai dengan relitanya. Dengan ini turun ayat sesudahnya (ayat 60), yang menjelaskan dan menetapkan bahwa ada delapan golongan yang berhak menerima shadaqah atau zakat. Selain mereka ini tidak boleh menerima zakat, termasuk keluarga nabi sendiri.

• At-Taubah ayat 103
a. Tafsirannya
Ambillah shadaqah dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk semua. Sesungguhnya doa kamu itu, menjadi ketentraman bagi mereka. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.
Ayat ini menjelaskan perintah terhadap nabi, untuk mengambil (huz) atau meminta kepada umat beliau untuk mengelurkan sebagian hartanya (Shadaqatan)untuk di zakatkan. Ayat inilah yang kemudian menjadi dalil bahwa zakat diwajibkan kepada orang mukmin yang mampu dan kaya. Karena sebagian harta tersebut adalah milik Allah dan milik orang lain. Dengan cara zakat harta mereka bisa suci dan bersir (Tuthahhirakum).
Selain itu, apabila dengan di zakatkan, maka bagi mereka yang menerima harta tersebut senang yang disempurnakan dengan mendo’akan mereka (Shalli alaihim), supaya mereka tentram (Sakanun lahum). “Rosulullah bersabda: Sesungguhnya Allah mengabulkan shadaqah seseorang dan menerimanya dengan tangan kanannya, kemudian dipeliharanyalah sebagaimana seorang diantara kamu memelihara anak kudanya, sehingga sesuap makanan pun akan menjadi segunung Uhud”.(Riwayat at-Tsauri dan Abu Hurairah).
Dalam penafsiran lain, ayat ini juga menjelaskan tentang sekolompok orang yang imannya masih lemah yang mencampur adukkan amal baik dengan amal buruk dalam kehidupannya. Diharapkan dengan cara zakat dosa mereka bisa dimapuni. Setelah itu mereka dinasehatin untuk bertaubat kepada Allah, karena diyakini walaupun mereka seperti itu, Allah tetap akan menerima taubat mereka jika mereka benar-benar dan bersungguh-sungguh bertaubat. Sebagimana firmannya: Dan adapula orang yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah, adakalanya Allah akan mengazab mereka. Adakalanya Allah akan menerima taubat mereka. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.
Dalam memahami kata (Huz), khususnya setelah nabi wafat terjadi pertentangan bagi kaum muslimin. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar. Pada suatu hari ketika itu Abu Bakar meminta (huz)shadaqah kepada umat, sebagian umatpun menolaknya, karena bagi mereka yang pantas meminta zakat tersebut tidak boleh selain Rosulullah. Di dalam ayat itu hanya diperintahkan kepada pribadi nabi. Namun hal ini menjadi perlawanan besar dari Abu Bakar. Abu Bakar menyatakan, orang yang menolak menyerahkan hartanya untuk di shadaqahkan adalah terasuk orang-orang yang murtad. Selain itu Abu Bakar juga berkata: Demi Allah, andaikan mereka menolak menyerahkan kepadaku seutas tali yang pernah mereka serahkannya sebagai kewajiban berzakat kepada Rodulullah, niscaya akan ku perangi mereka kerena penolakannya itu.
Dalam hal ini, M. Quraisy Sihab menyatakan. Walau ayat ini dalam kontek menjelaskan tentang Abu Lababah dan rekan-rekannya, namun ia berlaku umum. Demikian juga redaksi ayat ini yang tertuju kepada Nabi, namun ia pun bersifat umum. Yakni perintah ini, ditujukan kepada siapapun yang menjadi penguasa alias orang yang memiliki Harta.

b. Sebab Turunnya Ayat
Pada pembahasan sebelumnya sudah kita jelaskan, bahwa ayat ini turun untuk memerintahkan kepada nabi supaya mengambil dan meminta harta bagi orang yang kaya untuk di shadaqahkan. Ayat ini juga menjadi illat bagi para sahabat dan ulama pada sekarang ini bahwa para penguasa berhak melakukan hal tersebut tentunya dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Namun sebenarnya wal mula turunya ayat tersebut, adalah sebagai jawaban dari kegelisahan para sahabat Nabi, ketika nabi masih hidup. Gelisah disini dimaksudkan, karena ketika mau berperang, sahabat pada takut, cemas dan menghalangi mereka berperang, karena jika mereka ikut berperang harta mereka hilang dan tidak bisa bersenag-senang dengan harta mereka lagi. Namun dilain sisi mereka ingin berperang dan merijtihat bersama nabi. Karena menyakini dengan berperang, mereka bisa mensucikan diri mereka. Karenanya ayat ini kemudian tujun, selain membersihkan harta benda, shadaqah juga membersihkan dosa-dosa mereka, sama halnya dengan berperang dijalan Allah bersama Nabi.

0 komentar:

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP