Minggu, 12 Juli 2009

ISLAM DAN NEGARA
(Upaya Dan Strategi Menerapkan Nilai-Nilai Islam Dalam Ranah Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia)


A. Pendahuluan
Ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an, menurut Abdul Mun’im sebagaimana yang dikutip Abdul Aziz, mengajarkan dua intisari besar yang saling berkaitan dan berjalin kelindan, yaitu akidah dan syariah. Tiada aqidah tanpa syari’ah, begitu juga sebaliknya, tiada syariah tanpa aqidah. Aqidah menghubungkan eksistensi manusia dengan Allah. Eksistensi aqidah tidak berubah atau terlepas. Sementara eksistensi syari’ah terefleksi pada dua dimensi, yakni dimensi transendental dan dimensi sosial. Dimensi pertama biasa disebut dengan ibadah, sedangkan dimensi sosial biasa disebut dengan muamalah yang mewujutkan pada pola hubungan antara sesama manusia. Dalam artian, aqidah tersebut bersifat konstan, yaitu tidak akan berubah sedikitpun walaupun berbeda waktu dan tempat, sedangkan syariah akan mengalami perubahan sesuai dengan kontek dan kebutuhan masyarakat (Muamalah).





Namun, pada perkembangannya, banyak anggapan, khususnya anggapan para orientalis yang ingin menghancurkan dan mencari kesalahan-kesalahan Islam mengatakan, bahwa Islam adalah penghambat bagi kemajuan dan pembangunan bangsa. Anggapan ini didasari, bahwa Islam hanya mengajarkan masalah ritual dan aqidah belaka, tanpa melihat substansi dari ajaran Islam itu sendiri. Karena, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, selain mengajarkan masalah ritual, Islam juga mengajarkan masalah muamalah. Selain itu, Islam juga diyakini bagi para pengikutnya menjadi agama yang “way of life” (pandangan hidup), yang mengatur semua aspek kehidupan, baik itu aspek sosial, ekonomi, pendidikan, politik, demokrasi maupun aspek hak asasi manusia (HAM).

B. Demokrasi
Demokrasi berasal dari kata demos, artinya rakyat dan kratein yang berarti pemerintah. Awalnya terdapat dalam praktik negara kota (polis) di kota Athena, Yunani pada tahun 450 SM. Demokrasi dapat diartikan pemerintah rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maksudnya, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, yang juga sering disebut dengan kedaulatan rakyat. Rakyat mempunyai kekuasaan penuh dalam menentukan arah kebijakan politik suatu negara melalui peran sertanya menentukan pemimpin atau pemimpin rakyat melalui Pemilu.
Pericles mengemukakan kriteria demokrasi yang terdiri dari: Pertama, Pemerintah oleh rakyat dengan partisipasi rakyat penuh dan langsung. Kedua, Kesamaan warga negara di depan hukum. Ketiga, Penghargaan terhadap pribadi unutk mengekspresikan kepribadian individu. Sedangkan, demokratisasi ialah, suatu upaya yang dilakukan untuk mengimplementasikan nilai-nilai, prinsip dan kaidah demokrasi dalam kehidupan politik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam berbagai aspek kehidupan, suatu perubahan dari keadaan negara yang non-demokrasi menuju negra yang demokrasi.
Sedangkan menurut J. Sulaymaen kriteria demokrasi: Pertama, kebebasan berbicara setiap warga negara. Kedua, pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti. Ketiga, kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas. Keempat, peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat. Kelima, pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Keenam, supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum). Ketujuh, semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.
Tidak bisa dipungkiri, sistem demokrasi, khususnya di Indonesia, sudah menjadi suatu kepercayaan dan sistem yang harus dijalankan. Dunia internasional pun sudah memberikan kesimpulan, bahwa sebuah negara beradab wajib menjalankan sistem demokrasi. Tetapi yang menjadi pertanyaannya kemudian: Apakah sistem demokrasi sesuai dengan ajaran Islam?.
Jawaban atas pertanyaan tersebut tentunya akan berbeda-beda dan bermacam-macam, tergantung siapa dan bagaimana mereka memahaminya., seperti yang terjadi pada golongan tektualis, golongan kontektualis maupun golongan liberal (memisahkan antara agama dan negara). Pertama, golongan ini menganggab, demokrasi adalah produk sekuler yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Kedua, menganggab, bahwa demokrasi dengan syura memang berbeda, tetapi secara substansi adalah sama. Prinsip-prinsip yang ada dalam demokrasi tersebut sejalan dengan prinsipi-prinsip syura, yang diperlukan kemudian ialah penyempurnaan dengan cara melihat kondisi-kondisi yang sedang berkembang dalam sebuah negara, yang tentunya tidak keluar dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam tek al-Qur’an dan al-Hadits dan normatifitas Islam, sebagaimana yang sering dilakukan Nabi dan Khalifah ar-Rasidun.
Ketiga, berbeda dengan dua golongan diatas. Islam sama sekali tidak mengajarkan tentang demokrasi. Dalam artian, demokrasi sangat penting diimplementasikan pada abad modern sekarang, namun harus sesuai dengan demokrasi yang telah dijalankan oleh kalangan Barat. Anggapan golongan ini dipicu oleh kelamnya historisitas hubungan Islam dan Barat pada masa dulu. Dan tidak menutup kemungkinan juga, dikarenakan historis demokrasi berasal dari Barat di Athena Yunani.
Dari pendapat ketiga golongan di atas, tidak salah kiranya penulis lebih memilih golongan yang kedua. Tetapi, bukan berarti anggapan yang pertama dan ketiga salah, namun, sebagaimana yang dikatakan Bahtiar Effendy adalah suatu anggapan yang tidak dibentuk dan dipengaruhi oleh nilai-nilai oleh doktrinal Islam. Sebab, bagi seorang pengamat dari Barat sekalipun seperti Samuel Huntington, ajaran Islam dinilai memiliki prinsip-prinsip demokratis yang tegas. Begitu juga dengan Ernest Gellner, dikatakan bahwa bentuk budaya tinggi Islam disertai dengan prinsip-prinsip unitarianisme, etika memerintah, individualisme, skripturalisme, peritanisme, egalitarisme dan voluntarisme. Ini semua merupakan nilai-nilai yang tidak hanya sesuai dengan demokrasi, tetapi juga dengan kehidupan sosial-ekonomi dan politik yang modern.
Berangkat dari itu semua, diakui atau tidak, pada masa modern sekarang, sistem demokrasi telah menjadi acuan umum untuk menilai berhasil tidaknya suatu bangsa. Semakin besar keberhasilan negara dalam menjalankan sistem demokrasi, semakin maju juga kehidupan dan pembangunan bangsa. Sistem seperti ini, selain telah diterapkan di Indonesia yang penduduknya mayoritas Islam, juga telah diterapkan dan diterima bagi kalangan Timur Tengah seperti Saudi Arabia dan Mesir yang menganggab sistem demokrasi adalah suatu sistem yang paling baik untuk mengatur kehidupan masyarakat dan juga menjadi sarana untuk memajukan bangsa terhadap di dalam persaingan modern sekarang.

C. Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM), secara historis berasal dari gagasan hak-hak alami (natural rights) dan hak-hak alami ini sering dihubungkan dengan konsep hukum alam (natural law), sebagaimana dikemukakan John Locke (1632-1705). Namun bentuknya seperti sekarang, HAM bermula dari Declaration of Indepedensi Amerika Serikat pada tahun 1776 dan Declaration des Droits de L’Homme et du Cioyen (Deklarasi hak-hak Manusia dan Warga Negara) Prancis pada tahun 1789. HAM yang pada dasarnya bersifat moral dan bukan politis ini menjamin hal penting sekali setelah Perang Dunia II dengan lahirnya Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948.
Dalam persepektif ajaran Islam, wacana demokrasi yang dijalankan selama ini, sebenarnya juga telah mendorong adanya wacana hak asasi manusia (HAM). Ini terbukti, karena wacana HAM telah mempunyai tempat tersendiri dan tempat yang sangat spesial. Berbagai macam pemikiran tentang demokrasi dapat dengan mudah kita temukan di dalam penerapannya konsep tentang penegakan HAM. Seperti, kesetaraan, keadilan, kebersamaan, kebebasan toleransi dan lain sebaginya.
Pada tanggal 05 Agustus 1990, negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kairo, pernah mengadakan satu pertemuan membahas masalah HAM, yang kemudian dikenal dengan Cairo Declaration of human Right in Islam. Dalam pertemuan itu, disebutkan bahwa, hak dan kebebasan harus tunduk kepada syari’ah Islam. Tetapi, pendapat ini ditentang oleh David Littman sebagaimana dikutip Marzuki Wahid bahwa, ajaran Islam berpeluang untuk menimbulkan konflik atau kontradiksi dengan tuntutan Hak Asasi Manusia yang dipahami dunia Internasional, apabila dipahami sesuai dengan arti harfiyahnya atau dipahami sebagaimana ulama klasik, tektualis atau fundamentalis memahaminya.
Pendapat ini benar adanya, karena selama ini banyak sekali kita temukan, khususnya di Indonesia bukti-bukti pelanggaran HAM. Misalnya, yang terjadi dalam kasus Ustadz Yusman Roy, yang melaksanakan shalat dengan dua bahasa ( bahasa Arab dan Indonesia ) di Malang dan kasus Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Mereka dihukumi dan dihakimi sesat, oleh sebab itu, mereka tidak boleh berkembang di Indonesia. Bukan itu saja, kaum Ahmadiyah berakhir dengan babak belur, kehilangan rumah, harta benda malah ada yang sampai meninggal dunia. Sementara itu, bagi ustadz Yusman Roy dipidanakan dan dipenjarakan. Tentunya, dua kasus ini adalah gambaran besar bagi kalangan fundamental yang ingin memformalkan syari’ah Islam ke dalam tubuh negara yang banyak menyimpan keberagamaan ini, baik itu keberagaman agama, keyakinan, suku, ras maupun golongan.
Berikut ini, beberapa contoh yang menjadi sorotan para aktivis HAM Internasional. Pada September 1993, seorang hakim Islam di Taheran mendapati dua Muslim bersaudara terbukti bersalah menculik seorang pria dan membakar pria lainnya, tapi malah hakim itu menolak untuk memenjarakan mereka berdua atau menolak memerintahkan mereka agar membayar uang diyat kepada korban. Alasannya sepele, karena korban yang diculik dan dibakar adalah orang kafir. Sedangkan dalam pemahaman hakim, harga orang kafir itu tidak sama dengan harga orang Islam (Muslim).
Pada tahun 2001 di Irak, ada 45 orang perempuan yang mencalonkan diri dalam pemilihan presiden, tetapi tidak seorangpun dari perempuan tersebut yang memperoleh izin. Di Mesir, penerapan syariah Islam juga memunculkan ploblem HAM, khususnya berkaitan dengan kebebasan berpendapat dan berekreasi. Seperti kasus seorang sastrawan perempuan dan juga pejuang hak-hak perempuan yang bernama Nawal el-Sadawi. Dia terpaksa berhadapan dengan pengadilan yang menceraikannya dengan suaminya, karena pandangan-pandangannya yang revolusioner dinilai telah keluar dari Islam (murtad) . Sedangkan dalam pemahama ulama klasik, perempuan yang murtad harus di ceraikan dengan suaminya.
Begitu juga yang terjadi di Taliban, Afganistan. Disana, para pegawai Taliban terus menerus memburu perempuan dijalan-jalan Tabul, baik karena melanggar kode etik berbusana atau keluar rumah tanpa didampingi keluarga dekat. Perempuan-perempuan gadis tidak diperbolehkan mendatangi sekolah, termasuk Sekolah Dasar, sedangkan di luar Tabul diperbolehkan. Perempuan juga dibatasi untuk bekerja, perempuan hanya diperbolehkan kerja apabila menjadi tenaga perawat saja. Yang lebih parahnya lagi, pada tahun 2001, pemerintah Taliban mengeluarkan keputusan baru yang ditujukan kepada non-Islam, bahwa mereka dilarang membangun tempat ibadah, tetapi membolehkan mereka beribadah di tempat-tempat yang telah ada, melarang non-Islam membuat tanda pada rumahnya dengan tanda kuning, melarang non-Islam tinggal di kompleks orang Islam dan menuntut perempuan non-Islam memakai pakaian kuning dengan tanda tertentu sehingga orang bisa mengambil jarak.
Sungguh tidak bisa dibayangkan, jika Islam yang dipahami golongan fundamental ini diterapkan di Indonesia, apalagi jika golongan ini telah memegang kekuasaan atas golongan-golongan lainnya. Bisa dipastikan, kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, kebebasan berijtihat, kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat dan kebebasan berekspresi akan semakin sempit, kemungkinan juga akan berakhir di negara kita ini. Selain itu, pemahaman Islam dalam perspektif fundamental, juga akan berakibat dan berpotensi memperlakukan warganya secara diskriminatif, baik itu diskriminasi atas perbedaan agama maupun perbedaan gender.
Oleh sebab itu, pada masa sekarang ini, pemahaman Islam tersebut haruslah diperbaharui. Penulis tidak mengatakan bahwa pemahaman golongan fundamentalis itu salah, lagi-lagi itu adalah hak mereka untuk memahami Islam. Tetapi, yang perlu digaris bawahi disini, Indonesia adalah negara yang prulalis, yang memiliki bermacam-macam perbedaan. Berangkat dari itu semua, alangkah lebih baiknya, pemahaman Islam itu sendiri harus bisa keluar dari keekstriman dan eksklusifnya. Tidak bisa dipungkiri, semua manusia memiliki hak masing-masing, tetapi di dalam hak tersebut juga harus melihat hak orang lain yang ada disekelilingnya. Manusia boleh-boleh saja berbeda-beda untuk mencapai dan memperoleh haknya, dengan cara melihat segi perbedaan tersebut tanpa keluar dari keinginan mereka. Di dalam perbedaan tersebut harus memiliki sarana untuk menyatukannya, yang di dalam tulisan ini, penulis maksudkan adalah sarana untuk memahami Islam secara lebih konprehensif dan universal sesuai dengan kontektual dan kebutuhan para pemeluknya dan orang-orang yang berbeda dengannya.
Karena bagaimanapun, Indonesia saat ini telah masuk dalam suatu sistem yang sangat demokratis, yang sangat menghargai perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat, baik itu suku, ras, warna kulit, adat-istiadat maupun agama sendiri. Terbukti, di Indonesia, ada berbagai agama, baik itu Islam, Hindu, Budha maupun Teonghoa. Oleh karena itu, HAM yang ada di dalam pemeluk agama Islam, tidak boleh keluar atau menyeleweng dari HAM para pemeluk agama lain, begitu juga perbedaan lainnya. Niscaya, jika ini di berjalan di Indonesia, kehidupan demokrasi akan berjalan dengan baik dan efektif tanpa harus melanggar Hak Asasi Manusia lainnya. Bukankah Allah juga pernah berfirman:
“ Hai manusia, kami ciptakan engkau laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan engkau bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, yang tujuannya tiada lain ialah untuk saling mengenal dan saling mengasihi. Dan bahwa sesungguhnya, orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa”
Di dalam ayat ini sudah sangat jelas, Allah menciptakan manusia berbeda-beda bukan untuk membuat manusia berpecah belah, melainkan supaya manusia saling menghargai, menyayangi dan mencintai.. Yang menjadi ketakutan kita, jika pemahaman Islam seperti yang telah di pahami golongan fundamentalis ini diterapkan di Indonesia, maka, akan sangat kecil kemungkinan kebebasan, keadilan, ketentraman bagi orang-orang yang berbeda pandangan dari golongan tersebut, khususnya dalam ranah demokrasi dan HAM, untuk menerimanya dan mengaplikasikan substansinya di dalam kehidupan di Indonesia.

C. Strategi Menerapkan Nilai-Nilai Islam
Islam secara substansi ialah agama yang universal, “rahmatan lil ‘alamin” bukan “rahmatan lil muslimin”. Dalam artian, dalam menerapkan hukum, Islam tidak boleh pandang bulu. Bisa dipastikan, jika nilai-nilai Islam seperti ini diterapkan, niscaya bukan hanya kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi persatuan dan kesatuan Indonesia, hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan serta keadilan bagi seluruh Indonesia juga harus diterapkan, sebagaimana yang telah di amanatkan oleh pancasila. Oleh sebab itu, dalam menerapkan nilai-nilai tersebut, Islam harus memiliki strategi-strategi yang baik. Diantara strategi tersebut ialah:
1). Strategi Struktural
Strategi diambil dari bahasa Yunani, statos, artinya, tentara agar memimpin, strategos artinya kiat atau cara memimpin tentara. Selanjutnya strategi dapat diartikan sebagai kiat untuk mencapai suatu tujuan. Bisa juga diartikan sebagai muslihat untuk mencapai sesuatu. Sedangkan struktural artinya, susunan atau bangunan kelembanggaan ( lembaga dan organisasi ). Dalam tulisan ini penulis maksudkan ialah suatu cara yang harus dilakukan oleh seorang muslim untuk menerapkan nilai-nilai ajaran Islam dalam ranah lembaga kepemerintahan Indonesia.
Untuk mencapai strategi tersebut, tentu harus memiliki sarana, salah satunya dengan cara “berpolitik”. Politik pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani Polisteia, Polis adalah kota/negara kota yaitu kesatuan masyarakat yang mengurus dirinya sendiri dan teis artinya urusan. Artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan yang menyangkut kepentingan dari kelompok masyarakat atau negara.
Beberapa pandangan tentang politik: Pertama, upaya yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujutkan kehidupan bersama. Kedua, segala hal yang berkaitan dengan negara dan pemerintah. Ketiga, segala kegiatan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Keempat, segala kegiatan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan pubrik atau masyarakat umum. Kelima, suatu konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan dari sumber-sumber yang penting. Keenam, kegiatan yang berkaitan dengan masalah siapa, mendapat apa, kapan, dan bagaimana.
Berbicara masalah politik, tentu tidak lepas dari pro dan kontra tentang pemahaman beberapa golongan, khususnya dua golongan yang telah jelaskan di atas. Tetapi, penulis rasa, perbedaan pemahaman tersebut tidak perlu penulis jelaskan lagi. Bukan berarti perbedaan pemahaman itu tidak penting, melainkan pada pembahasan sekarang ini, penulis berinisiatif untuk lebih terfokus pada suatu strategi yang harus dilakukan oleh orang Islam dalam ranah perpolitikan. Penulis rasa pada pembahasan ini penulis harus bersifat realistik. Karena dalam realita sekarang, strategi seperti inilah yang paling diperlukan, walaupun pada perkembangannya, strategi politik ini sering dikotori oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan masyarakat banyak.
Kata kunci dari tujuan strategi ini ialah mengubah struktur politik, baik itu ekskutif maupun legislatif. Misalnya, selama ini banyak kita temukan keganjilan-keganjilan, ketidakadilan, KKN, kebijakan yang menyengsarakan masyarakat, baik itu kebijakan politik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya, harus dirubah secepat mungkin. Cara yang paling efektif adalah dengan cara duduk dan berusaha mempengaruhi struktur politik yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, yang kemuadian dinamai dengan “politik Islam”. Karena bisa dipastikan, tanpa strategi ini, semua permasalahan yang melanda masyarakat tidak akan pernah berakhir.
Tepat setelah runtuhnya era Orde Baru, pada tanggal 21 Mei 1998 atau biasa disebut dengan era Reformasi, kebebasan masyarakat, khususnya masyarakat Islam, untuk ikut dalam ranah perpolitikan semakin menunjukkan perkembangannya. Ini terbukti, pada pemilu pertama tahun 1999, dari 48 partai politik yang ikut dalam pemilu ada 19 partai Islam. Tahun 2004 ada 7 partai sedangkan pada tahun 2009 ada 8 partai Islam termasuk PAN dan PKB.
Walaupun tidak pernah lepas dari pro dan kontra, partai Islam sangat penting dibutuhkan dalam ranah perpolitikan di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, dengan adanya sarana seperti ini, umat Islam semakin dipermudah untuk memasukkan wakil-wakilnya, untuk mengontrol, mengawasi dan merubah sistem pemerintah yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Walaupun, pada realitanya, wakil-wakil partai Islam yang duduk di dalam struktur politik (ekskutif dan legislatif) kurang menunjukkan hasil kerja yang memuaskan. Tetapi itu tidak jadi persoalan, karena bagaimanapun strategi seperti ini harus berjalan dan hidup selamanya, tentunya dengan perubahan-perubahan yang akan dilakukan kedepannya, baik itu para tokoh, mekanisme ataupun cara memenejnya.
Kita patut bersukur, pada tahun 2009, atau pada pemilu ketiga setelah reformasi, partai-partai Islam banyak menduduki para wakil-wakilnya dalam dalam kursi legislatif yang akan datang. Sesuai dengan hasil pemilu legislatif yang dikeluarkan KPU pada tanggal 9 Juni 2009 yang lalu partai Islam memperoleh 23, 57 persen suara. PKS memperoleh 8.206.955 suara (7,88 %), PAN 6.254.580 (6,0 %), PKB 5.146.122 (4,94 %), PBB 1.864.752 (1,79 %), PBR 1.264.333 (1,21 %), PKNU 1.327.593 (1,43 %), PMB 414.750 (0,40 %) sedangkan PPP memperoleh 5.533.214 suara (5,32 %).
Berangkat dari hasil banyak suara legislatif tersebut, kita semua berharap akan ada suatu terobosan baru untuk merubah sistem dan mengontrol semua kebijakan-kebijakan pemerintah, baik itu kebijakan ekonomi, politik, pendidikan maupun kebijakan hukum yang merugikan masyarakat. Oleh sebab itu, untuk mendukung strategi itu supaya lebih baik dan efektif, dibutuhkan lagi suatu strategi lain, yang tentunya strategi ini, juga bertujuan untuk mengawasi, mengontrol dan mempengaruhi masyarakat dengan nilai-nilai Islamnya. Strategi ini, penulis namakan dengan strategi Kultural.

2). Strategi Kultural
Strategi kultural ialah suatu strategi yang dilakukan oleh orang Islam dengan cara memberikan penyadaran bagi masyarakat dan berusaha untuk mempengaruhi cara berpikir mereka atas nilai-nilai Islam. Perbedaan yang paling mendasar dari dua strategi ini ialah, strategi struktural mempengaruhi cara struktur politik dalam pemerintahan, sedangkan strategi kultural, yang akan dipengaruhi tersebut ialah perilaku sosial (pola pikir) masyarakat.
Kata kunci dalam strategi kultural, sebagaimana yang dijelaskan Dr. H. Kuntowijoyo, M. A, ialah agama sebagai moral porce atau inspirational ( moral dan etika). Berbicara masalah moral, tentu ini tidak akan terlepas dari tingkah laku manusia. Bencana yang datang bertubi-tubi sekarang ini, menurut para ulama, politisi, intelektual maupun aktifis, seperti musibah banjir, tsunami, gempa, lumpur Lapindo, kekeringan, atau baru-baru ini seperti musibah situ gintung, adalah disebabkan karena banyak tindakan-tindakan manusia yang sudah tidak bermoral dan beretika. Persepsi ini ada benarnya, karena terbukti, sekarang ini tingkah laku manusia, seperti pencurian, kekerasan, pencabulan, pemerkosaan, pembunuhan, mabuk-mabukkan, pelacuran, korupsi, kolusi, nepotisme, pornografi, pornoaksi dan lain sebagainya telah mewabah dan sulit dipisahkan dalam pranata sosial masyarakat.
Oleh sebab itu, disinilah letak pentingnya strategi kultural, yaitu dengan cara memberikan penyadaran bagi mereka melalui sarana dakwah, yang dipercaya menjadi salah satu aktivitas keagamaan yang sangat efektif, strategis, sentral dalam menentukan sikap mental dan tingkah laku manusia. Selain itu, dakwah di dalam ajaran al-Qur’an dan al-hadits adalah suatu kewajiban yang diberikan kepada setiap manusia yang mempercayai bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah RosulNya. Sebagaimana yang telah difirmankan dalam al-Qur’an: Maka berikanlah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah yang berkuasa atas mereka, tetapi orang yang berpaling dari kafir, maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar.
Dakwah menurut Imam al-Ghazali dalam kitab “Ihya Ulumuddin” memiliki empat metode. Pertama, memberikan penerangan kepada orang yang hendak dirubah perbuatannya, sebab ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu kemungkaran itu bodoh dan tidak mengetahui, niscaya dengan adanya nasehat atau pemberitahuan ia akan meninggalkannya. Kedua, melarang orang yang berbuat kemungkaran itu dengan cara menakut-nakuti akan azab Allah. Ketiga, melarang dengan tegas, namun harus tetap bersikap sopan. Keempat, melarang kemungkaran dengan menggunakan kekuasaan.
Menurut Tarmizi Taher, dakwah bisa dilaksanakan melalui tiga metode. Pertama, bil al-lisan: Tujuan dakwah ini secara psikologis adalah perubahan dan penyempurnaan kualitas sikap mental dan ruhani manusia, baik dalam ukuran dunia maupun akhirat. Kedua, bil al-Qalam: Tujuannya sebagai alat komunikasi ide yang produknya berupa ilmu pengetahuan dan sebagai alat komunikasi ekspresi yang produknya berupa karya jurnalistik. Ketiga, bil al-Hal: metode ini digunakan melalui cara keteladanan seorang da’i. Artinya, dakwah bukan hanya sekedar mengajak, menyeru, memanggil namun juga dilakukan dalam bentuk nyata.
Pada fenomena sekarang, strategi kultural ini sudah mengalami perkembangan yang sangat baik. Terbukti, sarana dakwah yang dijalankan bukan hanya melalui perorangan semata, tetapi juga melalui lembaga-lembaga, seperti MUI dan lembaga dakwah lainnya.
bersambung..







0 komentar:

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP