Jumat, 14 Januari 2011

Antar Pemimpin Harus Saling Percaya

Antar Pemimpin Harus Saling Percaya

Oleh:
Riduan Ahmad al-Bangkawi
Alumnus Pondok Perantren Syeck Sulaiman Arrasuli Bukittinggi Padang dan Pendiri Lembaga Penulisan dan Publikasi (LeP2) ISBA Yogyakarta

Bangka Belitung akan berkembang dan maju, jika antar pemimpinnya saling percaya dan akur, baik dalam ranah pribadi, maupun dalam ranah lembaga

TULISAN ini merupakan cacatan/pemahaman, yang penulis temukan dalam silaturrahhmi dan diskusi mahasiswa Bangka dan Belitung bersama Syamsudin Basari (Wakil Gubernur), pada hari minggu 13 November 2010 di Asrama Mahasiswa Belitung Yogyakarta.
Pertama, dalam pandangan Syamsudin, selama ini pemerintah lebih memperioritaskan pembangunan di Bangka daripada di Belitung. Padahal, secara perekonomian dan pariwisata, Belitung sangat potensial dalam membangun atau memajukan provinsi ini. Karenanya, ada anggapan, Belitung didiskriminasikan. Sedangkan, Bangka tidak akan bisa menjadi provinsi tanpa Belitung, begitu juga sebaliknya. Seperti, pembangunan jembatan penghubung Belitung dengan Belitung Timur sampai sekarang ini belum juga diselesaikan, pemerintah malah lebih memperioritaskan pembangunan multiyes lain. Yang lebih parah, kebijakan ini dibuat tanpa sepengetahuan beliau.
Kedua, Syamsudin (Wagub), menggambarkan bahwa selama ini, beliau merasa diremehkan atau dikesampingkan dalam mengambil kebijakan dan membuat putusan, termasuk kebijakan yang sebenarnya, dibawah wewenang beliau. Hal inilah yang mendasari, terjadinya konflik dan ketidak akuran antara Eko dengan beliau. Misalnya, dalam mengangkat/mutasi pejabat, seharusnya Eko (Gubernur), harus berkordinasi dengan beliau (Wagub), namun itu jarang dilakukan. Salah satu contoh, pengangkatan pejabat Badan Narkotika Provinsi (BNP) yang lalu.
Ketiga, Gubernur dan Wakil Gubernur, diibaratkan seperti dua pasang suami istri yang harus saling mengingatkan, atau dalam bahasa lain harus saling mengkritisi untuk kebaikan. Jika tidak bisa dikritisi secara langsung, Istri mengkritisi lewat media (Koran dan sebagainya).
Sikap Masyarakat
Melihat realita di atas, memang suatu hal yang nyata. Karena tidak jarang kita menemukan atau menyaksikan isu-isu diskriminasi (kebalikan kesetaraan) di Media, baik itu yang diutarakan masyarakat, mahasiswa maupun pemerintah, termasuk kritikan-kritikan tajam Syam atas kebijakan-kebijakan Eko. Disisi lain, sekarang ini masyarakat sedang asik-asiknya menjalani proses-proses demokrasi dengan bebas, terbuka, objektif dan professional menilai pemimpinnya. Yang tentunya tidak akan di dapatkan seperti pada masa pemerintahan Orde Baru dulu, yang terkenal dengan pemerintahan otoriter, represif dan sentralistik.
Hal ini, tentu dalam aktualisasinya akan terdapat bermacam-macam pandangan atau sikap masyarakat dalam menghadapi kemelut permasalahan dan konflik yang terjadi sekarang. Pertama, ada yang menganggab, ini adalah hal yang wajar dan mereka juga bersikap optimis. Karena, dalam dunia politik ini merupakan seni atau bumbu penyedap untuk mendewasakan pemerintah maupun masyarakat. Yang dalam kaidah agamanya dikenal dengan istilah “rahmad”.
Kedua, mereka yang beranggapan negatif dan pesimis. Ketakutannya, ini akan berdampak terjadinya konflik yang lebih besar, baik dalam dataran masyarakat maupun pemerintah. Lebih-lebih ini akan menjadi penghambat bagi kemajuan maupun pembangunan daerah.
Ketiga, mereka bersikap apriori, tidak mau tahu dan frustasi atas permasalahan dan konflik yang terjadi. Mereka beranggapan itu bukan urusan mereka, urusan mereka yang penting bagaimana bisa cari duit untuk makan. Dalam bahasa Almarhum Gus Dur, “itu aja kok repot”. Biarin saja, banyak hal lain yang harus dipikirkan, daripada mikir konflik itu. Disisi lain ada juga yang beranggapan, paling ini untuk kepentingan 2012.
Saling Percaya
Dalam perspektif sosial dan pergaulan masyarakat sehari-hari, unsur kepercayaan merupakan suatu hal yang sangat penting dan harus diperioritaskan. Misalnya dalam persahabatan, tanpa adanya kepercayaan, persahabatan dapat tidak akan berjalan denagn harmonis. Dalam keluarga juga seperti itu, jika suami tidak percaya dengan istri atau sebaliknya, rumah tangga bisa runtuh atau hancur. Pertanyaannya, bagaimana jika itu terjadi dalam persoalan politik?.
Prof. Dr. Musa Asy’arie, Rektor UIN Sunan Kalijaga menuturkan, bahwa persoalan politik, merupakan persoalan kekuasaan. Masing-masing kekuatan politik, baik yang tergabung dalam partai politik atau tidak, pasti akan selalu berusaha untuk mendapatkannya. Semakin besar kekuasaan yang didapatkannya, mereka akan memandangnya sebagai hal yang makin baik. Sebab, dengan kekuasaan yang besar itu, mereka akan dapat merealisasikan konsep politiknya dalam kehidupan masyarakat secara kongkrit. Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan sekarang, jelas sekali bahwa kekuasaan Syam lebih kecil jika dibandingkan dengan kekuasaan Eko.
Membangun kepercayaan memang bukanlah perkara yang gampang apalagi dalam dunia politik. Meskipun bisa diperoleh, seperti kepercayaan pada waktu pemilihan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tiga tahun yang lalu, namun jika tidak mampu menjaga dan memeliharanya, kepercayaan tersebut akan hilang dan konflik akan terjadi seperti sekarang.
Dibalik itu, seperti yang penulis singgung di atas, sistem demokrasi menuntut masyarakat untuk bebas menilai, bersikap maupun berpendapat. Apakah permasalahan sekarang, terkhusus masalah diskriminasi itu memang benar adanya, atau hanya permainan oknum-oknum dan elit politik tertentu untuk menonjolkan sosoknya, atau dikarenakan kekesalan atas ketidak percayaan yang terjadi?. Jawabannya, bisa ia bisa tidak. Namun yang jelas, adil dalam pembangunan bukan berarti harus sama, melainkan harus seimbang, sesuai kebutuhan dan proporsionalnya.
Bangka Belitung yang baru berumur Sembilan tahun ini, sangat diuntungkan, jika mereka memiliki sosok pemimpin yang kompak, akur dan saling percaya untuk membangun negeri ini. Sebaliknya, Bangka Belitung, akan rugi dan resah, jika memiliki pemimpin yang tidak akur, ingin menonjolkan sosok pribadi dan egoismenya, apalagi mengucilkan masyarakat dalam membuat kebijakan dan keputusan, yang menjadi pesanan dari pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan dibalik permasalahan dan konflik yang terjadi.

Read more...

Otonomi Daerah dan Politik Enterpreneurship

Otonomi Daerah dan Politik Enterpreneurship

Oleh:
Riduan Ahmad al-Bangkawi
Ketua Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Bangka (ISBA) Yogyakarta 2010


TIDAK dapat dipungkiri, sistem otonomi daerah merupakan program nasional yang sangat penting dan telah menjadi program publik yang harus diperioritaskan dalam menghadapi bermacam kemelut dan problem multidimensi yang melanda bangsa ini. Jika dibandingkan dengan UU sebelumnya, tepatnya ketika diberlakukan UU No. 5/1974, pemerintah daerah harus bertanggung jawab kepada kepada pemerintah pusat, atas segala inisiatif, peraturan dan kebijakan yang akan dibuat. Termasuk dalam hal rekrutmen kepala daerah dan birokrasi di Tingkat lokal.
Namun, UU tersebut telah diganti dengan UU. 22/1999 dan disempurnakan dengan UU. 32/2004, yang membuka selebar-lebarnya otonomi kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya, sesuai dengan kebutuhan dan program yang diyakini, bisa mewujudkan pemerintahan yang baik (Good Governance), sebagaimana yang diharapkan tanpa harus di interpensi oleh pemerintah pusat. Dalam istilah Prof. Dr. Affan Gaffar, MA (2009), untuk mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberi peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi, peningkatan efesiensi pelayanan publik, peningkatan percepatan pembangunan di daerah dan pada akhirnya, diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik.
Tetapi, bisa dipastikan untuk menjalankannya, bukanlah hal yang gampang. Hal ini, bisa di dasari atas lepasnya tanggungan pemerintah pusat untuk membina dan membantu daerah, bebasnya kepala daerah untuk melakukan apa saja yang di inginkan tanpa kontrol dari pemerintah pusat, serta akan melahirkan pemimpin atau raja-raja kecil yang leluasa menjalankan praktek KKN di daerah. Terlepas dari tiga permasalahan di atas, sederhananya UU. 22/1999 dan UU. 32/2004 ini, telah membuka ruang desentralisasi politik dan administrasi kepada pemerintah daerah, yang dalam implementasinya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi partisifasi masyarakat dan kepala daerah, atau dengan bahasa lain, membuka keluasaan daerah untuk mengatur kepentingannya secara pribadi dan mandiri, tanpa harus menunggu intruksi atau minta izin kepada pemerintah pusat seperti pada masa orde baru.
Karenanya, disinilah pemerintah daerah dituntut untuk menjalan politik transparan, legitimate, aksestble, dan demokratis. Serta menerapkan politik entrepreneurship, yang nantinya membuka ruang partisifasi yang sangat bagi masyarakat (civil society), swasta, LSM, organisasi kemasyarakatan di negeri ini.

Politik Enterpreneurship
Konsep/pendekatan politik enterpreneurship ini, sejatinya menekankan pada pemerintah dan birokrasi di daerah, untuk melibatkan semua elemen masyarakat seperti di atas, dalam setiap kebijakan, peraturan dan program yang akan ditetapkan untuk pembangunan daerah, terkhusus pembangunan ekonomi, yang dalam aktualisasinya, menekan pada:
Pertama, Pemerintah Katalis: Pemerintah lebih memfokuskan dalam memberikan pengarahan kepada masyarakat bukan menjadi pelayan masyarakat. Disini pemerintah dituntut untuk menyediakan beragam pelayanan masyarakat, seperti pihak swasta, LSM, dan organisasi kemasyarakatan, sedangkan pemerintah tidak mesti harus terlibat langsung dalam proses produksinya.
Kedua, Pemerintahan Wirausaha: Pemerintah harus mampu memberikan pendapatan dan tidak sekadar membelanjakan. Pemerintah dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan, dengan menjual jasa, barang informasi, penyertaan modal dan lain sebagainya. Ini disebut dengan.
Ketiga, Pemerintah Kompetitif: Pemerintah harus memberikan semangat atau motivasi kompetisi kepada masyarakat dan birokrasi untuk menjalankan sesuatu yang mereka inginkan. Kompetisi ini, selain menjadi satu-satunya cara untuk menghemat biaya, juga untuk meningkatkan kualitas pelayanan, tanpa harus memperbesar biaya.
Keempat, Pemerintah Visionis: Pemerintah berusaha mencegah daripada mengobati serta berupaya keras untuk mengantusupasi masa depan dengan menggunakan perencanaan strategi untuk menciptakan visi. Visi yang dibuat untuk membantu masyarakat, bisnis, dan pemerintah untuk meraih peluang dan krisis yang tidak terduga tanpa menunggu perintah atasan, proaktif bukan reaktif.
Kelima, Pemerintah Misionis: Pemerintah harus digerakkan oleh misi. Ini bisa dilakukan dengan cara mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi. Pemerintah lebih memperioritaskan misinya daripada mandatnya.
Keenam, Pemerintah milik masyarakat: Pemerintah memberikan wewenang kepada masyarakat bukan melayani. Dengan ini, diharapkan masyarakat mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri.
Ketujuh, Pemerintah berorientasi pada hasil: Pemerintah membiayai hasil bukan masukan. Disini, pemerintah mengembangkan suatu standar kinerja untuk mengukur seberapa baik suatu unit kerja, yang mampu memecahkan permasalah, yang menjadi tanggung jawabnya, semakin baik kenerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
Kedelapan, Pemerintah Berorientasi pada Pelanggan: Pemerintah harus memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi. Pemerintah selain memerhatikan aspirasi lembaga perwakilan (DPRD), tetapi juga harus memerhatikan pelanggan yang sebenarnya, yaitu masyarakat dan bisnis yaitu dengan secara terus menerus berupaya untuk lebih memuaskan masyarakat dan bisnis.
Kesembilan, . Pemerintah Desentralisasi: Pemerintah hirarki harus dibubarkan dan diganti dengan pemerintahan yang partisifatif dan tim kerja. Setiap kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah harus sesuai dengan masyarakat, pelanggan, organisasi kemasyarakatan dan LSM. (Osborne dan Gaebler: 2004)
Berangkat dari itu, disinilah nantinya, kita bisa melihat sektor swasta berperan dalam pembangunan daerah, dengan dukungan lingkungan pemerintah yang memadai bagi aktifitas seKtor swasta, serta memberikan insentif (incentive), penghargaan (reward) atas prestasi (performance) mereka.
Begitu juga dengan LSM dan organisasi kemasyarakatan lainnya, bisa mempunyai peranan dan kontribusi yang sangat signifikan untuk menyediakan mekanisme checks and balance terhadap kekuasaan pemerintah dan sektor swasta, atau untuk menguatkan posisi keduanya. Mereka dapat memonitoring terhadap pembangunan ekonomi, penipisan sumber daya, kerusakan lingkungan dan kerusakan sosial yang ada disekeliling mereka. Selain itu, bisa berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dengan membantu mendistribusikan keuntungan pertumbuhan ekonomi secara merata di dalam masyarakat, serta menawarkan kesempatan bagi masyarakat untuk meningkatkan standar hidupnya. (Pratikno: 2001).
Walhasil, substansi otonomi daerah sebagai kewenangan daerah untuk lebih leluasa dan lebih berhak mengatur diri sendiri dan mandiri, bisa berjalan dengan lebih baik, optimal dan efektif. Tentunya, harus di dukung dengan kondinasi dan komunikasi yang baik antar kepala daerah di provinsi dengan kepala daerah di kabupaten/kota, serta pola intraksi yang harmonis dan proporsional antara pemerintah dengan DPRD, dalam menjalankan amanah dan tanggungjawabnya.
Dengan demikian, jika hal ini dikaitkan dengan daerah provinsi Kep. Bangka Belitung, konsep politik ini sangat mungkin untuk diaplikasikan, apalagi mengingat empat kabupaten, Bangka Tengah, Bangka Barat, Bangka Selatan dan Belitung Timur, baru saja memilih/menetapkan kepala daerahnya melalui Pilkada Langsung. Jauh dari itu, tanpa berlebihan, bila perlu konsep ini harus dijalankan secara jangka panjang (Sustainable) oleh pemerintah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Besar harapan dan belum terlambat untuk mencoba. Semoga.

Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP